Aku mendesah lagi. Memandang mendung tebal yang menggantung-gantung di langit menerbitkan galau. Sepatu yang hampir selalu basah, baju yang selalu lembab karena dipaksa kering oleh hawa panas seterika dan tidur yang tak pernah lelap, khawatir pada bocornya atap. Suara sungai di belakang bertambah keras setiap kali hujan turun makin deras. Ngeri. Seperti bibir sungai tengah bersiap menelan rumahku yang hanya sepetak ini.
Aku tinggal di sini sendiri. Dalam rumah petak kontrakan yang berdesak-desak dengan rumah lain. Hanya 1 kamar tidur merangkap ruang tamu, dapur kecil dan kamar mandi yang sama kecilnya. Ada tempat cuci dan jemuran di belakang, berbatasan dengan bibir sungai yang jika hujan airnya bisa kusentuh dengan tangan. Betapa pun kujaga rumah ini agar tetap bersih, selalu ada bau busuk comberan yang masuk.
Jika malam, obrolan tetangga bisa kudengar. Kadang-kadang tangis bayi atau lenguh suami istri tengah bercinta. Di sini semua serba terbuka. Bau ikan asin atau peda goreng juga mudah menyeberang. Atau, suara piring pecah dibanting entah oleh siapa, yang kukira adalah pasangan suami-istri sedang bertengkar. Semua bisa kudengar. Toh, semua orang sepertinya sudah terbiasa. Tidak peduli. Tiada urusan pribadi. Percuma menutup-nutupi. Semua urusan adalah, semua orang punya urusan.
Suatu ketika, “Kalo mau ribut, di hutan sono!! Gue mau tidur!”
Sepi sejenak.
Lalu, suara laki-bini saling teriak berlanjut lagi. Baku maki tengah malam. Disambung suara piring atau gelas dibanting. PRANG! Disambut teriakan. “Woy!” Lalu, teriakan berhenti. Suara jangkrik. Tak lama, raungan tangis bayi. Lalu perlahan-lahan sepi lagi. Sepi sampai menjelang pagi. Meski, tidak pernah benar-benar sepi.
***
“Jang, kerja lu apa, sih? Rajin amat jam segini udah mau jalan? Biasanya anak bujang bangun siang-siang,” ibu-ibu tetangga sebelah bertanya waktu aku sedang mencuci baju. Tempat cuci baju di rumahku ini memang menyambung dengan tempatnya, hanya dibatasi saluran air kecil sebesar belah batang bambu.
Kupandang ia sejenak. Ia mengenakan beha kain dan rok butut seadanya. Badannya yang gemuk menunjukkan lipatan-lipatan perutnya dan garis-garis yang kukira sisa kehamilannya. Ia tidak terlalu tua. Umur 30-an, kurasa. Anaknya 4, masih kecil-kecil semua. Segera terbayang bagaimana ia bercinta dengan suaminya, suaranya kerap menyelinap ke dalam kamarku. Membuatku tak bisa tidur. Hmmmm… Aku belum pernah masuk ke rumahnya, tapi bisa kubayangkan bagaimana mereka bergumul di hadapan anak-anaknya yang tengah tidur lelap.
“Saya masih nyari kerja, bu. Saya baru kena PHK. Ada pemotongan jumlah karyawan di tempat kerja saya yang dulu,” jawabku.
“Emang, sekarang elu pengen kerja apaan? Hari gini susah nyari kerjaan…”
“Kerja apaan aja lah, Bu,” jawabku. “Yang penting halal.”
Kulihat ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Lalu ia berkata lagi.
“Bukannya gue mau ngendorin semangat elu. Cuma, sekarang jaman edan, Jang. Nyari yang halal, mah, susaaaah. Kagak ada duitnyeee… Noh, liat aje Mat Jai. Dulu, die juga ngomong sama kayak elu. Buntut-buntutnye? Jadi marbot die…,” ia tertawa.
Aku diam. Ah, bisa saja Mat Jai memang memilih jadi marbot. Bukankah menjaga masjid dan membangunkan orang-orang shalat Subuh adalah pekerjaan mulia? Tapi urung kukatakan.
“Nasib kali ya, Bu… Yang penting, saya usaha dulu,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.
“Ooh, gitu. Selamat nyari kerja, laaah..,” ia berbalik masuk rumah dan sebelumnya ia berkata lagi. “Jakarta emang keras, Jang…”
Aku tersenyum.
***
Aku mencoba tersenyum. Tapi, mendung memang membawa sedih. Menipiskan harapan. Menyisakan sedikit ketakutan. Ketakutan pada hujan yang mungkin akan menganugrahkan banjir pada Jakarta dengan kami penghuni rumah berdesak-desak yang jadi korbannya.
Rumah tingkat bukan lagi dominasi kaum kaya. Orang miskin Jakarta juga harus membuat rumah tingkat. Bukan mendewa-dewakan kenyamanan, tapi rumah tingkat bisa menyelamatkan barang-barang KW4 dari serbuan banjir yang bisa sampai ke atap. Tak perlu lah barang-barang yang tak berharga ini harus direndam banjir pula. TV asal merek, seperti SONI atau SONNY, cukup menghibur di malam hari daripada membuat anak lagi.
Gerimis mulai menggertak sembari angin bertiup makin kencang. Ah, alamat sepatu basah lagi ini, pikirku.
***
“Jang, udah dapet kerja lu?” Di suatu pagi lain ibu itu bertanya lagi masih dengan beha kain yang sama.
Kulihat jemurannya. Hmmm… Ia mengenakan beha yang serupa tapi tak sama. Kini, beha putih berbahan kain ramai berjejer-jejer di tali tambang jemuran. Sepertinya ia cuma punya satu jenis beha. Beha putih dengan bahan seperti seprai yang semuanya tampak sudah kekuningan dimakan air kotor sungai yang dipakai untuk cucian.
Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Dan meskipun ia tak mengatakannya, aku merasa ia berkata, “Nah, apa gua bilang?”
“Mungkin saya harus lebih sabar ya, Bu… Yang penting, saya usaha dulu,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.
Ia tersenyum lagi. Memandangku seperti mengasihani, “Jang… Jang… Mana ada sih kerjaan yang bener-bener jujur jaman sekarang… Mau kerja kudu nyogok! Yang penting kita kagak ngerampok atau jadi begal…”
Ia menggidik. Aku terdiam dengan mata masih memandang cucian. Besok sabun cuciku habis.
Ia melanjutkan, “Dagang bakso aja kagak bisa jujur-jujur amat. Buktinya, noh! Laki gue! Elu pikir tuh bakso daging sapi semua?”
“Maksudnya, Bu?” Kini aku menatapnya. Ia sedang menjemur baju anak-anaknya. Dari samping, tetek dan perutnya tampak saling membalap. Perutnya menang.
“Emang sih… Gue kagak tau tuh daging apaan… Entah daging sapi apkiran, celeng, atau apaan. Jangan-jangan daging tikus, lagi! Soalnya, pas dia baru beli daging, ya daging… Kagak keliatan bentuk hewannya…
“Cuma, kalo diitung-itung, kagak mungkin itu daging sapi beli di pasar. Kan, elu tau ndiri harga daging sapi sekarang berape… Kalo beneran pake daging sapi, laki gue mau jual tuh bakso berape? Kagak bakal ada yang beli! Kalo kagak ada yang beli, tuh anak-anak diempanin apaan? Batu? Batu aja hari gini kagak gratis!
Ia menghela napas, lalu melanjutkan.
“Alhamdulillah. Ampe sekarang, setoran lancar. Buat bayar sewa tuh gerobak, makan ama sekolah anak-anak. Belum lagi tetek-bengek yang laen. Emang nyuci baju kagak pake sabun?”
Tiba-tiba aku ingat lagi, besok aku harus beli sabun. Saat pengangguran, sabun pun rasanya jadi terlalu mahal.
“Iya, bu,” aku menjawab pelan.
“Udahlah… Ngomong ama elu gak ada abisnya,” ia berkata kocak. “Jemuran gua juga udah selesai.”
Giliranku menghela napas. Lega. Dan mataku tertumbuk pada pakaian terakhir yang disampirkannya di tali tambang jemuran. Sebuah beha merah berenda-renda yang kini berbaris di sela beha-beha putih usangnya. Ia masuk rumah dan aku diam saja.
***
Jakarta masih mendung. Tak ada ruang kosong sedikit juga untuk sinar matahari yang ingin menyelusup keluar dari langit. Hanya rangkaian kelabu gelap terang yang mengisi tiap sudutnya. Begitupun dengan jalanan yang masih basah lembab karena gerimis yang tak kunjung turun jadi hujan deras.
Sudah hampir sebulan aku menganggur. Sisa pesangon sudah mendekati detik-detik terakhir. Jangankan sekarang. Saat masih menerima gajipun, uang tak pernah cukup. Sering aku harus menyambung hidup dari kasbon, sekadar untuk makan. Rokok sudah lama kuhentikan, setelah sadar biaya rokok kerap lebih besar dari biaya makan. Rasanya salah saja, menyebul-nyebulkan asap sementara perut lapar.
Aku duduk di pinggir trotoar. Kakiku rasanya bengkak setelah seharian berjalan keluar masuk kantor. Nyaris tanpa hasil kecuali segelas air mineral dari satpam gedung yang iba melihatku.
“Saya mau disuruh apa aja, Pak…,” kataku, meski aku tahu percuma mengatakan apapun padanya.
“Duh, dek… Gimana mau ngelamar kerja di sini? Kemaren aja baru aja banyak yang kena PHK. Manajer aja ada yang kena. Temen-temen saya banyak yang dikurangin. Bayangin, sekarang gedung segede gini cuma dijagain 4 orang setiap malem…,” satpam itu berkata.
Aku menghela napas saat ia menyodorkan segelas air mineral. Aku meminumnya hingga tandas. Sebelum akhirnya aku meneruskan perjalanan.
Langit mendung menelan Jakarta. Awan berarak-arak seperti pasukan dewa dari neraka. Lidah api menjilat-jilat dari sela-selanya. Sebentar-sebentar guntur menggelegar membelah angkasa. Orang yang berlalu lalang memandang langit seakan mencari sumber suara. Berjalan makin tergesa, mencari kendaran untuk pulang atau tempat untuk berteduh dari hujan yang pasti sebentar lagi datang.
Aku masih terduduk di pinggir trotoar. Menatapi mobil- mobil yang lalu lalang. Menatapi gedung-gedung yang dengan sombong mencoba menusuk awan. Menatapi pakaian-pakaian orang yang rapih dengan tas mahal yang disampirkan. Menatapi mimpi Jakarta yang kian pudar.
Guntur kembali menggelegar. Kilat menyambar-nyambar. Kini disambut tetes hujan sebesar paku yang makin lama makin rapat. Orang-orang berhamburan.
Dan aku masih terduduk di pinggir trotoar. Kubiarkan sepatuku basah lagi. Begitu pun pakaianku. Surat-surat lamaranku. Aku terduduk di trotoar, membiarkan orang-orang menatap heran. Berharap ada yang hilang. Berharap ada yang luruh. Tapi, tidak.
Ternyata, tidak.
***
“Jang, tumben jam segini belum berangkat? Udah dapet kerja?” ibu itu kembali menanyaiku. Kini ia mengenakan beha merah berenda. Kudengar suaranya semalam, ia habis bercinta.
Aku menggeleng lemas. Ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Dan meskipun ia tak mengatakannya, aku merasa ia berkata, “Rasain! Banyakan bacot sih, lu!”
“Belum rejekinya kali, Bu… Mungkin saya harus usaha lagi,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.
Ia tersenyum lebih lebar. Cemoohnya kini makin terlihat. Dengan beha merahnya, ia seperti iblis dengan nyala api. Rambutnya yang habis diacak-acak suaminya tampak seperti sulur-sulur ular berbisa. Ia medusa!
“Udah… Nggak usah dipikirin, Jang…,” ia masih tersenyum dengan seringainya. “Jakarta memang keras. Beringas. Kalo elu gak mau dimakan, elu kudu makan orang!”
Aku tersenyum. Melihat beha merah berenda dengan perasaan yang aneh.
***
Malam di sini tidak pernah benar-benar sepi. Selalu ada suara bajaj di kejauhan. Selalu ada suara gitar dan lagu-lagu basi yang diulang-ulang hingga menjelang pagi. Ada suara bisik-bisik yang merambat dari tembok ke tembok. Di sini tembok tak bisa menyimpan rahasia. Maka tak bisa kuceritakan pada tembok tentang seorang pria yang kutemui tadi siang.
Pria berpakaian rapih yang berkata, “Tak bisa kuceritakan ini di sini.”
Beberapa saat kemudian aku dan dia telah ada di sebuah kafe dalam sebuah gedung bernama mall, tempat segala mimpi Jakarta berkumpul. Tempat pria-pria dan wanita-wanita necis duduk-duduk untuk mengobrol ngalor-ngidul. Aku diam. Menunggu dia berbicara. Aku yang bahkan tak mengenalnya.
Ini adegan lambat. Aku bisa melihat semua gerak-geriknya. Sosoknya. Ia seperti laiknya pria biasa. Sepatu keds, kaos, jaket dan tas ransel hitam. Topi dan kaca matanya membuat aku sulit melihat bola matanya. Ia mengaduk-aduk isi tas-nya. Entah apa yang dicarinya.
“Sebentar, ya,” ia tersenyum dan kembali mengaduk-aduk tas ransel yang sepertinya penuh itu.
Sebelumnnya…
***
Hujan telah berhenti, tapi mendungnya masih tertinggal di udara. Kelabunya juga masih menggantung-gantung bersama asap knalpot metromini dan bus kota yang adu balap di sela-sela kemacetan yang mulai kambuh.
Aku sudah lelah. Lelah tubuh karena seharian melawan cuaca buruk dan lelah hati karena tak kunjung bertemu dengan harapan. Ah, apalagi yang aku punya selain harapan? Pria itu datang dan memanggil namaku. Entah darimana dia tahu. Dan ia membawa harapan, begitu katanya.
“Kau tidak perlu tahu siapa namaku,” ia berkata bahkan sebelum aku sempat bertanya. “Kau pengangguran, bukan? Ini saatnya kau bekerja. Yah, bisa dikatakan ini adalah pekerjaan. Lebih tepatnya, mungkin, pengabdian.”
Aku diam. Ya, aku memang butuh pekerjaan. Aku butuh membeli sabun. Tapi, pengabdian? Pengabdian apa? Pengabdian pada siapa? Aku tidak mengerti kata-katanya.
“Kau hanya perlu melakukan suatu tugas. Tugas negara,” ia berkata.
Negara? Aku makin tak mengerti.
Pria berpakaian rapih itu berkata, “Tak bisa kuceritakan ini di sini.”
***
“Begitulah…,” ia menutup semua ceritanya yang terdengar seperti khutbah.
Kucoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya. Ia bicara pemerintah, wong cilik, kesejahteraan rakyat, nasi… nasionalisme, patrio… patriotisme… Dan entah apa lagi. Sebagian besar aku tidak mengerti. Tapi, ia mengatakan bahwa besok aku tak perlu khawatir tentang beli sabun lagi. Asal… Asal aku tutup mulut…
Pria itu tersenyum. Aku diam. Aku menunduk, tapi aku tahu matanya memandangku. Dan tiba-tiba tangannya mendorong sebuah amplop tebal hingga ada di ujung pandanganku.
“Dan ini sebagai ucapan terimakasih…”
Sekilas ia membuka ujung amplop itu. Terlihat lembar-lembar merah entah berapa banyak. Dan mendadak kuingat, aku benci beha merah berenda itu.
***
Lagu-lagu yang sama terus diulang-ulang. Di kejauhan, suara bajaj masih bingar. Di kampung ini memang tak pernah benar-benar sepi. Bunyi yang sama setiap malam saat orang-orang tak lagi sadar.
Aku menarik napas, membuangnya pelan-pelan supaya tak terdengar. Dadaku berdetak.
***
Hujan turun gerimis-gerimis. Langit mendung. Tapi tanah di kampung itu basah kuyup. Abu dan sisa-sisa bangunan yang jadi arang menghitam. Di kejauhan masih terdengar suara mobil pemadam yang katanya terlambat datang. Tak ada lagi bangunan bertingkat karena tak ada lagi TV asal merek yang perlu diselamatkan dari banjir. Semua hangus. Rata dengan tanah.
Orang tampak mengais sisa-sisa barang yang masih bisa diselamatkan. Polisi ramai. Wartawan tampak sibuk merekam seorang bapak yang berteriak-teriak penuh amarah, memaki-maki bahwa ini adalah penggusuran terselubung. Seorang ibu hanya bisa menangis mengenakan beha kain putih sambil memeluk 4 bocahnya. Ia tidak lagi punya apa-apa. Sementara seorang pemuda duduk diam dalam sebuah bus antar kota untuk pulang menuju kampungnya. Ada beha merah dalam tasnya.
Subuh. Rumah. 12 Februari 2012
wisnu.sumarwan@yahoo.com
@wisnusumarwan on twitter and streamzoo