Jakarta Kala Gerimis

image

Aku mendesah lagi. Memandang mendung tebal yang menggantung-gantung di langit menerbitkan galau. Sepatu yang hampir selalu basah, baju yang selalu lembab karena dipaksa kering oleh hawa panas seterika dan tidur yang tak pernah lelap, khawatir pada bocornya atap. Suara sungai di belakang bertambah keras setiap kali hujan turun makin deras. Ngeri. Seperti bibir sungai tengah bersiap menelan rumahku yang hanya sepetak ini.

Aku tinggal di sini sendiri. Dalam rumah petak kontrakan yang berdesak-desak dengan rumah lain. Hanya 1 kamar tidur merangkap ruang tamu, dapur kecil dan kamar mandi yang sama kecilnya. Ada tempat cuci dan jemuran di belakang, berbatasan dengan bibir sungai yang jika hujan airnya bisa kusentuh dengan tangan. Betapa pun kujaga rumah ini agar tetap bersih, selalu ada bau busuk comberan yang masuk.

Jika malam, obrolan tetangga bisa kudengar. Kadang-kadang tangis bayi atau lenguh suami istri tengah bercinta. Di sini semua serba terbuka. Bau ikan asin atau peda goreng juga mudah menyeberang. Atau, suara piring pecah dibanting entah oleh siapa, yang kukira adalah pasangan suami-istri sedang bertengkar.  Semua bisa kudengar. Toh, semua orang sepertinya sudah terbiasa. Tidak peduli. Tiada urusan pribadi. Percuma menutup-nutupi. Semua urusan adalah, semua orang punya urusan.

Suatu ketika, “Kalo mau ribut, di hutan sono!! Gue mau tidur!”

Sepi sejenak.

Lalu, suara laki-bini saling teriak berlanjut lagi. Baku maki tengah malam. Disambung suara piring atau gelas dibanting. PRANG! Disambut teriakan. “Woy!” Lalu, teriakan berhenti. Suara jangkrik. Tak lama, raungan tangis bayi. Lalu perlahan-lahan sepi lagi. Sepi sampai menjelang pagi. Meski, tidak pernah benar-benar sepi.

***

“Jang, kerja lu apa, sih? Rajin amat jam segini udah mau jalan? Biasanya anak bujang bangun siang-siang,” ibu-ibu tetangga sebelah bertanya waktu aku sedang mencuci baju. Tempat cuci baju di rumahku ini memang menyambung dengan tempatnya, hanya dibatasi saluran air kecil sebesar belah batang bambu.

Kupandang ia sejenak. Ia mengenakan beha kain dan rok butut seadanya. Badannya yang gemuk menunjukkan lipatan-lipatan perutnya dan garis-garis yang kukira sisa kehamilannya. Ia tidak terlalu tua. Umur 30-an, kurasa. Anaknya 4, masih kecil-kecil semua. Segera terbayang bagaimana ia bercinta dengan suaminya, suaranya kerap menyelinap ke dalam kamarku. Membuatku tak bisa tidur. Hmmmm… Aku belum pernah masuk ke rumahnya, tapi bisa kubayangkan bagaimana mereka bergumul di hadapan anak-anaknya yang tengah tidur lelap.

“Saya masih nyari kerja, bu. Saya baru kena PHK. Ada pemotongan jumlah karyawan di tempat kerja saya yang dulu,” jawabku.

“Emang, sekarang elu pengen kerja apaan? Hari gini susah nyari kerjaan…”

“Kerja apaan aja lah, Bu,” jawabku. “Yang penting halal.”

Kulihat ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Lalu ia berkata lagi.

“Bukannya gue mau ngendorin semangat elu. Cuma, sekarang jaman edan, Jang. Nyari yang halal, mah, susaaaah. Kagak ada duitnyeee… Noh,  liat aje Mat Jai. Dulu, die juga ngomong sama kayak elu. Buntut-buntutnye? Jadi marbot die…,” ia tertawa.

Aku diam. Ah, bisa saja Mat Jai memang memilih jadi marbot. Bukankah menjaga masjid dan membangunkan orang-orang shalat Subuh adalah pekerjaan mulia? Tapi urung kukatakan.

“Nasib kali ya, Bu… Yang penting, saya usaha dulu,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.

“Ooh, gitu. Selamat nyari kerja, laaah..,” ia berbalik masuk rumah dan sebelumnya ia berkata lagi. “Jakarta emang keras, Jang…”

Aku tersenyum.

***

Aku mencoba tersenyum. Tapi, mendung memang membawa sedih. Menipiskan harapan. Menyisakan sedikit ketakutan. Ketakutan pada hujan yang mungkin akan menganugrahkan banjir pada Jakarta dengan kami penghuni rumah berdesak-desak yang jadi korbannya.

Rumah tingkat bukan lagi dominasi kaum kaya. Orang miskin Jakarta juga harus membuat rumah tingkat. Bukan mendewa-dewakan kenyamanan, tapi rumah tingkat bisa menyelamatkan barang-barang KW4 dari serbuan banjir yang bisa sampai ke atap. Tak perlu lah barang-barang yang tak berharga ini harus direndam banjir pula. TV asal merek, seperti SONI atau SONNY, cukup menghibur di malam hari daripada membuat anak lagi.

Gerimis mulai menggertak sembari angin bertiup makin kencang. Ah, alamat sepatu basah lagi ini, pikirku.

***

“Jang, udah dapet kerja lu?” Di suatu pagi lain ibu itu bertanya lagi masih dengan beha kain yang sama.

Kulihat jemurannya. Hmmm… Ia mengenakan beha yang serupa tapi tak sama. Kini, beha putih berbahan kain ramai berjejer-jejer di tali tambang jemuran. Sepertinya ia cuma punya satu jenis beha.  Beha putih dengan bahan seperti seprai yang semuanya tampak sudah kekuningan dimakan air kotor sungai yang dipakai untuk cucian.

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Dan meskipun ia tak mengatakannya, aku merasa ia berkata, “Nah, apa gua bilang?”

“Mungkin saya harus lebih sabar ya, Bu… Yang penting, saya usaha dulu,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.

Ia tersenyum lagi. Memandangku seperti mengasihani, “Jang… Jang… Mana ada sih kerjaan yang bener-bener jujur jaman sekarang… Mau kerja kudu nyogok! Yang penting kita kagak ngerampok atau jadi begal…”

Ia menggidik. Aku terdiam dengan mata masih memandang cucian. Besok sabun cuciku habis.

Ia melanjutkan, “Dagang bakso aja kagak bisa jujur-jujur amat. Buktinya, noh! Laki gue! Elu pikir tuh bakso daging sapi semua?”

“Maksudnya, Bu?” Kini aku menatapnya. Ia sedang menjemur baju anak-anaknya. Dari samping, tetek dan perutnya tampak saling membalap. Perutnya menang.

“Emang sih… Gue kagak tau tuh daging apaan… Entah daging sapi apkiran, celeng, atau apaan. Jangan-jangan daging tikus, lagi! Soalnya, pas dia baru beli daging, ya daging… Kagak keliatan bentuk hewannya…

“Cuma, kalo diitung-itung, kagak mungkin itu daging sapi beli di pasar. Kan, elu tau ndiri harga daging sapi sekarang berape… Kalo beneran pake daging sapi, laki gue mau jual tuh bakso berape? Kagak bakal ada yang beli! Kalo kagak ada yang beli, tuh anak-anak diempanin apaan? Batu? Batu aja hari gini kagak gratis!

Ia menghela napas, lalu melanjutkan.

“Alhamdulillah. Ampe sekarang, setoran lancar. Buat bayar sewa tuh gerobak, makan ama sekolah anak-anak. Belum lagi tetek-bengek yang laen. Emang nyuci baju kagak pake sabun?”

Tiba-tiba aku ingat lagi, besok aku harus beli sabun. Saat pengangguran, sabun pun rasanya jadi terlalu mahal.

“Iya, bu,” aku menjawab pelan.

“Udahlah… Ngomong ama elu gak ada abisnya,” ia berkata kocak. “Jemuran gua juga udah selesai.”

Giliranku menghela napas. Lega. Dan mataku tertumbuk pada pakaian terakhir yang disampirkannya di tali tambang jemuran. Sebuah beha merah berenda-renda yang kini berbaris di sela beha-beha putih usangnya. Ia masuk rumah dan aku diam saja.

***

Jakarta masih mendung. Tak ada ruang kosong sedikit juga untuk sinar matahari yang ingin menyelusup keluar dari langit. Hanya rangkaian kelabu gelap terang yang mengisi tiap sudutnya. Begitupun dengan jalanan yang masih basah lembab karena gerimis yang tak kunjung turun jadi hujan deras.

Sudah hampir sebulan aku menganggur. Sisa pesangon sudah mendekati detik-detik terakhir. Jangankan sekarang. Saat masih menerima gajipun, uang tak pernah cukup. Sering aku harus menyambung hidup dari kasbon, sekadar untuk makan. Rokok sudah lama kuhentikan, setelah sadar biaya rokok kerap lebih besar dari biaya makan. Rasanya salah saja, menyebul-nyebulkan asap sementara perut lapar.

Aku duduk di pinggir trotoar. Kakiku rasanya bengkak setelah seharian berjalan keluar masuk kantor. Nyaris tanpa hasil kecuali segelas air mineral dari satpam gedung yang iba melihatku.

“Saya mau disuruh apa aja, Pak…,” kataku, meski aku tahu percuma mengatakan apapun padanya.

“Duh, dek… Gimana mau ngelamar kerja di sini? Kemaren aja baru aja banyak yang kena PHK. Manajer aja ada yang kena. Temen-temen saya banyak yang dikurangin. Bayangin, sekarang gedung segede gini cuma dijagain 4 orang setiap malem…,” satpam itu berkata.

Aku menghela napas saat ia menyodorkan segelas air mineral. Aku meminumnya hingga tandas. Sebelum akhirnya aku meneruskan perjalanan.

Langit mendung menelan Jakarta. Awan berarak-arak seperti pasukan dewa dari neraka. Lidah api menjilat-jilat dari sela-selanya. Sebentar-sebentar guntur menggelegar membelah angkasa. Orang yang berlalu lalang memandang langit seakan mencari sumber suara. Berjalan makin tergesa, mencari kendaran untuk pulang atau tempat untuk berteduh dari hujan yang pasti sebentar lagi datang.

Aku masih terduduk di pinggir trotoar. Menatapi mobil- mobil yang lalu lalang. Menatapi gedung-gedung yang dengan sombong mencoba menusuk awan. Menatapi pakaian-pakaian orang yang rapih dengan tas mahal yang disampirkan. Menatapi mimpi Jakarta yang kian pudar.

Guntur kembali menggelegar. Kilat menyambar-nyambar. Kini disambut tetes hujan sebesar paku yang makin lama makin rapat. Orang-orang berhamburan.

Dan aku masih terduduk di pinggir trotoar. Kubiarkan sepatuku basah lagi. Begitu pun pakaianku. Surat-surat lamaranku. Aku terduduk di trotoar, membiarkan orang-orang menatap heran. Berharap ada yang hilang. Berharap ada yang luruh. Tapi, tidak.

Ternyata, tidak.

***

“Jang, tumben jam segini belum berangkat? Udah dapet kerja?” ibu itu kembali menanyaiku. Kini ia mengenakan beha merah berenda. Kudengar suaranya semalam, ia habis bercinta.

Aku menggeleng lemas. Ia tersenyum. Segurat kulihat seperti seringai mencemooh. Dan meskipun ia tak mengatakannya, aku merasa ia berkata, “Rasain! Banyakan bacot sih, lu!”

“Belum rejekinya kali, Bu… Mungkin saya harus usaha lagi,” jawabku pelan sambil terus memandang cucianku.

Ia tersenyum lebih lebar. Cemoohnya kini makin terlihat. Dengan beha merahnya, ia seperti iblis dengan nyala api. Rambutnya yang habis diacak-acak suaminya tampak seperti sulur-sulur ular berbisa. Ia medusa!

“Udah… Nggak usah dipikirin, Jang…,” ia masih tersenyum dengan seringainya. “Jakarta memang keras. Beringas. Kalo elu gak mau dimakan, elu kudu makan orang!”

Aku tersenyum. Melihat beha merah berenda dengan perasaan yang aneh.

***

Malam di sini tidak pernah benar-benar sepi. Selalu ada suara bajaj di kejauhan. Selalu ada suara gitar dan lagu-lagu basi yang diulang-ulang hingga menjelang pagi. Ada suara bisik-bisik yang merambat dari tembok ke tembok. Di sini tembok tak bisa menyimpan rahasia. Maka tak bisa kuceritakan pada tembok tentang seorang pria yang kutemui tadi siang.

Pria berpakaian rapih yang berkata, “Tak bisa kuceritakan ini di sini.”

Beberapa saat kemudian aku dan dia telah ada di sebuah kafe dalam sebuah gedung bernama mall, tempat segala mimpi Jakarta berkumpul. Tempat pria-pria dan wanita-wanita necis duduk-duduk untuk mengobrol ngalor-ngidul. Aku diam. Menunggu dia berbicara. Aku yang bahkan tak mengenalnya.

Ini adegan lambat. Aku bisa melihat semua gerak-geriknya. Sosoknya. Ia seperti laiknya pria biasa. Sepatu keds, kaos, jaket dan tas ransel hitam. Topi dan kaca matanya membuat aku sulit melihat bola matanya. Ia mengaduk-aduk isi tas-nya. Entah apa yang dicarinya.

“Sebentar, ya,” ia tersenyum dan kembali mengaduk-aduk tas ransel yang sepertinya penuh itu.

Sebelumnnya…

***

Hujan telah berhenti, tapi mendungnya masih tertinggal di udara. Kelabunya juga masih menggantung-gantung bersama asap knalpot metromini dan bus kota yang adu balap di sela-sela kemacetan yang mulai kambuh.

Aku sudah lelah. Lelah tubuh karena seharian melawan cuaca buruk dan lelah hati karena tak kunjung bertemu dengan harapan. Ah, apalagi yang aku punya selain harapan? Pria itu datang dan memanggil namaku. Entah darimana dia tahu. Dan ia membawa harapan, begitu katanya.

“Kau tidak perlu tahu siapa namaku,” ia berkata bahkan sebelum aku sempat bertanya. “Kau pengangguran, bukan? Ini saatnya kau bekerja. Yah, bisa dikatakan ini adalah pekerjaan. Lebih tepatnya, mungkin, pengabdian.”

Aku diam. Ya, aku memang butuh pekerjaan. Aku butuh membeli sabun. Tapi, pengabdian? Pengabdian apa? Pengabdian pada siapa? Aku tidak mengerti kata-katanya.

“Kau hanya perlu melakukan suatu tugas. Tugas negara,” ia berkata.

Negara? Aku makin tak mengerti.

Pria berpakaian rapih itu berkata, “Tak bisa kuceritakan ini di sini.”

***

“Begitulah…,” ia menutup semua ceritanya yang terdengar seperti khutbah.

Kucoba mencerna apa yang baru saja dikatakannya. Ia bicara pemerintah, wong cilik, kesejahteraan rakyat, nasi… nasionalisme, patrio… patriotisme… Dan entah apa lagi. Sebagian besar aku tidak mengerti. Tapi, ia mengatakan bahwa besok aku tak perlu khawatir tentang beli sabun lagi. Asal… Asal aku tutup mulut…

Pria itu tersenyum. Aku diam. Aku menunduk, tapi aku tahu matanya memandangku. Dan tiba-tiba tangannya mendorong sebuah amplop tebal hingga ada di ujung pandanganku.

“Dan ini sebagai ucapan terimakasih…”

Sekilas ia membuka ujung amplop itu. Terlihat lembar-lembar merah entah berapa banyak. Dan mendadak kuingat, aku benci beha merah berenda itu.

***

Lagu-lagu yang sama terus diulang-ulang. Di kejauhan, suara bajaj masih bingar. Di kampung ini memang tak pernah benar-benar sepi. Bunyi yang sama setiap malam saat orang-orang tak lagi sadar.

Aku menarik napas, membuangnya pelan-pelan supaya tak terdengar. Dadaku berdetak.

***

Hujan turun gerimis-gerimis. Langit mendung. Tapi tanah di kampung itu basah kuyup. Abu dan sisa-sisa bangunan yang jadi arang menghitam. Di kejauhan masih terdengar suara mobil pemadam yang katanya terlambat datang. Tak ada lagi bangunan bertingkat karena tak ada lagi TV asal merek yang perlu diselamatkan dari banjir. Semua hangus. Rata dengan tanah.

Orang tampak mengais sisa-sisa barang yang masih bisa diselamatkan. Polisi ramai. Wartawan tampak sibuk merekam seorang bapak yang berteriak-teriak penuh amarah, memaki-maki bahwa ini adalah penggusuran terselubung. Seorang ibu hanya bisa menangis mengenakan beha kain putih sambil memeluk 4 bocahnya. Ia tidak lagi punya apa-apa. Sementara seorang pemuda duduk diam dalam sebuah bus antar kota untuk pulang menuju kampungnya. Ada beha merah dalam tasnya.

Subuh. Rumah. 12 Februari 2012
wisnu.sumarwan@yahoo.com
@wisnusumarwan on twitter and streamzoo

Kupu-Kupu Api

Aku kini ditelan bulat-bulat oleh riuhnya pasar malam di desaku. Bukan hanya aku, tapi seluruh warga turut dalam bingarnya. Bahkan, karena keriuhan yang mereka rasakanlah maka aku juga merasakan keriuhan itu.

Suara gemuruh musik dangdut bersorak ke sepenjuru desa dari sebuah lapangan yang kini dipenuhi orang-orang yang mengelilingi beberapa panggung yang gemerlap oleh sorot-sorot lampu warna-warni. Panggung-panggung dan tenda-tenda itu dipenuhi berbagai pertunjukan dan permainan. Bocah-bocah sibuk menarik-narik orangtua mereka dari satu tempat ke tempat lainnya atau ke sudut yang menarik perhatiannya. Penjual aneka makanan, minuman dan mainan berlomba menarik pembeli dengan bunyi-bunyi yang baku tarung. Sesekali teriak riuh terdengar dari kereta luncur yang meliuk cepat, melambat, berkelok, memutar dan mengocok-ngocok lambung para penumpangnya. Suara tawa dan tangis bocah bersahut-sahutan.

Ini perayaan tahunan di desa kami. Perayaan kupu-kupu api.

***

Entah sejak kapan perayaan ini diadakan. Yang kutahu, sejak aku memiliki kesadaran, perayaan ini sudah ada. Disambut gembira oleh seluruh warga desa.

Perayaan ini dilaksanakan di akhir musim panen dalam gegap gempita pasar malam yang digelar 3 malam berturut-turut. Di malam ketiga, ada upacara khusus yang merupakan puncak dari perayaan ini. Seluruh warga desa akan berkumpul di puncak gunung, tak jauh dari desa, untuk memberikan persembahan berupa hewan ternak dan sebagian hasil bumi. Lalu, tak lama akan muncul dari dalam kepundan gunung, rombongan kupu-kupu yang aku tak tahu pasti warnanya. Yang kulihat mereka berwarna serupa jingga seperti bara yang menyala-nyala. Mungkin, itulah sebabnya mereka disebut kupu-kupu api. Ya, kupu-kupu api.

Para tetua mengatakan bahwa itu bukan kupu-kupu biasa. Itu kupu-kupu kiriman para dewa yang katanya bersemayam di dasar bumi. Dewa-dewa yang memberkati tanah kami dengan kesuburan. Munculnya rombongan kupu-kupu itu adalah pertanda bahwa musim tanam akan berjalan lancar dan kami akan mendapat hasil yang melimpah ruah pada musim panen berikutnya.

Wajarlah jika kedatangan kupu-kupu api adalah hal yang istimewa dan perlu disambut dengan pesta pora. Sekalipun sebenarnya pada 2 malam pertama perayaan, kami belum layak untuk benar-benar gembira. Bagaimana jika kupu-kupu itu tidak muncul? Sepanjang yang aku tahu hal itu belum pernah terjadi. Namun, apalah yang tidak mungkin terjadi?

Menurut para tetua pula, itulah gunanya persembahan yang kami berikan. Untuk menyenangkan dewa penguasa bumi hingga dengan senang hati melindungi tanah kami dari bahaya dan memberkahi apapun yang tumbuh di atasnya. Aku diam mendengarnya. Tapi aku jadi berpikir, ternyata dewa pun perlu disogok.

Mungkin para tetua sadar bahwa bisa jadi tidak semua sogokan akan menyenangkan pihak yang disogok. Bagaimana jika para dewa tidak merasa senang dengan sogokan kami? Maka, aku kerap melihat raut tegang sesaat setelah persembahan-persembahan dilempar ke dalam kepundan. Semua akan menunggu kupu-kupu api yang berpijar-pijar. Sorak-sorai baru terdengar setelah rombongan kupu-kupu api muncul seperti menyambut persembahan yang kami berikan. Itu tandanya sogokan kami diterima para dewa.

***

Ini malam ketiga. Puncak gunung telah ramai oleh seluruh warga desa. Mulai dari bayi yang baru lahir hingga orang-orang tua bau tanah berkumpul di sini. Saking pentingnya upacara ini, lansia atau orang sakit yang sedang tergeletak di tempat tidur pun akan memaksa untuk hadir di sini, mengikuti upacara dengan khidmat.

Bunyi gamelan menggema-gema ke seluruh penjuru lembah.

Biasanya, hanya para pendaki gunung dari kota dan pemandu mereka yang mau ke tempat ini. Pemandangan dari puncak gunung ini memang sangat indah. Puncak pasir berkilauan dan batu cadas dikelilingi padang edelweiss dengan bibir sumur alam yang jika dilihat dasarnya terdapat cairan panas sewarna senja dengan sesekali lidah api menjilat-jilat. Warga desa jarang datang ke tempat ini. Tapi sekarang, puncak gunung ini jadi begitu ramai.

Musik gamelan yang awalnya bertiup syahdu makin lama bergerak makin cepat dan keras seiring munculnya wanita-wanita desa yang berbaris-baris menari. Tidak cukup 1, 2 atau belasan penari. Seluruh wanita di desa kami yang bisa berdiri akan ikut menari. Bahkan yang tidak bisa berdiripun memaksa diri. Tidak ada aturan tentang siapa yang boleh atau tidak boleh menari, bahkan bayi pun boleh ikut menari dalam gendongan ibunya. Wanita renta menari dalam papahan cucu-cicitnya. Mungkin, tujuannya untuk menyenangkan suasana hati para dewa. Makin banyak wanita yang menari, dewa-dewa makin senang, mungkin begitu. Bukankah suasana hati yang baik akan membuat pemberian makin terasa menyenangkan? Jadi, senangkan dulu hati para dewa, maka persembahan akan diterima. Jika persembahan diterima maka panen akan berjalan lancar. Begitu logikanya.

Hewan-hewan ternak yang akan dipersembahkam terbaring dengan kaki terikat. Mereka meronta-ronta. Bisa jadi mereka tahu bahwa sebentar lagi mereka akan dipersembahkan hidup-hidup pada para dewa yang kini mulutnya menganga dengan lidah-lidah magma yang menggelegak. Bunyi gamelan mengembara menuju lapis-lapis langit yang tertutup mendung. Beberapa tetua meniupkan asap ke udara menahan mendung agar tak jadi hujan. Beberapa lainnya menahan napas sambil menunggu saat yang tepat untuk melemparkan sesajen dalam kepundan. Sementara, wanita-wanita, gadis-gadis dan bocah-bocah perempuan terus bergerak dalam konfigurasi tarian yang berulang-ulang monoton. Telapak tangan mereka berputar-putar lembut seiring gerakan tubuh mereka yang gemulai. Langit berkonspirasi dengan musik menimbulkan suasana mistis yang menekan. Langit tak berbintang membuat hanya gelap semata yang ada. Barisan obor bambu melambai-lambai apinya, seperti tangan-tangan bayi dari neraka. Obor-obor itu hanya jadi penunjuk jalan karena suasana tak sedikit pun bertambah terang. Jikapun ada iblis di sini, tak satu pun kami akan menyadari. Gelap bersimaharaja bersama aroma dupa dan bunga-bunga.

Tiba-tiba seorang tetua berteriak garang. Suaranya membelah segala suara yang ada. Teriakan itu disambut teriakan-teriakan tetua lainnya lalu para wanita ikut meneriakkan kata yang sama. Suara gamelan semakin keras, terdengar menggebrak-gebrak. Konfigurasi tari juga bergerak, makin mendekat pada kepundan, melingkarinya sambil terus bergerak makin keras. Seperti kesurupan. Lalu, beberapa pria bertelanjang dada menembus barisan. Mengangkat persembahan-persembahan yang akan segera jadi korban.

Dari jauh tampak para tetua berkomat-kamit. Kemudian doa diteriakkan diikuti oleh gumaman seluruh warga desa. Suasana tegang yang entah darimana datangnya menyelimuti puncak gunung. Suara gamelan yang makin mencekam bercampur dengan deru gelegak dari dalam kepundan. Pria-pria mengangkat tinggi-tinggi korban persembahan, hewan ternak dan hasil bumi. Seperti ada mata menatap tajam dari dalam kepundan, mulut raksasa para dewa menunggu mangsa. Mereka ramai. Ramai tenggelam dalam doa. Lalu, seorang tetua berteriak-teriak lantang dalam kata-kata yang seperti meracau. Kedua tangannya menengadah, memohon pada langit gelap yang cekam.

Teriakan tetua terdengar lagi. Membahana di puncak langit disambut pria-pria telanjang dada yang menggeram keras layaknya serigala kelaparan. Lalu, tangan-tangan perkasa itu melemparkan korban satu per satu dalam kepundan. Hewan-hewan tak berdaya itu mati dimakan magma para dewa. Hasil bumi tenggelam dalam batuan cair yang merah membara. Inilah bukti kesetiaan kami pada mereka.

Aku diam sebagai saksi. Semoga dewa juga setia pada kami.

***

Seluruh korban dan persembahan telah terlontar. Doa dan musik gamelan perlahan hambar. Sepi merasuk perlahan. Tak ada tanda munculnya kupu-kupu api. Seluruh mata terpasung pada kepundan. Magma hanya menggelegak pelan. Aku tak mengerti, bukankah seharusnya aku tahu apa yang terjadi setelah ini? Bukankah seharusnya dewa-dewa segera mengirim kupu-kupu api? Balasan untuk kesetiaan kami pada mereka. Mengapa tiada yang terjadi? Apa dewa-dewa juga bisa lupa?

Para tetua mulai gelisah. Warga tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seperti kubilang tadi, ini belum pernah terjadi. Dewa tak mungkin ingkar janji. Benar, kan?

Para tetua mulai tampak panik. Berewok mereka yang putih tebal tak sanggup menutup ketakutan mereka. Jika benar kupu-kupu api urung muncul dari kepundan, maka desa kami terancam paceklik berkepanjangan. Hal yang tak pernah terjadi bahkan sejak 100 tahun terakhir. Mungkinkah kali ini terjadi?

Mungkinkah persembahan kami gagal menyenangkan para dewa? Kurang baguskah sogokan yang kami berikan? Atau kurang banyak? Kurang berharga?

Selama ini persembahan kami selalu diterima para dewa dengan senang hati. Begitu pikirku karena biasanya kupu-kupu api muncul tak lama setelah persembahan dilempar ke dalam kepundan. Ini sudah terlalu lama. Para dewa mungkin berubah selera. Tak lagi suka dengan kambing, babi dan ayam. Sekarang mereka ingin makan daging sapi.

“Bawakan sapi yang paling gemuk!” teriak salah satu tetua.

Beberapa pria desa segera turun dengan tergesa dan setelah beberapa lama muncul sambil menarik-narik sapi calon korban berikutnya. Saking takutnya datang paceklik, ada salah satu warga yang merelakan sapi kesayangannya. Sapi itu besar sekali. Terbayang sulitnya membawa sapi itu kemari, melipir di punggungan gunung yang curam. Tapi karena niat dan ketakutan, berhasil juga mereka menggiring sapi sebesar itu ke tempat ini.

Sapi besar itu tak berdaya melawan. Tak juga meronta saat puluhan tangan perkasa mendorongnya masuk dalam kepundan. Lenguhannya masih terdengar saat bobotnya meluncur tak kuasa melawan gravitasi. Magma menciprat dan tubuh itu menghilang menuju dasar bumi.

Tetua-tetua kembali meneriakkan mantra-mantra yang lebih terdengar seperti ratapan. Warga kembali menjawab juga dalam teriakan. Semuanya memohon agar para dewa sudi menerima persembahan dan mengirim kupu-kupu api sebagai tanda pemberkahan pada tanah kami.

Gamelan dan doa-doa kembali mengeras untuk kemudian melemah. Kupu-kupu api tak kunjung datang. Udara sudah mulai terlalu dingin. Obor-obor mulai redup satu persatu. Suasana makin temaram. Keraguan makin menekan. Kupu-kupu api seperti enggan untuk terbang. Para tetua makin tak sabar. Bocah-bocah mulai menangis. Ibu-ibu tua kehilangan tenaga untuk tetap bertahan. Udara dingin telah terlalu menusuk. Hati kami telah sakit. Mungkinkah dewa-dewa menipu kami? Meminta kami untuk memenuhi perut mereka untuk janji-janji yang palsu. Jika kami telah setia pada mereka bukankah seharusnya mereka setia pada kami? Untuk apa kami berbakti jika tidak untuk pemenuhan janji-janji? Ataukah dewa-dewa telah bosan pada kami? Apa salah kami? Jangan salahkan jika kini aku menganggap dewa juga bisa ingkar janji.

“Tidak! Dewa tak mungkin ingkar janji,” seorang tetua berteriak. “Dewa-dewa tak lagi sudi menerima pengorbanan berupa hewan atau hasil bumi. Mereka ingin korban manusia!”

Suasana mendadak sepi. Kami terkesiap. Mata-mata memandang nanar. Korban manusia? Haruskah salah satu dari kami masuk ke dalam kepundan sana? Benarkah? Benarkah para dewa menyuruh kami mati? Ataukah ini hanya akal-akalan para tetua yang putus asa?

Selama ini, hanya para tetua yang bisa berhubungan langsung dengan para dewa. Katanya mereka bisa berbicara dengan penguasa bumi dan tanah kami. Bisakah? Benarkah mereka bisa? Siapa yang bilang? Siapa yang kini menipu sebenarnya? Dewa-dewa atau para tetua?

Rasanya aku ingin berteriak, ‘Buktikan! Buktikan jika memang itu keinginan para dewa!’, tapi urung kulakukan saat seorang nenek renta menangis keras.

“Korbankan aku! Biarkan aku mati untuk desa ini!”

Semua warga menengok pada nenek renta yang kini menangis meraung-raung. Tubuh rentanya kini jadi begitu perkasa. Ia berdiri tegak, menatap angkasa gelap semata. Airmata bercucuran. Ratapannya seperti memohon dewa langit agar membujuk dewa bumi untuk mengirimkan kupu-kupu api pada kami. Tak tampak lagi kelemahan tubuhnya yang tadi sempat menari dalam papahan cucu gadisnya. Kini ia berdiri bagai pahlawan yang siap mati. Melolong bagai serigala terluka. Memaki para dewa agar memenuhi janji mereka. Dan untuk itu, ia rela memberikan hidupnya.

Ini tak adil, pikirku. Bukankah tugas para dewa untuk memberi kebahagiaan pada kami? Mengapa mereka meminta korban nyawa untuk itu? Untuk apa nyawa kami yang tak berharga ini bagi mereka? Tidakkan ini hanya dibuat-dibuat oleh para tetua?

“Tubuh rentaku ini sudah tak ada gunanya lagi! Sekali ini biarkan aku bermakna! Aku korbankan tubuh ini!”

Kami semua diam. Tidak ada yang berani bersuara saat tubuh renta itu berjalan terseok mendekati lubang kepundan. Cucu yang tadi memapahnya seperti kaget dan tak mampu bergerak. Begitu pun para tetua yang tadi berkata bahwa dewa meminta korban nyawa manusia.

Nenek tua terus merayap mendekat pada kepundan. Matanya berkilat sendu seperti melihat mendiang suaminya berdiri di depannya. Suara gelegak magma yang sayup-sayup terdengar seperti kidung yang memanggil-manggil. Sepi. Hanya desir angin yang masih bersilat di telinga.

Kupu-kupu api tak juga muncul. Nenek itu berjalan selangkah demi selangkah dengan yakin. Cepatlah keluar kupu-kupu api, aku berdoa dalam hati. Jika, kupu-kupu api keluar saat ini, nenek itu tak akan mati.

Ratusan pasang mata menyaksikan adegan ini. Seperti tak rela membiarkan nenek tua senasib dengan sapi pengorbanan, tetapi tak juga berani menghalanginya. Bisa jadi nasib desa kami ada di tangannya.

Kupu-kupu api tak kunjung datang. Nenek renta masih berjalan saat terdengar bunyi deruman di kejauhan. Itu suara mesin truk dan alat-alat berat. Kemarin, kepala desa mengijinkan puluhan villa dibangun di tanah kami. Sekarang ia tidak hadir di sini.

Jakarta, 11/9/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

*gambar diambil dari http://www.myspace.com/the1theycallmother

Kentut Spektakuler

Tidak ada yang luar biasa pagi ini. Semua berjalan sebagaimana biasa. Jika saja tidak ada yang kentut, pagi ini akan biasa saja. Ini kentut luar biasa. Karena kentut ini bisa mengubah pagi yang biasanya biasa saja menjadi tidak biasa. Paling tidak, kentut ini menunjukkan bahwa orang Indonesia memang luar biasa. Orang Indonesia? Terlalu menggeneralisasi? Baiklah. Orang-orang dalam busway, yang juga orang Indonesia ini luar biasa.

“Hei!” Seseorang berteriak gusar. “Kau tidak lihat ada bule di sini? Tidak semua orang dalam busway ini orang Indonesia, tauk!”

Jadi aku salah lagi? Ok. Ok… Siapapun yang mendengar kisah ini boleh merasa luar biasa. Atau, merasa tidak luar biasa. Terserah kalian. Jadi, bisa kuteruskan cerita ini? Atau, ada lagi yang mau protes?

“Silakan! Silakan teruskan ceritanya.”

Baiklah. Akan kuteruskan ceritanya.

***

Karena aku yang bercerita, maka perkenankan aku untuk bercerita dari sudut pandangku. Ini bukan hak prerogratif tukang cerita, bisa membuat versi semaunya? Ok, Aku tahu. Aku tahu kalian semua mau protes. Tapi tunggu sebentar. Hakku untuk bicara seenaknya tidak menghilangkan hak kalian untuk berbuat sama, bukan? Jadi, silakan buat versi kalian sendiri setelah ini. Dan kutegaskan sekali lagi. Ini versi ceritaku yang diawali pagi-pagi sekali sebelum aku berangkat pergi.

Begini… Aku bangun tidur. Agak dingin memang karena AC disetel terlalu dingin semalam. Jadi, aku minta disiapkan air hangat. Setelah itu…

***

“Sudahlah!” Seseorang protes lagi. “Langsung saja ke pokok masalah! Jangan bertele-tele!”

Sebentar. Sebentar. Kita harus tahu duduk permasalahan hingga ke akar-akarnya. Walaupun aku hanya tukang cerita, aku juga tidak mau dituduh bahwa akulah penyebab masalah ini. Aku cuma mau bilang bahwa sebelum aku berangkat, seperti biasa, aku sudah mandi, sarapan dan buang hajat. Artinya perutku sudah bersih dari kotoran. Jadi, aku tidak mungkin kentut sebau itu! Dan, ini sangat terkait dengan permasalahan kentut. Relevan!

“Sudah! Teruskan saja ceritamu!” seseorang membentak.

Baik. Aku teruskan. Setelah itu, aku seperti biasanya menuju halte busway. Akhirnya, setelah lama menunggu, datang juga busway yang penuh sesak. Tapi, aku tak punya pilihan selain naik karena takut busway berikutnya malah semakin penuh.

“Aku juga!” seorang gadis berteriak girang. “Aku naik karena takut terlambat sampai sekolah!”

Yang lain menimpali, “Aku takut terlambat sampai di kantor!”

“Aku takut giliranku wawancara kerja terlewat!”

“Jadi, kita semua berkumpul karena sama-sama takut?”

Entahlah. Aku hanya tukang cerita. Bukan pembaca pikiran. Tapi, aku bisa menyimpulkan bahwa kami semua yang ada dalam busway itu adalah orang-orang yang berharap jalan bebas hambatan ini akan mempercepat sampai tujuan. Siapa yang menyangka kentut bisa menghambat semuanya?

***

Pembaca yang terhormat, akhirnya sampai juga kita di inti cerita. Entah datang dari mana, tiba-tiba tercium bau kurang sedap.

“Hahaha!” seorang bapak yang diam sejak tadi tiba-tiba tertawa keras. “Kurang sedap? Kau memang orang Indonesia asli! Menghaluskan semuanya! Hahaha!”

Sebenarnya aku tersinggung. Bukan karena ia mengatakan bahwa aku adalah orang Indonesia asli, melainkan kata-katanya itu menyiratkan bahwa aku kurang objektif. Tukang cerita harus objektif, bukan? Tapi demi kelanjutan cerita, aku tidak memasukkannya ke hati.

Demi objektifitas, aku ulang pernyataanku tadi. Entah datang dari mana, tiba-tiba tercium bau kotoran manusia.

“Ah! Kau terlalu kasar!” seseorang memprotes.

Jadi maunya bagaimana? Diperhalus salah, dikatakan yang sebenarnya juga salah. Sudah! Dengarkan saja ceritaku! Intinya, ada seseorang yang tidak diketahui identitasnya kentut di dalam busway. Awalnya memang tidak terlalu tercium. Namun lama-lama bisa membuat perut mual. Paling tidak, aku nyaris muntah dibuatnya.

“Ya! Aku bahkan sudah muntah!” seseorang menimpali.

Lupakan muntah. Ini masalah kentut, bukan muntah. Kita harus fokus pada masalah.

“Tidak bisa!” seorang ibu berteriak. “Gara-gara kentut itu, anakku berak di celana! Itu adalah barang bukti! Bahwa kentut itu telah menyebabkan kita semua kena masalah!”

Baiklah! Muntah dan berak juga perlu diceritakan. Kentut yang membuat muntah dan berak itu telah berakibat buruk pada semua penumpang busway.

Sebuah suara kebingungan terdengar, “Egh… Maaf, saya ketiduran. Ada apa, ya?”

Oke! Tidak semua penumpang busway terkena akibat, tapi setidaknya insiden kentut itu telah menimbulkan keresahan. Sehingga perlu diselidiki secara mendalam.

“Penyelidikan atau penyidikan?” seseorang bertanya.

“Kau pengacara?” orang lain bertanya balik.

“Bukan.”

“Jaksa?”

“Bukan.”

“Hakim?”

“Bukan.”

“Atau, mahasiswa fakultas hukum?”

“Bukan.”

“Sudah! Tutup mulutmu!” ia membentak. “Lanjutkan ceritanya!”

***

Pembaca yang terhormat, ini masalah yang sangat pelik. Tapi, bukan orang Indonesia kalau tidak berhasil menemukan solusi. Lupakan bule yang cuma satu orang itu. Pemecahan dari masalah itu adalah…

“Bentuk pansus! Panitia khusus!”

“Benar! Bentuk pansus untuk menyelidiki kasus kentut ini!”

Atas dasar musyawarah untuk mufakat, kami para penumpang busway mendeklarasikan pembentukan pansus penyelidikan kasus kentut dengan nama Pansusdikdiktutlah, Panitia Khusus Penyelidikan dan Penyidikan Kentut Bermasalah. Tok… Tok… Tok… Palu diketok. Maaf, saya salah. Sepatu diketok. Ada seorang bapak-bapak yang merelakan sepatunya untuk jadi palu demi hukum, legitimasi pembentukan pansus ini.

“Kita panggil saksi pertama!”

Seorang bapak usia paruh baya maju ke tengah-tengah forum.

“Begini, tadi pagi saya berangkat untuk mengambil uang pensiun saya. Dulu, saya adalah pegawai negeri berdedikasi. Tapi saya kecewa. Uang pensiun itu tidak kunjung keluar. Satu bulan lebih saya menunggu. Sudah 3 kali saya datang ke kantor itu. Ini yang keempat kalinya saya mencoba datang. Mungkin saya akan disuruh menunggu lagi. Padahal, utang saya di warung sudah menumpuk. Anak-istri saya juga masih perlu diberi makan.”

Tiba-tiba seseorang berteriak, “Hei! Apa hubungan kasus ini dengan anak-istrimu! Kita disini untuk membicarakan insiden kentut!”

“Lho? Kalian ini bagaimana, sih? Gara-gara insiden kentut itu saya bahkan tidak sempat sampai ke kantor itu dan mengambil uang pensiun saya. Saya kena akibatnya!” bapak itu menjawab gusar.

Seorang anggota pansus menengahi, “Ya, sudah. Dengarkan saja ceritanya. Toh, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Iya, kan?”

Seperti membenarkan, semuanya mengangguk-angguk dan kembali mendengarkan cerita itu. Cerita itu berjalan lama sekali. Beberapa orang bahkan nyaris tertidur. Untung saja ada yang tersadar dan mengingatkan.

“Sepertinya kita sudah cukup paham. Cerita ini tidak perlu diperpanjang. Kita beralih saja ke saksi lain.”

“Setujuuu!” beberapa orang berteriak.

Kini seorang ibu dan bayinya maju ke depan dan mulai bercerita, “Awalnya saya tidak sadar bahwa ada bau kentut yang begitu santer. Sampai tiba-tiba bayi saya muntah. Bayangkan! Bayi saya sampai muntah!”

“Jika bayi ibu yang muntah, bagaimana ibu tahu bahwa penyebabnya adalah bau kentut itu? Bayi itu tidak mungkin bercerita, kan?”

“Yaaa…,” ibu itu kelihatan ragu. “Ya, saya tahu saja. Apalagi yang bisa menyebabkannya muntah?”

“Ok. Kita selidiki dulu penyebab muntahnya. Saat itu, ibu duduk dimana?”

“Di pojok itu,” ibu itu menunjuk.

“Siapa saja yang ada di sana? Ayo, mengaku!”

Beberapa orang menunjuk tangan dan ketua pansus menyuruh anak buahnya untuk menggeledah mereka. Dan ternyata(!) salah seorang dari mereka telah menyelundupkan ikan busuk ke dalam busway. Penumpang terheran-heran. Bagaimana mungkin?

“Sudah! Lempar saja dia keluar!” seseorang berteriak berang.

“Sebentar! Jadi bisa saja kan yang menyebabkan bayi itu muntah adalah ikan busuk ini dan bukan bau kentut?”

Entah mengerti atau tidak, para penumpang mengangguk-angguk lagi. Penyelundup ikan busuk itu dilempar keluar. Orang-orang bersorak-sorai.

Seseorang berteriak, “Hei! Jadi bagaimana ini? Apa yang menyebabkan bayi itu muntah? Bau kentutnya atau ikan busuk itu?”

Orang-orang terbingung-bingung. Tidak tahu harus menjawab apa. Mereka malah berbicara satu sama lain. Suaranya mendengung-dengung seperti sarang tawon.

“Sudah! Begini saja! Anggap saja keduanya jadi penyebab. Toh, bayi itu tidak mungkin bercerita, kan?”

Lagi-lagi para penumpang busway mengangguk-angguk. Belum terlihat titik terang dari kasus ini. Dan belum terlihat penyelidikan ini akan berhenti. Belasan saksi dipanggil satu persatu. Ditanyai ini itu. Tak juga jelas kasus akan bergerak ke mana.

Ketua Pansus bersuara lembut itu kembali memanggil saksi berikutnya. Majulah seorang pemuda dengan celana jeans lusuh robek-robek. Kalung berbagai jenis bergelantungan di lehernya. Begitu pun dengan tangannya, penuh dengan gelang. Sepatu bot butut tampak seperti baru keluar dari sawah. Belum lagi rambutnya, jigrak-jigrak seperti landak.

Suasana mendadak sepi. Orang-orang memandang heran dengan mulut agak menganga. Untunglah, ketua pansus tersadar lebih dulu. Ia terbatuk-batuk kecil nyaris tertawa. Belum sempat ketua pansus berkata apa-apa, seseorang memotongnya dengan suara batuk yang dibuat-buat. Semua orang menengok.

“Ehm… Pak ketua… Interupsi… Ehm… Bukankah kita seharusnya mencari saksi yang lebih… Ehm… Kredibel?”

Anggota pansus saling tengok. Seluruh penumpang menatapi mereka. Tapi belum ada yang berkata apa-apa.

Tiba-tiba pemuda berambut jigrak itu berkata, “Gue nggak ngerti gimana kalian ngukur kredibilitas. Yang jelas, apakah karena kalian semua pake baju bagus terus gue bisa bilang kalo kalian semua kredibel?”

Penumpang dan anggota Pansus diam dan pemuda itu melanjutkan berbicara, “Jangan pikir karena gue pake baju robek-robek artinya gue nggak bisa berpikir. Gue yang berbaju jelek ini juga sedang ngukur kredibilitas kalian. Dan menurut gue kasus kentut ini nggak akan pernah terungkap! Karena kita semua sebenarnya nggak kredibel!”

“Bocah ingusan! Jangan sembarangan bicara! Kami adalah orang-orang terpilih!”

“Kalian tahu siapa yang memilih kalian? Gue bahkan nggak kenal kalian siapa! Kita baru ketemu di busway ini. Gue tau elu semua, karena dari tadi elu semua ngomong!” Bocah itu meradang.

“Tutup mulutmu, bocah bodoh!” seorang anggota pansus membentak.

“Hei! Mungkin dia bodoh, tapi dia punya hak bicara! Kau yang seharusnya tutup mulut!”

“Kau membela dia?!”

“Ini bukan masalah siapa membela siapa! Ini masalah kita semua!”

“Sok tahu kau! Kau juga sama bodohnya dengan bocah itu!”

“Kau yang bodoh!”

“Kau mengajak berkelahi? Ayo! Kita selesaikan masalah ini secara jantan!”

Tanpa memberi kesempatan, orang itu memukul orang yang kini berdiri di depannya. Tidak terima, ia balas memukul. Salah sasaran, pukulan itu mengenai orang lain. Orang itu memukul balik. Terjadi saling dorong. Busway jadi ramai tak karuan. Semua baku hantam. Bayi menangis dan muntah lagi. Semua orang memukul atau terpukul. Bocah jigrak itu menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melompat keluar. Perkelahian masal terus berlangsung seru dalam busway.

Tiba-tiba sopir busway berteriak, “Sudah! Berhenti semua! Aku yang kentut! Aku yang menyebarkan bau itu! Dan aku akan bertanggung jawab!”

Semua orang diam dalam posisinya masing-masing, menatap sang sopir yang kini berdiri. Suasana hening sesaat. Lalu seseorang berteriak, “Kalau begitu kau harus menanggung akibatnya!”

“Aku memang akan menanggung akibatnya. Aku akan keluar dari busway ini, karena aku tak layak berada di tengah-tengah kalian. Aku keluar!” lalu sopir itu pergi meninggalkan busway. Semua orang menatapi. Lalu suasana kembali ramai. Semua orang bersorak-sorai dengan gembira.

“Selesai juga kasus ini!” seseorang berteriak dengan girang.

Busway tanpa sopir kini merosot di jalan menurun, hendak melompat dari jalan layang. Sopir busway dan bocah jigrak melihatnya dari jauh. Ada bule yang sedang memasang plang “Terima Jasa Mobil Derek. Tarif Bersaing.” Orang-orang dalam busway berteriak-teriak.

Jakarta, Maret 2010

*ilustrasi diambil dari http://www.adliterate.com

Ana Menggambar Barbie

Ana berjalan sendirian menuju sekolah pagi itu. Memegang sebatang pensil yang semalam ditemukannya di bawah tempat tidur. Untuk ukuran seorang bocah, wajahnya terlalu muram. Ia tidak tersenyum. Wajahnya menunduk menatap aspal. Sesekali ia menerawang jauh dan menendang kerikil hingga terlontar.

Jalanan sepi. Rumahnya memang terpisah dari rumah-rumah lainnya. Di seberang lapangan nanti barulah Ana biasanya akan bertemu teman-temannya yang juga berangkat sekolah. Ana hanya punya sedikit teman. Yang paling dekat namanya Imah, gadis kecil kurus yang setiap selesai pelajaran selalu cepat-cepat pulang karena harus membantu ibunya berjualan kue. Sisanya tidak akrab. Sebagian lagi kerap mengganggunya, tapi Ana lebih sering mendiamkannya.

Ana berjalan menyeberangi lapangan. Banyak belalang kecil berloncatan. Sebenarnya tanah luas ini tidak pas disebut lapangan karena banyak semak-semak dan ilalang yang tumbuh di atasnya. Ilalang terasa tajam kalau menusuk, membuat kaki gatal-gatal. Pohon pisang tumbuh sembarangan. Jika semalam hujan turun, tanahnya menjadi sangat becek dan Ana harus berjalan hati-hati agar sepatunya tidak kemasukan air.

“Ana!” suara Imah terdengar memanggil beberapa saat setelah Ana melewati lapangan. Ana menengok. Tampak Imah berlari-lari menuju Ana yang berhenti menunggunya. Kaos kaki tinggi sebelah dengan sepatu hitamnya yang butut. Kemeja lusuh kebesaran, lungsuran dari kakaknya.

Ana diam saja hingga Imah berdiri terengah-engah di sampingnya. Senyum Imah mengembang sambil terus menarik-narik napasnya. Tas kain hitam yang juga lusuh tersampir di pundaknya. Ana diam saja.

“Ayo…,” Ana mengajak.

“Sebentar. Istirahat dulu,” Imah menjawab sambil berjalan ke pinggiran dan duduk di sana.

“Jangan lama-lama. Nanti kita terlambat,” Ana berkata lalu duduk di sampingnya.

“Kamu kenapa? Kok, kelihatan murung? Bapakmu memukulmu lagi?” Imah bertanya.

Ana menggeleng sambil memutar-mutar pensil di tangannya.

“Lalu, kenapa?”

Ana menggeleng lagi. Pensil masih berputar di tangannya.

“Ya sudah. Kalau kamu tidak mau cerita. Yuk…,” Imah berdiri dan langsung berlari. “Kejar aku!” teriaknya girang sambil meninggalkan Ana yang dengan malas ikut berlari dan mengejar.

***

Ana tiba di sekolah sesaat sebelum bel masuk berbunyi. Pak Tua memukul-mukul pipa besi dengan tongkat hingga menimbulkan bunyi “teng teng teng” ke sepenjuru sekolah. Ana berjalan menuju kelas. Lalu serombongan anak laki-laki berpapasan dengannya.

Salah seorang berteriak,”Anak pelacur! Untuk apa kau kemari?! Bikin kotor saja! Hahahaha!”

Mereka pergi sambil terus tertawa. Ana tak berkata apa-apa.

“Biarkan saja…,” Imah berkata menghibur. Ana mengangguk pelan. Hal ini sudah jadi terlalu biasa. Namun tetap saja hati Ana terasa sakit tiap kali mereka melontarkan olok-olok. Ana sudah tidak bisa lagi menangis. Mendengar ibunya menangis setiap malam membuat Ana merasa tidak boleh menangis. Ana sudah pintar untuk bisa berhenti menangis. Ana kecil tidak mau menangis.

Dengan lambaian tangan, Ana berpisah dengan Imah. Mereka kini berbeda kelas. Ana ingin sekelas lagi dengan Imah.  Mungkin Imah tidak bisa menolongnya dari gangguan anak-anak itu, tapi Imah bisa membuatnya tidak merasa sendirian. Ana bisa bercerita apa saja pada Imah. Imah selalu mendengarnya.

Gontai Ana berjalan masuk kelas. Beberapa pasang mata memandangi. Ana merasa mata-mata itu tak menyukai kehadirannya. Ana berjalan menuju satu-satunya meja yang kosong. Jika Imah masih sekelas, ia pasti akan duduk di sampingnya. Tapi tidak begitu nyatanya. Tidak ada seorang pun mau duduk di sana. Ana duduk sendirian.

Guru belum datang. Ana mengeluarkan buku tulisnya. Buku tulis kosong bersampul Barbie. Barbie yang hebat dan tak pernah bersedih. Ana ingin jadi barbie.

Dibukanya halaman pertama yang kosong. Diguratkan pensilnya di sana. Ana menggambar Barbie dengan pensil seperti yang dilihatnya kemarin di teve. Barbie cantik berambut indah. Satu persatu garis terangkai menjadi bentuk. Mengutuh menjadi gambaran hitam putih. Tapi, guru keburu datang. Gambar Barbie belum selesai. Ditutup bukunya. Disimpan pula pensilnya.

Seorang guru tua kini berdiri di depan kelas, mengajar sejarah. Ana mendengar dengan saksama. Guru bercerita seperti dongeng dan Ana merangkainya menjadi gambar dalam benaknya. Ana merasa menonton film, bahkan seperti menjadi bagian dari tiap adegan. Terbayang kehebatan para pahlawan yang melawan penjajah hingga titik darah penghabisan. Pikiran Ana terus mengawang, mengikuti alur kata sang guru bijaksana. Hingga bel berdentang keras. Waktunya istirahat dan Ana ingat kata-kata gurunya.

“Apapun bentuknya, penjajahan harus dilawan!”

***

Hari ini Ana tidak ingin keluar kelas. Ana ingin meneruskan gambarannya. Biarlah Imah bersama teman-teman lainnya. Tidak seperti dirinya, Imah yang selalu gembira punya banyak teman. Pun, Imah biasa menghampiri untuk membawakan kue buatan ibunya.

Dikeluarkannya lagi buku tulis bersampul Barbie dan pensil dari laci mejanya. Gambar Barbie setengah jadi ada di halaman pertama dan Ana akan meneruskannya.

Dipandangnya gambar Barbie setengah jadi, mungkin tidak terlalu indah tapi itu yang ada di benaknya. Dibayangkan film yang ditontonnya kemarin. Gambar yang begitu jelas hingga bisa dituangkan ke kertas kosong halaman pertama. Garis bertambah satu-satu melengkapi gambarnya. Ana berusaha mengutuhkan gambar itu sebisanya. Ana ingin jadi Barbie dan kini ia membuat gambarnya. Begitu semangat Ana menggambar. Bentuk Barbie kini semakin jelas. Ana tersenyum sendiri, membayangkan dirinya menjadi Barbie cantik serupa peri di negeri dongeng. Pensil terus menari-nari di kertas bersama seluruh khayalannya. Barbie kini jadilah. Memang tak terlalu indah, tapi Ana menyukainya seperti mimpi jadi nyata. Apa yang sebelumnya hanya ada dalam kepala sekarang bisa dilihatnya.

Ana tersenyum lagi. Tak terasa waktu istirahat hampir habis. Imah tak juga datang padahal Ana ingin menunjukkan gambarnya. Jika Imah menyukainya, Ana senang memberikannya. Ana pun berdiri membawa gambarnya. Ana hendak mencari Imah yang entah ada dimana.

Setengah berlari Ana keluar dari kelas. Ana begitu gembira. Tapi, belum selangkah Ana pergi dari kelas, ia bertabrakan dengan rombongan anak-anak penganggu. Ana takut. Buku tulis bersampul Barbie jatuh dan gambar Barbie di halaman pertama terlihat oleh mereka. Ana sempat memungut bukunya saat tangan anak itu berhasil merebut gambar itu darinya. Ia terkekeh-kekeh lalu tertawa.

“Ini gambar apa?” ejeknya.

“Barbie…,” bisik Ana pelan.

“Apa?” anak itu kembali bertanya.

“Barbie,” Ana mengulangnya.

Ia tertawa keras. “Barbie? Hahaha! Ini bukan Barbie. Ini ibumu yang pelacur itu!”

“Itu Barbie,” jawab Ana takut.

“Anak pelacur! Kalau aku bilang ini gambar pelacur berarti ini gambar pelacur!”

“Itu gambar Barbie!” Ana berkeras hampir menangis.

“Pelacur!”

Ana diam. Ia ingin menangis tapi ia tidak bisa menangis. Ana tidak mau menangis. Tidak boleh menangis. Terngiang-ngiang kata gurunya. Apapun bentuknya, penjajahan harus dilawan!

“Pelacur! Ibumu pelacur!”

Ia tertawa keras hingga Ana tak bisa mendengar apapun kecuali tawa itu. Seperti gerak lambat, tawa itu berhenti. Anak itu jatuh ke tanah sambil mengerang keras. Tangannya memegang sebelah wajah bersimbah darah. Sebatang pensil menancap di matanya. Lalu Ana berkata lantang, “Lihat! Ini gambar Barbie!”

Ana berlari mencari Imah. Ia ingin bercerita. Tadi malam ibu mati ditikam Bapak dan Bapak menyuruhnya pergi sekolah.

*ilustrasi diambil dari http://www.jacketflap.com

Jakarta, Maret 2010.
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Sang Penembak

Kusno masih kecil saat ia menemukan buku itu tergeletak di bawah bufet. Ayah, ibu dan saudara-saudaranya bukan pembaca tetap buku. Ayah dan ibu sibuk bekerja. Kakaknya lebih sering dilihatnya mematut diri di depan cermin atau jalan berlenggak-lenggok. Adiknya masih kecil dan disuapi bubur pisang. Jadi, buku adalah barang langka yang tidak bisa ditemukan sembarangan.

Kusno belum terlalu lancar membaca. Ia masih perlu mengeja untuk tahu apa yang dibacanya. Ia biasanya hanya memperhatikan gambar. Tapi buku yang Kusno temukan tidak ada gambarnya, huruf semua. Gambar hanya ada di sampulnya. Itupun terlihat aneh di mata Kusno. Ada deretan huruf besar-besar.

P… E… PE. N… E… Ne. eM… NEM… B… A… Ba… K… BAK. M… I… Mi… eS… MIS. T… E… TE. eR… I… RI… U… eS… US.

Penembak Misterius!

***

Kusno berbaring di ranjang kayu. Kedua tangan menjadi bantal di belakang kepalanya. Lampu pijar redup membuat seluruh isi kamar jadi kekuningan. Pikiran Kusno berputar mencari tambatan.

Cicak berkejar-kejaran di langit-langit kamar. Kusno diam. Betapa yang tak terlihat seringkali lebih menentukan. Seperti kepastian ditentukan oleh kemungkinan-kemungkinan yang laten. Kepastian hanyalah akhir dari ribuan percabangan. Order dalam genangan chaos. Sepotong bingkai dalam kemungkinan tak terbatas panil komik kehidupan.

Buku itu masih disimpannya. Kusno bukan pembaca tetap buku tapi buku itu masih juga dibawanya. Jadi satu-satunya buku yang benar pernah masuk dalam hidupnya. Sekalipun ia sudah lama sekali tak membacanya, tetapi buku itu selalu ikut kemana saja. Seperti jimat agar selamat.

Kusno membuka koran pagi. Sebuah headline tertulis besar-besar “Pengusaha Ekspor-Impor Mati Ditembak Orang Tak Dikenal”. Kusno membaca berita itu dengan dingin. Dilipatnya koran sebelum selesai membacanya.

Kusno tertidur. Ia baru pulang jam 5 pagi tadi. Mungkin ia akan tidur sampai sore. Sejumput mimpi masuk dalam kepala. Anak peluru masuk dalam senapan laras panjang. Dua mata terbuka mengintip mengikuti sasaran. Pelatuk ditarik memicu pemantik. Anak peluru meluncur meninggalkan ibunya. Sebuah tengkorak berlubang. Otak di dalamnya berantakan. Sebelum siapapun sempat berpikir, ia telah menghilang.

***

Ia datang 3 hari lalu. Kusno cukup mengenalnya. Beberapa kali dia menghubungkan Kusno dengan orang yang membutuhkan jasanya.

“Kau tahu, Aku hanya terima uang tunai,” Kusno berkata sambil memandang sebuah foto. “Ini?”

Ia mengangguk-angguk. “Dia sasarannya,” lanjut orang itu berkata. “Ini permintaan seorang pejabat. Ia tidak ingin diketahui identitasnya.”

“Malaikat maut pun pasti pernah bertemu Tuhan,” ucap Kusno dingin tanpa memandang. “Aku harus tahu siapa yang menyuruhku. Atau, kau silakan mencari orang lain untuk melakukan tugas ini.”

Kusno meletakkan foto itu dan menyalakan sebatang rokok. Matanya menatap entah kemana. Lebih seperti menerawang. Orang itu tampak sedikit kesal.

“Kau kemarin sudah setuju…,” ada nada geram di suaranya.

“Aku hanya setuju bertemu denganmu. Bukan menyetujui ini,” Kusno menusuk mata orang itu dengan pandangannya. “Lagipula, kemungkinan apapun bisa terjadi di bisnis ini, bukan? Mungkin saja kau tidak pernah lagi sampai di rumah setelah ini.”

Orang itu berusaha menyembunyikan ekspresi kagetnya. Ia tahu dengan siapa ia berhadapan. “Baiklah. Dia seorang pejabat tinggi dewan. Ini namanya.” Ia menuliskan sebuah nama pada sehelai kertas seakan suaranya akan terdengar orang lain. Kusno mengangguk.

“Mengapa ia harus dibunuh?”

“Tulisan memiliki kekuatan dahsyat. Tulisan orang ini telah membuat kesadaran yang membahayakan.”

Kusno kembali mengangguk. Ia cukup paham siapa sasarannya kali ini. Merasa terlalu paham. Kusno merasa kenal. Ada yang emosional.

Orang itu akhirnya pergi tanpa diantar. Kusno berbaring lagi dalam kamar yang nyaris kosong ini. Kusno tak punya banyak barang. Ia selalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu singkat agar tak terlacak. Hanya satu dua orang yang mengenalnya. Itupun tidak pernah ada yang lebih dari sekadar kenal. Keluarganya menyangka Kusno bekerja di luar negeri. Lebaran pun Kusno jarang pulang untuk bertemu mereka. Kusno layaknya orang hilang. Lebih tepat seperti buih, muncul ke pantai didorong ombak. Ada tapi tak bisa dipegang. Kusno datang dan pergi seperti hujan. Bisa diduga dari mendungnya, namun tak bisa dipastikan datangnya.

“Apa sebenarnya pekerjaanmu, nak?” begitu ibunya bertanya setiap kali Kusno datang menyerahkan uang.

Kusno hanya tersenyum menjawabnya. Lalu berkata singkat, “Yang penting ibu dan adik-adik tak kekurangan.”

Ayahnya sempat menikah lagi. Membuat ibu kandungnya tertekan dan mati batuk-batuk karena TBC. Untunglah, istri muda bapaknya adalah wanita yang baik, memberi Kusno 3 orang adik yang masih kecil-kecil. Wanita itulah yang sekarang dipanggilnya “Ibu”. Kusno pernah tak sengaja mendengar obrolan saudara-saudara ibu tirinya bahwa wanita itu telah ditipu. Bapak mengaku sebagai duda saat menikahinya padahal istri tuanya saat itu masih hidup dan sehat wal afiat. Mereka bilang Bapak bajingan. Bapak sempat main perempuan lagi tapi Ibu tak meninggalkannya. Bahkan ia semakin perhatian pada anak-anak tirinya. Itulah mengapa Kusno sangat mengagumi dan menghormati wanita itu, seperti pada ibunya sendiri.

Bajingan itu kini kena karma. Terlalu banyak alkohol dan rokok membuatnya stroke dan tergeletak di tempat tidur seperti mayat hidup. Badannya kurus tak bersisa. Tak tampak lagi jejak-jejak keperkasaan yang membuatnya bisa main perempuan seenak pusarnya.

Setelah menyerahkan uang pada Ibunya, Kusno selalu menyempatkan diri menengok bapaknya yang teronggok seperti sampah. Kusno merasa, sepanjang hidupnya, laki-laki itu tak pernah benar-benar berguna. Sering pulang dalam keadaan mabuk atau memukuli ibunya. Tapi Kusno sadar, tanpa sperma bajingan itu, dirinya tak akan pernah ada.

Bajingan itu mengangkat kelopak matanya sedikit. Dadanya turun naik terengah-engah seperti habis marathon. Kini ia memang sedang bertanding lari dengan waktu. Tapi, siapa juga yang bisa menang melawan waktu? Pria paling perkasa pun akan habis dilumat, apalagi tubuh ringkih itu.

Kusno tersenyum miris memandangnya. Sebongkah nyawa begitu lama tergantung-gantung di seutas benang tipis bernama takdir. Benang yang tak kunjung putus. Mungkin ini balasannya. Kusno tak ingin menambahkan penderitaan dengan sekadar membencinya. Biarlah ada yang membalasnya.

Kusno tertidur dalam potongan-potongan mimpi yang melompat-lompat tak karuan. Mimpi-mimpi yang membuatnya mati rasa. Kusno tidur begitu saja.

***

4 hari sudah Kusno duduk di dekat sebuah rumah di kawasan Pondok Aren. Melihat-lihat. Kawasan ini cukup sepi. Kusno jadi merasa, benarlah penulis itu memilih tinggal di sini. Bukankah penulis butuh inspirasi? Dan inspirasi seringkali datang dalam sepi, saat sendiri.

Kusno ingat bahwa ia juga lebih sering sendiri. Dan saat sendiri, berbagai pikiran memang kerap keluar masuk ke benaknya. Namun, tak sedikit pun Kusno terpikir untuk menuliskannya. Jika kelak terjadi, mungkin Kusno akan berhenti dari pekerjaan yang berbau darah ini dan jadi penulis. Tapi tidak sekarang. Entah kapan. Entah benar akan terjadi atau tidak. Siapa yang tahu?

Waktu sendiri seperti ini lebih sering digunakannya untuk mengawasi situasi. Menunggu saat yang tepat untuk melesakkan peluru dalam kepala. Kusno pernah mendengar bahwa kematian tidak lagi dideteksi dari denyut jantung melainkan dari matinya batang otak. Kusno tak ingin korbannya terlalu lama menderita meregang nyawa, jadi ia memilih untuk menembak korbannya di kepala. Kusno tidak benar-benar tahu apakah benar hancurnya otak membuat korbannya mati lebih cepat, ia hanya menduga-duga.

Dipandangnya sebuah mobil yang baru saja terparkir. Seorang pria gondrong keluar dari dalamnya, menengok-nengok sebentar lalu melangkah masuk.

Sudah beberapa kali Kusno melihat orang itu. Pria yang tidak pernah benar-benar dikenalnya, namun cukup akrab di matanya. Kusno membayangkan apa isi kepala orang itu. Pasti banyak dan macam-macam. Buktinya ia bisa menulis apapun. Dibalik tengkorak itu pasti tersimpan jutaan ide laten yang menunggu dituliskan. Jika Kusno bisa, ia ingin bisa menyimpan isi kepala orang itu ke dalam flashdisk sebelum sebuah peluru tajam membuatnya berantakan. Sehingga ia bisa menulis tanpa perlu repot-repot menunggu ide. Tinggal buka file-nya lalu diketik. Jutaan kata-kata pasti juga sudah tersusun di sana. Kusno tersenyum sendiri membayangkan betapa aneh pikirannya. Senyum yang membuatnya sadar bahwa dalam dirinya masih ada jiwa kanak-kanak yang bebas tak terikat. Penuh dengan ide yang berjalan-jalan entah kemana tanpa batas.

Mobil itu pergi lagi. Kusno tak menyadarinya dan mobil itu sudah hilang dari pandangan.

***

Ini hari ke-14. Orang itu sudah sangat tidak sabar menunggu hasilnya. Ingin penulis itu cepat-cepat dibereskan. Kusno tidak mau ambil pusing. Ini menyangkut nyawa orang. Seperti ia menghargai kehidupan, kematian perlu dirancang matang-matang. Perlu saat yang benar-benar tepat. Ini adalah pencocokan jadwal. Jadwal pelaksanaan dengan jadwal milik malaikat maut. Jika meleset, takkan terjadi apa-apa dan rencana akan buyar seperti jentik nyamuk terkena goyangan.

Ada yang disebut insting. Dan Kusno percaya pada insting bahwa jadwalnya telah cocok dengan jadwal malaikat maut. Itulah mengapa ia hanya mengikuti insting saat menentukan waktu untuk melepaskan peluru dari rumahnya. Satu peluru berarti satu nyawa melayang. Tidak boleh meleset karena tak pernah ada kesempatan kedua.

Kusno diam. Benar-benar diam. Kusno tenang. Terlalu tenang hingga detak jantungnya nyaris tak terdengar. Ini saat meditasi. Yoga dalam posisi siap siaga. Kepasrahan tingkat tinggi untuk mengundang Btari Durga sang Dewi Kematian. Membangkitkan amarah Kala, Sang Dewa Waktu, agar menghentikan jalan bagi orang yang diinginkannya.

Kusno sadar dirinya bukanlah malaikat maut. Ia bisa saja mengirimkan peluru berkecepatan tinggi ke arah kepala siapapun, namun bukan pelatuknya yang menentukan kematian. Bukan tangannya yang melayangkan nyawa ke akhirat. Ia hanya membukakan jalan. Jadi, adakah kepastian dalam tiap timah panas yang meluncur bagai dikirimkan dari neraka? Maka, Kusno menarik pelatuk tanpa rasa apapun. Karena ia tahu, bahwa ia tidak bekerja sendirian. Ada tangan lain yang lebih menentukan.

Jika ada kesempatan waktu untuk membeku, mungkin inilah saatnya. Saat bunyi detik berdetak hingga terdengar bagai peluit panjang. Pertanda bagi anak peluru untuk berlari meninggalkan garisnya.

Kusno berhitung seperti jaman SD dulu. Angka yang sama dengan aroma yang berbeda. Tidak ada lagi pembelajaran dari angka-angka. Siapapun akan berhenti belajar dari sang hidup setelah angka-angka selesai dihitung. Tiada pelajaran yang dapat diambil dari kematian kecuali untuk mereka yang sisa hidupnya. Kemungkinan kecil yang bisa terjadi setelah peluru lari menembus tulang kepala.

Inilah waktu sepersekian detik saat Kusno terpikir tentang hidupnya sendiri. Tangannya telah cukup berdarah-darah untuk membuka gerbang barzakh bagi orang-orang yang bahkan tak dikenalnya. Memancing isak tangis bagi anak, istri, keluarga dan orang-orang yang mencintai mereka.

Akankah dirinya mati dengan cara yang sama? Menghembus napas terakhir di ujung sebutir peluru. Ataukah ia mati begitu saja? Akankah ada yang akan menangisi kematiannya? Ia hidup dalam dunia yang sendiri, akankah ia mati bagai hilang ditelan bumi? Hidup tanpa sanak dan mati tanpa jejak. Pikiran yang segera hilang. Segera setelah sebutir peluru melesat mencari sasarannya, seperti konta membunuh sang gatotkaca. Sesosok tubuh rebah begitu saja. Darah mengalir dari lubang di kepala. Kusno menghilang sambil memasang peluru kedua. Airmatanya jatuh. Inilah saatnya.

***

Seorang penulis gondrong membaca sebuah koran pagi. Ada tulisan besar di depannya, “Seorang Anggota Dewan Tewas Tertembak di Kepala”. Penulis itu menggeleng-geleng ketika di halaman dalam ada tulisan kecil, “Orang tak dikenal mati bunuh diri membawa buku Penembak Misterius”. Penulis itu mengernyit. Semakin banyak orang mati di kota ini.

Jakarta, 25/4/10

* Penembak Misterius adalah Buku yang ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma.  Diterbitkan pertama kali tahun 1993. Tulisan ini bentuk penghormatan saya pada beliau.

** Gambar diambil dari http://www.drawingsofleonardo.org/

Peri Cahaya

Jika kau pernah mendengar tentang peri cahaya, kau bisa melihatnya di pantai ini. Sungguh, aku tidak berbohong atau mengarang-ngarang cerita. Peri cahaya sungguh ada dan kau bisa melihatnya melayang-layang di atas ombak.

Rasanya aku juga tidak percaya saat pertama kali melihatnya. Kulihat sosoknya yang mungil di kejauhan bermain selancar bersama gelombang yang menggulung-gulung. Entah karena ia memang kecil seperti tinkerbell di cerita peterpan, ataukah karena begitu jauhnya hingga jadi tampak kecil. Namun, di tengah laut yang menghitam kala senja, tubuhnya yang berkilau-kilau jadi begitu jelas tertangkap oleh mata.

Ayo, duduklah di sini dan saksikan ia meluncur-luncur anggun di muka samudra. Aku bisa bilang bahwa inilah keajaiban dunia berikutnya karena aku tak pernah melihatnya. Dan aku tak yakin jika memang pernah ada yang melihatnya. Jika benar ada yang pernah melihat sosok itu sebelumnya, keberadaannya pasti telah jadi mitos yang diceritakan turun-temurun dari mulut ke mulut. Tapi, hanya cerita itu-itu saja yang pernah kudengar. Cerita kancil mencuri timun atau pangeran tampan bertemu putri. Tidak dengan cerita peri cahaya. Aku tak pernah mendengar sedikit pun cerita tentangnya.

Aku sendiri yang menamainya peri cahaya karena tubuhnya yang berkilau-kilau. Aku tidak tahu apakah kilaunya adalah pantulan sinar senja ataukah benar kilau itu bersumber dari dirinya. Jika samudra adalah tiara, maka ia adalah berlian yang berkilau bersama cahaya senja.

Kutanyakan pada seorang pedagang jagung bakar di sisi pasir pantai yang masih menyimpan hangat matahari. “Apakah peri cahaya selalu ada setiap hari, Pak? Jika memang begitu, saya akan kemari setiap hari.”

“Peri cahaya? Peri cahaya apa?” pedagang itu memandang heran sambil terus membolak-balik jagung bakar yang kupesan.

“Masak Bapak tak pernah melihatnya?” tanyaku balik. “Saya sering melihatnya berselancar di atas ombak setiap senja.”

“Sudah lebih dari 20 tahun saya berdagang di tempat ini. Belum sekalipun saya melihatnya. Mendengarnya pun saya belum pernah.”

Kuambil jagung bakarku dan kutinggalkan pedagang tua itu. Mungkin ia terlalu sibuk berdagang hingga tak pernah memperhatikan bahwa ada peri cahaya yang menari-nari di atas geliat buih-buih lautan. Kumakan jagung bakarku sambil terus menerus memandangi peri cahaya yang meliuk-liuk indah dilatarbelakangi matahari separuh terbakar hingga tenggelam seluruhnya dan peri cahaya hilang bersamanya.

***

Aku sering sekali menyambangi pantai ini sebelumnya, namun baru kali ini aku menyaksikan peri cahaya bermain ombak di pantainya. Kau ingat pada pedagang jagung bakar tadi, bukan? Kita sering membeli jagung bakar darinya lalu duduk berdua di atas pasir pantai yang berbulir-bulir. Sering yang kita lakukan hanya diam memandangi matahari yang perlahan melesak masuk ke cakrawala. Kita tidak berkata apa-apa selain pandangan mata yang secara bersahaja mengatakan, “Bagus, ya?” Lalu aku akan menjawab juga dengan pandangan mata yang jika diterjemahkan takkan bisa jadi lebih sederhana dari, “Iya…”.

Lalu kita diam lagi begitu lama. Lama sekali hingga angin laut berubah menjadi angin daratan. Menyampaikan cerita-cerita yang tak pernah terceritakan sebelumnya. Cerita tentang 2 orang yang duduk bercerita tanpa kata-kata selain pandangan mata dan desah napas yang penuh dengan rasa.

Pasir pantai yang hangat lembab bercampur uap garam dan angin laut membasuh kaki kita hingga sensasinya bisa menembus begitu saja ke hati dan mengubah apa yang sebelumnya tertelan oleh pandangan mata dan deru-deru di telinga menjadi potongan-potongan kenangan yang pada akhirnya menyusun gambar puzzle hidup kita. Bahwa kita pernah bersama sebelumnya dalam kenangan yang seakan-akan bakal hidup selamanya. Kenangan yang dulu kukira akan berlalu begitu saja seperti ombak menghela jukung-jukung nelayan ke samudra namun ternyata menjadi garis tipis imajiner bernama cakrawala yang mengubah seluruh pandanganku tentang dunia.

Sadarkah kau pada apa yang terjadi sebenarnya? Saat mataku masih buta untuk bisa melihat sang peri cahaya bermain-main di sela leret-leret cahaya senja yang makin lama makin jelas tampak sebagai sosok cantik dalam bayang-bayang awan yang membagi sisa-sisa sinar surya menjadi garis-garis yang melesat-lesat di atas pandangan mata bagai panah-panah Arjuna menghujani tubuh ksatria tua bernama Bisma, seperti itulah kejadian-kejadian yang menimpa kita berdua bagai panah-panah terkutuk Dewi Amba membawa sumpah teratasnamakan cinta. Terus menghujam bagai hujan deras di musim basah yang turun tak kenal waktu membuat hidupku terus basah oleh airmata yang kukira akan jatuh selamanya. Seperti itulah yang kurasakan saat kau pergi dari bidang datar hidupku menuju lahan di sebaliknya yang tak pernah kulihat ada apa di sana.

Tapi, aku tahu kau ada di sana. Mungkin kau tengah menyusun cerita baru untuk kau ceritakan dengan kata-kata dan tidak hanya dengan pandangan mata. Atau, mungkin kau juga tengah melakukan hal sama, memandangi matahari senja di pantai berpasir hangat dengan orang yang tak kutahu siapa. Kau pergi begitu saja seakan tidak pernah ada aku yang kau tinggalkan sendirian dalam kenangan yang kupikir akan berlangsung selamanya. Pun aku tidak tahu apakah benar kenangan ini akan berlangsung selamanya, namun kenangan ini masih berjalan dengan aku hidup di dalamnya yang tiada diketahui kapankah akan berakhir atau memang akan berlangsung selamanya. Maka, apalagi yang bisa kulakukan di sini setelah kau pergi begitu saja selain duduk diam di pantai kenangan kita sambil memandangi peri cahaya yang menari-nari seakan menghindar dari letupan-letupan magma yang meluncur dari kepundan matahari.

Inikah akhir hari? Tiada pernah kubayangkan bahwa hari ini akan berakhir. Tapi, siapakah yang tidak akan membayangkan tentang akhir sebuah hari saat tenggelam dalam sebuah senja singkat yang perlahan meratapi cahaya yang makin lama makin redup seperti mengatakan bahwa berhentilah berharap akan cahaya karena ia akan segera pergi seperti layang-layang tanpa tali yang diusir oleh angin bertiup? Senja ini terlalu singkat untuk dijadikan bagian dari hari namun terlalu panjang untuk dikatakan bahwa ia tidak berarti. Karena nyatanya siapapun tak akan bisa mengingat keseluruhan masa saat matahari nyalang di angkasa dan saat gelap meraja namun ia bisa mengingat tiap leret cahaya yang terjadi kala senja seperti Karna yang menyimpan dendamnya sampai mati untuk sedikit kata-kata Arjuna yang membuat hatinya kaku dan beku termakan waktu.

Aku tidak dendam padamu karena aku tahu aku masih mencintaimu seperti aku yang masih saja mencintai senja meskipun aku tahu bahwa sebentar lagi senja ini akan meninggalkanku bersama pantai yang sedikit demi sedikit kehilangan hangatnya. Seperti itulah aku padamu, seperti cakrawala dengan matahari kala senja. Merasa masih bersama padahal terbentang ribuan tahun cahaya di antaranya. Itulah aku padamu. Merasa kau masih di sini padahal kau telah pergi begitu saja seakan takkan lagi kembali.

Apakah kau akan kembali? Seperti janji senja pada cakrawala bahwa ia akan kembali esok hari saat matahari tergelincir dari ujung tanduk yang tajam meski mungkin hanya untuk melukai karena cakrawala akan menangis saat ia ditinggalkan lagi. Kulihat jejak-jejak tetes air mata jingga meleleh dari bola-bola mata saat ia ditinggalkan bagai bintang-bintang berjatuhan di kelam langit malam yang hendak menelan seluruh kisah siang dunia.

Sebentar lagi malam akan jatuh lagi, seperti bocah belajar berlari dan tersandung untuk bangkit kembali layaknya matahari yang akan terbit esok pagi. Aku mencoba mengatakan pada diriku sendiri bahwa benarlah matahari akan terbit lagi esok hari dan di hari-hari berikutnya. Namun ketika matahari harus pergi tanpa meninggalkan sedikitpun janji bahwa ia benar akan kembali, kata-kata apapun yang muncul dari 2 belah bibirku tidak akan sanggup meyakinkan diriku bahwa benar matahari bersedia terbit lagi. Dan aku menjadi tahu bahwa aku hanya percaya pada 2 belah bibirmu semata sehingga jika kau mengatakan bahwa matahari tidak akan terbit lagi esok pagi pasti aku akan percaya.
Aku akan percaya.
Aku akan percaya.
Aku akan percaya…

***

Inilah obituari terakhir untuk kenanganku tentangmu. Masih kulihat Peri Cahaya bergelayutan pada benang senja matahari. Menari-nari di atas ombak berkejar berbentuk kurva lengkung melengkung. Bergantung-gantung pada kubah langit yang bersemu jingga ke ungu. Termangu dalam kesahajaan hingga kurasa ini takkan berakhir. Butir-butir uap perlahan turun membentuk kabut. Semaput dalam pesona. Disana, kau disana. Merana, aku berlari ke seberang sana. Sama, kita sama. Terlena dalam genggaman peri cahaya yang hilang dalam gelap maha sempurna.

Selesai di Busway.
4/5/10

Gambar dari http://www.gods-heros-myth.com

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Penyihir dan Sapu Petir

Aku terbang di sela-sela hujan. Menukik. Berkelebat. Menjurus. Melawan arus. Mengawang. Di atas awan. Menembus. Menyela deras hujan.

***

Aku tak menyangka. Saat aku masih sebatang kayu dan ranting-ranting yang bertebaran bahwa aku akan ada di sini sekarang.

Seorang penyihir tua meniupkan hidup untukku. Ia membakar kayu dan menguapkan asap hijau dari sebuah belanga. Melayangkan tubuhku dengan sihirnya. Meresapkan kekuatan dengan mantra-mantra. Seketika aku merasa bahwa aku ada.

Bagaimana aku tahu kisah itu? Karena penyihir tua selalu bersenandung ketika melakukan semuanya.

“Wahai kau bongkah kayu. Kuserut. Kuserut. Kuukir. Kuukir. Hingga kudapat inti sekuat petir. Kususun. Kususun. Kuikat. Kuikat. Hingga ranting ‘kan membantumu terbang cepat. Kuayun. Kuayun. Kuasap. Kuasap. Hingga hidup masuk mengendap.”

Tiga tahun lamanya ia terus melakukan hal yang sama. Menyanyikan senandung yang tak berbeda. Menyerut dan mengikir kayu hingga halus seperti yang diinginkannya. Menatah dan menghilangkan titik-titik yang tidak seharusnya ada.

Melayangkanku di atas belanga beberapa lama. Mencelupkanku dalam cairannya. Mengeringkannya. Membaca mantra-mantra. Tiga tahun ia terus mengulang-ulangnya.

Ia penyihir tua yang sabar. Semua dilakukannya perlahan-lahan. Hati-hati menggerakkan jemari tangannya. Tak pernah terburu-buru. Tak terbersit tentang waktu. Dengan sebuah pelita diperiksa setiap potong hasil kerjanya. Tersenyum puas saat tahu ia telah melakukannya dengan benar. Mengernyit dan berpikir saat ada sesuatu yang salah dan memperbaikinya.

Terus terdengar senandung-senandung yang sama.

“Wahai kau bongkah kayu. Kuserut. Kuserut. Kuukir. Kuukir. Hingga kudapat inti sekuat petir. Kususun. Kususun. Kuikat. Kuikat. Hingga ranting ‘kan membantumu terbang cepat. Kuayun. Kuayun. Kuasap. Kuasap. Hingga hidup masuk mengendap.”

Kurasakan perubahan dalam tubuhku. Dalam serat-serat kayu yang menyusunku. Dalam ranting-ranting yang terikat di ujungku. Aku kini berpikir. Aku kini bernapas. Aku kini merasa. Aku kini hidup sebagai diri. Aku kini punya hati.

Penyihir tua menimangku bagai bayi. Mengelusku seperti aku anaknya. Mendongengiku seperti aku bertelinga. Dan aku nyata mendengar. Karena aku kini ada. Bisa kudengar ia berkata, “Kunamakanmu sapu petir. Kuperkenankanmu membelah awan. Kupersilakan menembus hujan. Dan kini kubiarkan kau terbang ke angkasa. Menembus jagat raya.”

Ia tak lagi bersenandung tapi ia berkata, “Terbanglah sebatas langit masih menjadi batas. Tapi mendaratlah saat kau memang harus mendarat. Kau akan bertemu pemilik sejatimu. Pergilah. Temukan dia.”

Aku ingin menangis saat ia menyuruhku pergi darinya. Tapi ternyata aku takpernah punya airmata. Aku terlalu mencintainya untuk menolak perintahnya. Terlalu banyak kasih untuk bisa melawannya. Maka, aku terbang meninggalkannya. Melesat secepat kilat. Berputar-putar sebelum pergi darinya.

“Wahai, sapu petir. Kubuka langit untukmu. Dan bumi adalah milikmu!”

***

Kini, aku terbang menembus hujan. Melesat. Menghujam. Menukik. Menghindar. Berkelit di sela kilat. Menderu di tengah guruh gemuruh. Terbang membelah awan. Memotong angin. Menerpa badai.

Halilintar menyambar-nyambar. Membalik cahaya dan kegelapan. Aku menyisip-nyisip dan terus menghindar. Halilintar terus menikam. Hujan terasa penuh dan padat. Titik-titik air bergerak makin lama makin rapat.

Malam makin gelap. Tiada yang terlihat kecuali pisau-pisau halilintar yang terus menebas. Seperti jutaan anak panah terlepas. Dewa-dewa menggenggam busur. Bunga-bunga yang gugur. Memercik dalam gelap. Pendar-pendar halilintar.

Penyihir tua tak pernah mengatakan kapan, bagaimana dan mengapa aku harus turun dari benaman langit. Aku tak tahu pada siapa aku menuju. Siapa pemilik sejati tak pernah ia kisahkan. Mengapa ia membuatku ada juga tak pernah diceritakan.

Jadi aku terbang dan terus terbang karena penyihir tua hanya berkata bahwa aku harus terbang. Aku ada untuk terbang maka aku terbang.

***

Tiada cerita tentang hujan. Pun tiada kisah tentang badai. Aku sapu petir ditelan awan. Bercerita padamu tentang perjalanan. Bukan tentang bagaimana sebuah kisah selesai, tapi bagaimana ia dimulai.

Sabetan-sabetan halilintar yang tak kunjung berhenti mengagetkan pada awalnya, namun aku telah terbiasa. Aku terus meliuk kian kemari. Berputar dan menukik. Bukan sekadar menghindar atau lari, tapi aku telah menjadi bagiannya. Hujan, badai, kilat, guruh dan halilintar membuatku makin ada untuk jadi sebuah cerita.

Aku tak menduga bahwa kemudian sekelebatan halilintar datang menyambar. Tak cukup cepat untuk tepat menghajar. Namun, sempat pula aku terlempar jauh. Terkena sengatan begitu rupa rasanya. Membuat aku terbang tak tentu arah. Aku oleng tak berketentuan. Aku menukik. Bukan terbang, tapi jatuh dan rebah.

Tak sanggup aku mencoba terus melayang. Aku tak mampu lagi terbang. Di atas bumi aku menghujam. Merebah di muka bumi, aku bertanya dalam hati, “Mana sang pemilik sejati?”

***

Aku mendarat tanpa pilihan. Halilintar perkasa memberiku paksaan. Menghentikan perjalanan dan membuatku diam sekarang.

Aku terus mencoba bangkit. Mencoba lagi terbang. Tapi aku jatuh dan jatuh lagi. Bukankah penyihir tua berkata bahwa aku ada untuk terbang? Jika tiada lagi kekuatan untuk kembali terbang, apalagi yang bisa kulakukan?

Hujan terus menderu. Halilintar sambar menyambar di hitamnya langit malam. Aku harus kesana. Aku harus menembusnya.

Aku nyaris putus asa saat tak kunjung bisa terbang. Maka aku diam. Aku ingin menangis saja, tapi aku takpernah punya airmata. Inikah akhir perjalanan? Sapu petir yang lumpuh takkan pernah jadi cerita. Mati tanpa pernah bertemu pemilik sejati.

***

Kulihat sebuah rumah kecil di kejauhan. Lampunya berkelip-kelip. Jika aku takpernah akan sampai lagi di awan, maka aku harus tiba di rumah kecil itu. Mungkin itulah nasib sapu petir perkasa, teronggok diam di balik pintu.

Aku melayang sedikit-sedikit ke arahnya. Tubuhku yang tersusun dari mantra dan kekuatan, kini tak ubahnya sapu rumah yang takkan bergerak tanpa tangan yang menyentuhnya.

Mungkin aku tak lagi terbang, tapi aku masih bisa bergerak. Tak mungkin aku mengecewakan penyihir tua. Sekalipun serat kayu terakhirku telah jadi abu, aku harus bertemu pemilik sejatiku. Ini bukan cuma perintah, ini janji yang harus ditepati. Ini sumpah tak terlanggar yang harus dibawa sampai mati.

Terseok-seok aku mencoba bergerak. Rasanya sangat jauh, tapi aku tahu aku mendekat. Sejengkal-sejengkal jadi sangat berharga. Aku bukan lagi sapu petir perkasa. Tapi mantra yang ada dalam jiwa takkan hilang begitu saja. Halilintar bisa menyambar atau membakar tapi tiada yang akan sanggup membuatku ingkar dari janji terikrar. Aku mungkin terseok tak berdaya, namun jiwaku tetaplah sapu petir perkasa.

Inilah kekuatan terakhirku. Aku terus merangkak dan merayap menuju rumah kecil itu. Malam makin gelap dan menghitam. Aku tak melihat apa-apa lagi. Aku buta. Tapi aku masih bisa terseok ke sana. Aku bergerak ke arah yang hanya bisa kulihat dalam ingatanku. Jikapun aku hancur setelahnya, biar sajalah. Yang aku tahu, aku harus bergerak! Hanya itu.

Aku merayap dalam buta. Rasanya tiada kekuatan yang tersisa. Seluruh seratku sudah mati. Ranting-ranting yang menyusunku rasanya hancur jadi debu. Jangankan terbang, merayap pun sudah tak bisa kulakukan. Kini aku tahu, karena aku merasa, aku bisa sakit karenanya. Aku akan menyerah! Aku hampir menyerah!

Saat sebuah tangan kecil menyentuhku. Aku tiba di ujung anak tangga dan ia mengangkatku. Membawaku ke dalam rumah kecilnya. Aku buta, tapi aku mampu merasa.

***

Bocah kecil itu bocah biasa tapi duniaku jadi berbeda setelahnya. Ia bermain-main denganku. Membuatku kembali melihat. Dan kali pertama, aku tahu bahwa hati juga bisa merasa gembira. Ia terbang denganku ke pinggir desa. Menuju sungai di sana. Menyentuh rerumputan. Bermain-main di sela pohon hutan. Dengannya kurasakan petualangan. Menuju tempat-tempat yang tak pernah kubayangkan. Menundukkan naga di puncak gunung. Mencari sekuntum bunga di pelosok dunia. Membantu para ksatria menemukan jalan mereka. Mengalahkan penyihir-penyihir jahat yang menggangu. Atau sekadar pergi ke puncak air terjun dan mendengarkan gemuruh bunyinya.

Ribuan tempat sudah didatangi. Ribuan orang ditemui. Aku tak pernah jemu mendampinginya. Kuletakkan kesetiaanku padanya. Menemani di saat tersulit. Ikut merasa sakit. Berbagi gembira. Merasa bahagia dengannya.

Dan tak terasa seratus tahun sudah kubersamanya. Tiada lagi petualangan. Tiada naga atau ksatria. Tapi aku masih bersamanya.

Di sebuah pondok tua yang sangat kukenali ia bersenandung.

“Wahai kau bongkah kayu. Kuserut. Kuserut. Kuukir. Kuukir. Hingga kudapat inti sekuat petir. Kususun. Kususun. Kuikat. Kuikat. Hingga ranting ‘kan membantumu terbang cepat. Kuayun. Kuayun. Kuasap. Kuasap. Hingga hidup masuk mengendap.”

Aku berdiri di sampingnya.

Jakarta, Februari 2010

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Sang Pembunuh Hujan

Ini tengah malam. Targa sudah terlalu lemah. Tubuh dan otaknya sudah menuntut istirahat. Sepanjang yang ia temukan adalah sebuah gubuk di tengah hutan yang lama ditinggalkan pemiliknya. Ini sudah lebih dari cukup, pikirnya. Dalam sebuah perjalanan menembus hutan perawan, menemukan sebuah gubuk yang dapat ditiduri adalah sebuah kemewahan. Biasanya Targa menidurkan dirinya di mana saja, di atas batu besar, di ketiak pohon tua, di pinggiran sungai, di dalam gua atau bahkan di pinggiran jurang dimana pun ada tempat yang datar. Tempat ia bisa merebahkan tubuhnya yang sudah jadi terlalu lemah saat matahari sudah merangsak pergi.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dikumpulkannya ranting-ranting kering yang berserakan di sekitar gubuk untuk menyalakan api unggun. Selain untuk menghangatkan badannya yang diserang angin hutan yang tak punya belas kasihan, Targa juga hendak membakar daging musang yang tadi sore berhasil diburunya. Musang sial yang terlalu lambat untuk menghindari sabetan kelewang panjang.

Begitulah. Jika kematian sudah harus menjemput, tak mungkin menghindar. Targa adalah malaikat maut bagi musang malang itu dan musang itu adalah malaikat penyelamatnya. Membuat Targa bisa tidur malam ini dengan perut kenyang.

Disayatnya kulit musang itu hingga bersih. Daging dipotongnya tipis-tipis agar lekas matang. Ditusuk dengan ranting yang cukup kuat dan diputar-putarnya di atas api yang membara. Tidak ada bumbu atau garam, bisa menikmati daging matang saja adalah sebuah anugrah bagi Targa yang sudah kelelahan.

Dimakannya  daging merah yang kini berwarna agak kehitaman karena abu pediangan. Berlawanan dengan sabetan kelewangnya yang secepat halilintar, Targa mengunyah potongan-potongan daging itu begitu perlahan. Ia ingin menikmati setiap titik makanannya. Ia mengunyah bahkan lebih pelan.

Makan adalah saat yang penting bagi Targa. Bukan sekedar mengisi perut. Makan adalah saat dimana Targa bisa duduk diam, membayangkan masa lalunya. Makan adalah saat Targa tak perlu memasang matanya dengan awas, ia bisa menerawang. Makan bisa membuat Targa membiarkan matanya dilamun pikiran.

Dulu, ia tidak makan dengan cara seperti ini. Ia makan dengan cepat dan bersemangat. Ia dulu sangat bahagia dan bukannya sendiri di tengah hutan perawan bersama daging musang yang sedikit demi sedikit pindah ke perutnya. Dulu, ia bisa makan apa saja. Ibunya memasak daging kelinci, ikan sungai, burung besar, keong rawa, daging ular, sayur kangkung, genjer, rebung dan hasil-hasil buruan yang didapatkan oleh ayahnya. Pria yang kini juga telah tiada.

Sambil mengunyah daging musang tanpa bumbu ia membayangkan masakan ibunya lewat melalui tenggorokan. Kenangan, itulah bumbu bagi Targa. Membuat daging musang tak lagi terasa hambar. Dulu, ia biasa makan bertiga dengan mereka, berbagi tawa dan bercanda. Sepulang ayah dari berburu, Targa akan menunggu ibu selesai memasak sambil berlatih menggunakan kelewang. Ayahnya memberi contoh dan Targa kecil menirunya. Menyabetkan kelewang pada potongan-potongan bambu yang dilemparkan ayahnya. Melompat, menyabet dan berkelit. Menebaskan kelewang kesana-kemari. Saat ia tidak berhasil mengenai potongan bambu itu, ayah akan tertawa lebar dan memberinya contoh lagi.

Daging musang tanpa bumbu kembali melewati tenggorokan yang kini tercekat airmata. Airmata yang perlahan semakin deras seperti hujan yang jatuh malam itu. Malam saat ibu meregang nyawa untuk melahirkan adiknya. Hujan begitu deras hingga menelan suara erangan ibunya menjadi hanya seperti setitik air yang terjatuh darinya. Ayah mencoba membantu, merebuskan air hangat dan membasuh ibu dengan kain untuk meringankan penderitaannya. Tapi, jika kematian sudah harus menjemput, memang tak mungkin menghindar. Adiknya terlahir tanpa nyawa. Tak lama ibu pun menyusulnya. Tinggallah mereka berdua.

Hujan terus mengguyur. Air sungai hampir meluap. Suaranya yang gemuruh, kini seperti sepi saja. Hujan seperti berderik. Hujan adalah ular derik berbisa yang memagut. Karena setelah itu, ia mendengar ayahnya berkata.

“Targa, Ibu pergi dibawa hujan…”

Lalu suara hujan kembali menggemuruh. Bahkan lebih  keras dari sebelumnya. Saat ia sendiri menunggu ayahnya pulang berburu. Malam sudah lebih dari gelap dan hujan mengamuk tak berketentuan. Melengkungkan batang-batang bambu di luar hingga seperti akan patah. Tapi bambu takkan menyerah. Dilawannya hujan dengan berkelit dan berputar, layaknya Targa saat berlatih menggunakan kelewang.

Targa masih sendiri dan ayah belum juga pulang. Targa berdoa pada hujan yang kebetulan datang. Ini hujan yang sama seperti saat ibu meninggal. Mungkin ibu bersama hujan saat ini. Maka Targa berkata pada hujan, jika benar Ibu bersamamu, tolong kembalikan dia pada kami saat ini. Kau boleh pergi tapi tinggalkan ibu di sini. Ayah sudah terlalu sedih. Targa berdoa hingga lelah. Hingga tertidur.

Dan saat ia membuka mata, hujan telah pergi dan ibu tak ada di sini. Hujan tak mengabulkan doanya. Bahkan, ayah belum pulang sejak semalam. Targa berdoa lagi. Hujan, dulu kau pernah membawa ibu dan adikku, tolong, jangan bawa pergi ayahku juga. Tapi, ayah tak juga kembali. Targa pergi mencari ayahnya. Ia berharap hujan cukup punya hati untuk tetap membiarkan ayah ada di sini bersamanya.

Dengan harapan yang besar Targa berjalan menyusuri hutan yang tak pernah dimasukinya. Ayah selalu melarang Targa pergi terlalu jauh sebelum ia cukup dewasa. Banyak hewan buas dan berbahaya, begitu katanya. Targa belum bisa menyabet kelewang secepat halilintar. Tapi kali ini ia tak punya pilihan. Ia harus mencari ayah yang belum juga pulang.

Kaki Targa yang kecil menerabas semak-semak berduri, ia telah melewati rumpun bambu sejak tadi. Melewati sungai, berjalan di sela-sela pohon-pohon besar yang berdiri rapat seperti menelan Targa yang tak berdaya. Ayah tak juga ditemuinya. Matahari tiba di puncak ubun-ubun dan Targa sudah hampir putus asa. Suaranya telah habis untuk berteriak memanggil ayah. Airmata sudah kering saat pandangannya tertumbuk pada pemandangan di depan sana.

Pemandangan yang indah. Gunung hijau berkalungkan alur sungai yang anggun. Di seberang jurang yang jauh, di kaki gunung yang indah dan di sela batu-batu padas, dilihatnya ayahnya terbaring dengan kelewang di pinggangnya dan bangkai seekor kelinci di tangannya. Ayahnya tak bergerak. Ia tertidur di sela batu-batu besar. Bajunya masih basah karena hujan semalam. Pohon-pohon yang tinggi melindunginya dari terik matahari.

Targa menangis dan berkata, “Hujan, mengapa kau bawa pergi ayahku juga?”

Dengan susah payah, dibawa tubuh ayahnya menuju pondok. Kelewang halilintar yang masih terlalu panjang disampirkan di pinggangnya. Dikuburkannya ayah di samping kubur Ibu dan adiknya. Kini mereka telah berkumpul dan Targa bersimpuh sendirian.

Di hadapan ketiga kubur itu Targa bersumpah, “Sampai akhir hidupku, aku akan memburu hujan dan memenggal kepalanya!”

***

Inilah adegan pengejaran terbesar yang pernah ada. Targa si Kelewang Halilintar melawan Hujan. Seluruh penduduk desa di kaki gunung dan pinggiran hutan telah mengetahuinya. Ini adalah pengejaran yang telah berlangsung selama puluhan atau bahkah ratusan tahun, semenjak mereka kecil bahkan sebelum kakek-nenek mereka dilahirkan. Targa tak berhenti mengejar Hujan dan Hujan tak pernah berhenti menghindarinya. Hanya matahari yang bisa menghentikan mereka sekalipun tak sekalipun bisa mendamaikannya. Itulah sebabnya, jika mendung datang, penduduk desa akan segera menyuruh anak-anak mereka untuk segera masuk. Mendung adalah tanda bahwa pertarungan akan segera dimulai karena Targa mengejar Hujan dengan melihat mendung sebagai penanda.

Sesaat mendung datang, Targa akan segera melesat mencari Hujan. Bergerak mengendarai angin yang berhembus, menuju pusat hujan. Mencari kepalanya untuk dipenggal. Berkelebat cepat untuk memenuhi sumpahnya. Menantang hujan untuk bertarung sampai mati. Ini pertarungan antar ksatria.

Semakin hebat pertarungan mereka berdua, semakin deras air yang turun. Kilat menyambar-nyambar setiap kali kelewang Targa beradu dengan pedang angin yang digunakan oleh Hujan untuk membela dirinya. Benturan-benturan itu menciptakan halilintar menggelegar yang akan menyambar apa saja yang ada di bawahnya. Menghanguskan pohon hingga tumbang, membutakan orang yang melihatnya atau bahkan mengeringkan sungai sekalipun kemudian sungai akan kembali dipenuhi air yang diturunkan oleh Hujan. Tapi, Targa tak pernah menyerah.

Dengan ilmu yang diajarkan ayahnya, Targa berkelebat, menukik, mencelat, menghindar, menyerang dan mencari kepala Hujan untuk dipenggalnya. Tapi Hujan takkan bergeming. Ia menghindar, berkelit dan menangkis serangan-serangan Targa yang membabi buta. Kelewang Halilintar dan Pedang Angin beradu dahsyat menimbulkan kilat yang menyambar-nyambar menyilaukan.

“Takkan kubiarkan kau mengambil apa-apa lagi!” teriak Targa sambil mengayunkan Kelewang Halilintarnya.

“Aku tak mengambil apapun!” Hujan menangkis sambil menjawab. “Lagipula, apalagi yang bisa kuambil, saat yang tertinggal hanya dirimu sendiri!”

“Tutup mulutmu! Rasakan ini!”

Targa melompat dan menebaskan kelewangnya dengan lebih hebat. Hampir mengenai kepalanya, namun dengan sigap Hujan menahan dengan Pedang Angin yang ada di tangannya. Dendam telah membakar, menimbulkan kilat dan halilintar menyambar-nyambar. Pertarungan terus berlangsung. Malam tak bisa menghentikan mereka. Sabetan kelewang dan Pedang Angin bergantian saling menyerang membuat bintang-bintang beringsut ketakutan. Penduduk desa gemetaran di tengah pertarungan yang sepertinya tak kunjung usai. Targa tak juga lelah dan Hujan tak juga menyerah.

“Hentikan seranganmu! Kau takkan bisa membunuhku. Aku abadi…,” Hujan berkata sambil terus menghindar dari sabetan-sabetan kelewang Targa yang menghunus.

“Jikapun kau tak bisa terbunuh, aku tetap akan memenggal kepalamu!” jerit Targa.

“Penggallah kepalaku karena itu percuma! Kau hanya ingin membalas dendam yang takkan terbayar!”

“Kau telah mengambil Ayah, Ibu dan Adikku. Kau harus membayarnya!” Targa meraung.

“Bukan aku yang mengambil mereka!”

“Kau bohong! Kau ada malam itu!”

“Aku tidak mengambil mereka! Aku menangis untuk mereka!”

“Kau pembohong! Terima ini!!”

Kelewang Halilintar terus menyambar. Menunggu Hujan lengah dan tak bisa menghindar. Namun, Hujan terlalu hebat bagi Targa, tak sedikitpun kelewang Targa menyentuh kulitnya. Targa terus menyerang dan Hujan terus saja menghindar.

Pertarungan ini akan panjang seandainya Matahari tidak memisahkan. Matahari baru saja terbangun dari peraduannya. Menyinarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia. Dan sekali lagi Hujan berhasil lolos. Ia berkelebat menjauh. Sebelum Targa sempat mengejarnya, Hujan telah menghilang meninggalkan Targa yang terbakar dendam. Sumpahnya semakin dalam.

“Sampai ujung neraka pun akan kukejar kau!”

Untuk terakhir kalinya hari ini, halilintar menggelegar.

***

Bagi Targa, hari baru adalah petualangan baru. Awal perjalanannya mencari Hujan untuk memenggal kepalanya. Bagi Hujan, hari baru adalah hari untuk kembali bertarung melawan Targa yang dipenuhi kesumat. Kemanapun Hujan pergi Targa selalu mengikutinya. Selama Hujan masih ada di kolong langit, Targa takkan membiarkannya hidup selama napas masih bisa dihirup.

Daging musang telah memenuhi perutnya semalam. Memberikan tenaga bagi Targa untuk memulai pertarungan barunya. Petualangan baru untuk memenggal Hujan tepat di lehernya. Sumpah harus ditunaikan. Dendam harus terbayarkan.

Dengan tenaganya yang telah pulih, ia menguatkan niatnya kembali untuk membantai Hujan dan memenggal kepalanya hingga tandas. Targa menunggu di bawah sebuah pohon besar yang bijak. Pohon besar yang dahannya bergoyang-goyang ditiup angin utara. Mengingatkannya pada sebuah lara. Lara yang kini terus menguatkan dayanya untuk mengalir dalam petualangan pembalasan dendam tak berkesudahan hingga ia terbalaskan.

Targa diam, mengasah kelewang halilintarnya pada sebongkah batu besar yang teronggok di bawahnya. Batu besar yang dulu pernah menyangga jasad ayahnya sendirian di tengah hutan perawan. Targa diam namun memasang telinganya tajam-tajam. Mendengarkan setiap hela angin yang bersenandung digesek pohon-pohon bambu dan semak-semak duri di kejauhan. Angin menyanyikan hujan setiap kali ia akan datang. Angin yang membisikkan dimana hujan kelak berada.

Secara tak sengaja Targa pernah mendengar bangsa angin berbicara dalam bahasanya. Mereka membicarakan hujan yang sebentar lagi berguguran. Dari bisikan mereka, Targa mengetahui bahwa Hujan sedang bekemas untuk menuju suatu tempat, hujan yang juga membuat ayahnya teronggok jadi mayat. Semenjak itulah, Targa selalu memasang telinganya pada bisik-bisik angin yang sepi, nyanyian-nyanyian para pemanggil hujan.

Angin terus bertiup-tiup, bernyanyi-nyanyi, berbisik-bisik, saling bercerita tentang hujan. Wasweswoswaswessswos. Angin tertawa-tawa, terbahak-bahak, tergelak-gelak, saling berkisah tentang seorang teman. Wasweswuswasweswus. Angin berteriak-teriak, berseru-seru, menderu-deru, saling bercerita tentang dendam dan kematian. Wuswoswuswos. Lalu sepi.

ssssshhhhhhhhhh

Targa diam, menghentikan gosokan pedangnya pada batu, karena ia tahu sebentar lagi angin akan berhembus menuju dimana Hujan berada. Benar saja…

ssssshhhhhhsssss

Targa melompat, bergerak secepat kilat. Mengikuti angin yang pergi ke selatan tempat dilihatnya awan mendung berarak datang. Targa sudah tidak sabar. Ini harus menjadi pertarungan terakhirnya, ia berpikir, dia atau aku yang harus mati.

Targa terus melesat, berkelebat penuh kesumat. Dilihatnya mendung semakin tebal. Ia tahu hujan ada di sana. Targa tak peduli, akan dikerahkan seluruh kekuatan dan kemampuannya. Jika memang Hujan akan terpenggal kepalanya, inilah saatnya. Kalaupun ia sendiri yang harus mati, ia tak peduli. Ini saatnya mengakhiri petualangan ini.

Targa berlari menembus angin. Semak beterbangan dan pohon bergoyang-goyang terserempet Targa yang lepas dari busur dendamnya. Pohon-pohon rotan menyisih, daun bergemerisik sedih. Mereka tahu, ini adalah pertarungan terakhir. Pertarungan antar ksatria. Hujan atau Targa akan mati hari ini.

Targa mencelat dengan kekuatan penuh, menembus mendung yang gemuruh. Hujan ada di sana untuk dipenggal kepalanya. Hujan melihat Targa begerak ke arahnya. Ia berbalik dan melompat. Wajah Targa merah terbakar dendam. Hujan tahu kali ini pertarungan takkan selesai secepat itu.

Angin menyadarinya, mereka tak menyesal karena jika takdir telah tertulis takkan ada yang bisa lari. Dengan tarian yang gemulai, angin menyanyikan obituari, hymne para pahlawan yang gugur dalam perang. Hari ini seorang pahlawan akan menentukan nasibnya, kalah atau menang, hidup atau mati. Akan tiba saatnya.

Hujan bahkan tak sempat berkata-kata saat kelewang halilintar mencoba menebas kepalanya. Halilintar pertama sudah menggelegar. Kelewang Targa mengiblat ke kepala sang Hujan yang segera menangkisnya. Pertarungan terbesar sepanjang sejarah telah dimulai. Tiada makhluk hidup yang berani mendekat. Kali ini, tikus tanah pun segera bersembunyi di liangnya. Mereka tahu halilintar yang mencelat dari tengah pertarungan akan menyambar apa saja hingga binasa.

Targa menusuk lalu memutarkan kelewangnya dengan dahsyat, anginnya melontarkan sebuah gunung hingga bumi bergetar. Hujan berkelit. Ia cukup gesit untuk menyelamatkan kepalanya sendiri dengan melintangkan pedang angin di depan wajahnya untuk menahan sabetan kelewang yang terlontar dengan tenaga penuh. Halilintar kedua segera menggelegar, kilatnya menyambar sebuah bukit hingga hangus terbakar. Makhluk-makhluk yang ada di sana berlari serabutan, mencoba menghindar.

Hujan menghindar, tapi ia tak pernah lari. Ia terus menghadapi sabetan-sabetan kelewang dengan tangkisan-tangkisan pedang angin. Tapi, tak sekalipun Hujan pernah membalasnya. Ia hanya menangkis, menghindar, berkelit, hingga kilat berpendar-pendar, menyambar sebuah pohon besar hingga terlontar jauh. Tapi, Hujan tak pernah lari, ia selalu ada. Menahan setiap serangan Targa dengan sigap.

Targa hilang kesabaran. Ia terus menyerang dan tak satupun dari serangannya mampu melukai Hujan sedikit saja. Hujan seperti mempermainkannya. Hujan hanya menangkis, menghindar, berkelit, hingga kilat berpendar-pendar, menghanguskan rumpun bambu hingga hangus jadi abu. Targa benar-benar terbakar. Lidah api menjilat-jilat dari tubuhnya. Ia bagai obor yang menyala di tengah malam buta, meliuk, berputar, melata, Targa menyerang dengan dendam membara.

“Serang aku!” Targa meradang. “Jangan diam! Balas seranganku!”

Tapi, Hujan sama sekali tak terpancing. Ia tetap tak membalas serangan Targa, ia hanya menangkis, menghindar, berkelit, membuat Targa menangis. Targa menangis putus asa, ini usaha yang sia-sia. Hujan bukan tandingannya. Hujan hanya mempermainkannya. Ini perjalanan ilusi, pengejaran yang cuma terjadi dalam mimpi.

Mimpi buruk yang menghantui setiap jiwa yang hidup dalam pengembaraan. Pengembaraan dendam penuntutan balas atas rasa sakit yang sebenarnya hanya diam bersemayam dalam hati yang sunyi.

Hujan turun semakin deras. Sejuta titik air berjatuhan bersama airmata Targa yang kini semakin putus asa. Putus asa dalam usaha pembunuhan yang mungkin takkan pernah terwujud karena ini adalah pembunuhan atas kenangan. Kenangan pedih yang hidup dalam tiap jiwa yang sakit.

Targa kini merasa seperti menari dengan hujan sebagai pasangannya. Tarian pedang dan kelewang yang mencelatkan kilat dan halilintar ke sepenjuru bumi yang damai. Kelewang terus menyabet-nyabet dengan anggun. Targa menyadari bahwa sabetan kelewangnya takkan pernah menyentuh leher Hujan sedikitpun. Hujan seperti mengetahui setiap gerakannya. Ini hanyalah perulangan-perulangan yang takkan berakhir. Ini semua hanyalah rekaan dari kejadian-kejadian lama yang muncul dari kenangan.

“Sadarkah kau siapa aku?!” Hujan berteriak padanya.

“Siapapun kau! Kau akan kubunuh!” Dengan hati yang kini kosong melompong Targa menyahut keras.

“Aku adalah Kau! Kau adalah Aku!”

Targa seperti tuli. Ia terus melesatkan sabetan-sabetan kelewangnya ke arah ruang-ruang kosong di sekitar sang Hujan. Hujan terus saja bergerak kesana-kemari, bermain-main dengan gerakan-gerakan Targa yang lembut mengalun.

Hujan kembali berkata, “Kau tak kan pernah bisa membunuhku! Aku abadi dalam dirimu! Aku hanya mencerminkan dirimu! Aku adalah bayanganmu!”

“Kelewang ini lebih cepat dari bayangan manapun juga. Maka, jikapun kau hanya bayangan, pedang ini akan sanggup memenggal kepalamu!”

“Lihat aku! Lihat aku baik-baik!” Hujan berteriak. “Maafkan dendammu!”

Targa kini merasa semua bergerak makin lambat. Hujan yang selama ini berkelebat hingga nyaris tak terlihat, jadi seperti menari-nari lembut dilatari kelambu putih titik air.

Benar! Benar saja! Ia melihat dirinya sendiri. Targa tak pernah bercermin, namun dari bayangannya di permukaan sungai Targa tahu bahwa sosok yang ada di depannya itu adalah dirinya sendiri. Diperhatikannya sekali lagi sambil terus berkelebat.

Benar! Ia benar juga! Sosok itu hanya menjadi bayangan bagi dirinya. Yang menyebabkan setiap sabetan kelewang halilintar tak pernah bisa mengenainya. Bahkan  bisa tertangkis dengan sempurna. Karena ia bayangan! Bagaimana mungkin membunuh bayangan? Bisakah bayangan dibunuh? Bukankah bayangan hanya mencerminkan apa yang dibayangkannya? Targa terdiam. Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdetak memburu-buru. Targa tersadar. Targa begitu sadar. Semua ini akan kembali pada dirinya sendiri. Apapun yang ia lakukan pada dirinya sendiri, akan mengenai bayangannya.

Maka, satu-satunya cara memenggal bayangan adalah memenggal pembayangnya!

Tak terasa, api yang menyelimuti tubuh Targa berubah perlahan, menjadi api biru yang lembut. Begitupun dengan hujan yang kini turun dalam sebuah adegan lambat. Setiap tetes air seperti hidup dan menari, menyiprat dan berkecipak, meratap dan menggelegak.

Hujan telah terpenggal kepalanya dan Targa merasakan nyawanya meninggalkan tubuhnya. Ia bisa melihat ayah dan ibu yang menggendong adiknya. Targa tersenyum sementara Hujan terus mengembara mencari jiwa-jiwa pengelana. Targa bergandengan tangan dengannya.

(Jakarta, Januari 2009)

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Canon in D (Ode untuk Serigala Pengelana)

Alkisah. Di suatu negeri antah berantah. Terceritakan seekor serigala yang  berjalan sendirian di awal musim dingin. Daun-daun baru saja gugur diterpa angin utara yang beku. Coklat daun-daun memenuhi tanah dan menutup lumut yang berserakan. Cerpelai dan tikus mondok kini mulai meringkukkan badannya dalam liang untuk sebuah tidur panjang. Rubah berjingkatan mencari serangga-serangga tersesat untuk dijadikan santapan. Tupai terbirit-birit mengumpulkan sisa-sisa buah cemara.

Sementara, salju pertama mulai jatuh. Menempel di hidung seekor rusa. Ditatapnya langit yang mendung putih. Ia melanjutkan makan karena sebentar lagi rumput dan ranting akan terkubur di bawah lapisan salju tebal. Hewan-hewan ramai berkeliaran. Merayakan bulir salju dan mempersiapkan masa-masa dingin berkepanjangan. Untuk terakhir kali, burung-burung memeriksa sarang, berang-berang memperbaiki lagi bendungan, kelinci menggali lubang sedikit lebih dalam, namun ini adalah keramaian yang sepi. Mereka sibuk sendiri. Ini saat-saat terakhir sebelum dunia berhenti sesaat. Semut mulai masuk ke liang. Pohon-pohon kini botak meranggas kecuali cemara-cemara jarum yang akan terus bertahan menemani mereka yang tetap terjaga. Mereka yang tak mau tetap di sini pergi bermigrasi dan yang tak pergi mempersiapkan hibernasi. Pada intinya, mereka takkan lagi di sini.

Mereka sekarang bergegas-gegas pergi berlindung, ke dalam sarang, liang atau lubang. Salju sudah turun. Menempel di pucuk-pucuk pepohonan, sela daun atau bertengger di dahan-dahan. Pohon bertudung putih-putih. Selimut salju aneka rupa menatah tanah. Lapisan-lapisan salju bergerak pelan, makin lama makin tebal. Dalam cuaca yang makin dingin, suasana makin sepi. Putih jadi nuansa. Dominasi koalisi. Putih meruyak hingga ke puncak-puncak. Melekatkan bumi pada langit. Menyatukan tetanahan dan pepohonan. Meski tak mati, hewan-hewan menguburkan diri. Diam tak bersuara. Musim dingin nyata berkuasa.

***

Tak semua diam benar-benar diam. Masih ada sedikit suara dengkur di bawah tanah. Tikus-tikus putih berjingkat-jingkat di atas salju, memunguti yang disisakan musim gugur. Hanya awas mata elang yang sanggup melihatnya. Di bawah tanah beku musim dingin, bayi-bayi tikus mondok meringkuk dalam sisa hangat tubuh induknya. Burung hantu mencari celah dalam mimikri, menyatu dengan putih salju. Ada suara, hangat dan bunyi di tengah diam, beku dan sunyi. Dalam dominasi salju, ada yang bergerak tak bersuara. Dalam kuasa dingin, ada yang berani melawannya.

Inilah serigala pengelana yang melawan dingin cakar musim beku. Tertatih dalam jubah abu-abu. Punggungnya merah terluka. Membuat ia nyata di tengah salju putih yang menyamudera. Ia berjalan menerobos salju tebal yang membuat langkah-langkah tertahan. Sesekali tetes darah dari luka terbuka meninggalkan jejak kelima. Menodai putih dengan merah. Menandai hidupnya pada sebuah arah.

Serigala pengelana berjalan entah kemana. Ia baru saja terusir dari kelompoknya. Pertarungan memaksanya berjalan sendiri kini. Siapa nyana, seekor serigala perkasa menyingkir minggir dalam kekalahan. Sekarang rombongan berjalan berjauhan, memisah langkah dari serigala pengelana.

Untuk serigala berjiwa ksatria, kematian adalah pilihan untuk tidak terbenam dalam kekalahan. Dan musim dingin adalah cara paling menyakitkan untuk mati. Mati pelan dalam naungan cahaya bulan. Kebahagiaan seorang pemenang kini terbungkus kematian. Kematian tidak lagi pilihan, tapi keharusan. Kewajiban untuk bertanggung jawab pada hidup. Cahaya bintang makin redup.

Bukan saatnya lagi melolong pada bulan memohon makna. Makna kini hanya ada di relung kematian. Kematian pada bahagia kemenangan. Bukan kemenangan pertarungan. Serigala pengelana telah kalah adanya. Ini bukan kemenangan dalam perebutan. Melainkan kemenangan karena suksesi kekuasaan.

Kemenangan kebesaran hati melawan tamaknya jiwa yang ingin tetap berkuasa.

“Bulan, aku pernah memohon padamu dulu. Kini aku kembali memohon padamu. Meminta kematian dari tanganmu.”

Serigala pengelana berjalan terseok menerobos rimba salju. Angin dingin dan burung nasar mengikuti langkahnya. Cemara jarum yang sedih memberikan batang-batangnya bagi serigala pengelana untuk berlindung. Tapi badai salju yang ganas tak pernah mau tahu. Menerabas apapun yang ada di depannya. Melibas apapun yang mencoba berdiri menghadangnya. Apalah serigala pengelana yang kini tak punya tenaga. Berlari ke bukit, melolong ke bulan dan berteriak ke langit adalah cerita lama. Cerita yang tak akan terulang lagi. Adalah kisah yang cuma disampaikan oleh mereka yang mau bersaksi. Keperkasaan cuma kenangan. Kegagahan jadi dongeng rekaan.

***

Badai berhenti sejenak. Kini, serigala pengelana bersimpuh di sela-sela batang cemara. Darah tak lagi menetes tapi perihnya makin menjadi. Perih yang dinikmati sendiri oleh serigala penunggu mati. Burung nasar bertengger di dahan-dahan. Menghitung napas yang pergi dan hidup yang sisa. Tikus putih dan rusa berdiri tak jauh darinya.

Jika ini terjadi dulu, keduanya takkan bisa hidup lama. Serigala pengelana akan menerkam dan mencabiknya. Tapi kini, serigala pengelana bukan lagi siapa-siapa. Ia hanya pengelana menunggu kematian. Untuk apalagi membunuh saat mati adalah suatu yang pasti jatuh? Saatnya pencabik tercabik-cabik.

***

Seekor serigala muda perkasa menantangnya dalam sebuah pertarungan. Tiada tantangan boleh ditampik, seperti takdir tak kan mungkin ditolak. Pertarungan dua kuasa tiada mungkin terelak.

Dulu tetua telah berkata bahwa segala sesuatu selalu ada saatnya. Memaksakan kehendak pada waktu bukanlah hal yang bijak. Karena waktu tak bisa dipaksa. Ia terjadi pada apa yang seharusnya terjadi.

Maka para tetua juga berkata bahwa tiada kuasa dunia yang akan bertahan selamanya. Begitupun dengan serigala pengelana. Kisah pengembaraannya ke bulan telah membuatnya duduk di tahta. Kelak, akan ada kisah lain yang lebih perkasa. Lebih luar biasa untuk berkuasa. Saat serigala muda perkasa mengumandangkan tantangannya, serigala pengelana merasa telah tiba waktunya. Telah datang apa kata tetua.

Namun, siapa yang bisa memastikan waktu? Benarkah itu saatnya atau belumkah tiba waktunya, hanya bisa dibuktikan dalam pertarungan dua ksatria. Menang atau kalah adalah hal yang menjadi pasti setelahnya, tapi kehormatan harus tetap dibela.

Kini makna tak perlu lagi dicari. Ia akan datang sendiri. Tanpa titah, tanpa sedikit pun perintah, waktu akan memberi makna pada yang lewat. Menyampaikan cerita pada dunia. Bahwa menerima kekalahan adalah bagian dari kemenangan. Bahwa yang penting adalah mencoba untuk tetap berdiri. Karena pahlawan adalah mereka yang memaksa untuk melawan saat semua berkata untuk diam. Menjemput kematian saat yang lain lari menghindar.

Serigala pengelana kembali berjalan, menuju puncak gunung tertinggi. Sebelum tetes darah terakhir jatuh ke bumi, tiada pernah ada kata berhenti. Inilah dunia yang hidup dalam siklus suksesi. Suatu yang harus diterima dengan hati bahwa musim berganti.

Musim semi memanas, menggugurkan daun-daun untuk membeku dan kembali menyemaikan kecambah menjadi pohon-pohon baru. Tidak ada yang perlu disesali, pun tidak untuk ditangisi. Bahwa musim melewat dan menumbuhkan hal-hal baru.

Begitu pun dengan hujan salju yang turun begitu lebat. Menghentikan dunia dalam gerak laten yang tersembunyi. Menghidupkan jiwa-jiwa pengelana dalam sunyi. Mereka yang tak mau berhenti. Meski kematian pasti menjemput, namun telah tergurat di atas batu sebuah nama besar. Nama dari mayat yang dicabik burung nasar.

“Wahai bulan yang bertahta di puncak langit! Kini aku berjalan menujumu. Katakan pada burung nasar, bahwa tiada lain dari yang mereka makan adalah bagian tubuh seorang pahlawan!”

Apapun yang terjadi, makna harus ada untuk yang mati. Bulan bercerita di balik tahta. Di kejauhan sekelompok serigala melolong pada bulan, menyanyikan ode untuk kematian pahlawan.

*Canon In D : komposisi karya komponis Jerman Johann Pachelbel. Ditulis sebelum abad ke-17

Januari 2010

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Burung Walet dan Sungai Teka-Teki

Burung walet terbang menembus hujan meninggalkan sarangnya di tebing terjal yang dijepit bukit-bukit hijau dibelah alur sungai keperakan yang berlari hingga suatu tempat entah dimana. Begitu kiranya. Sungai yang begitu jauhnya hingga tak terlihat ujungnya. Dari atas tebing terlihat kelokan-kelokan yang meliuk hingga habis dimakan cakrawala.

Burung walet sering terbang menuju langit sebatas awan belum menutupi pemandangan di bawahnya. Tetapi, tak juga terlihat ekor dari sungai itu sementara ia bisa yakin bahwa kepalanya adalah sebuah mata air yang menetes di balik gunung. Sungai itu tetap habis dimakan cakrawala. Sungai teka-teki dengan jawaban yang entah ada tidaknya. Yang diketahui burung walet hanyalah senja yang jatuh tepat di titik sungai teka-teki habis ditebas cakrawala hingga tandas. Senja selalu bergantung di ujungnya, seakan mulut raksasa menyedot masuk hingga sungai teka-teki tertelan ke dalamnya. Mungkinkah sebenarnya matahari senja yang menelannya dan bukan cakrawala?

Sering didengarnya dari cerita burung-burung tua bahwa sungai teka-teki hanya akan berakhir di muara. Tiada cakrawala atau matahari senja yang menelannya. Burung-burung tua itu tentu saja burung-burung berpengalaman dengan kisah-kisah luar biasa tentang petualangan menembus cakrawala yang katanya sebegitu jauhnya. Bisakah cakrawala ditembus? Burung walet tidak bisa mempercayainya. Ia ingin benar-benar melihat. Benarkah sungai teka-teki dimakan cakrawala, tertelan matahari yang senja atau hanya berakhir di mulut muara.

Burung walet bertengger di sebuah ranting pohon yang entah bagaimana tumbuh sendiri di dinding tebing yang menjulang. Angin senja yang deras bertiup menepuk-nepuknya hingga dahan-dahan yang kurus bergoyang-goyang. Suara gemuruh sungai yang ramai masih terdengar dari sini. Burung walet termangu sendiri seperti pohon kecil yang menempel di dinding tebing. Dipandanginya lembah yang terhampar hijau di bawahnya. Pohon-pohon besar yang tumbuh di bawah jadi begitu kecil tampaknya. Bahkan pohon kecil yang menempel di dinding tebing jadi terasa lebih besar.

Cakrawala berkejar-kejaran dengan leret-leret cahaya senja di kejauhan. Peri-peri malam berlari di atasnya menuju kegelapan. Sungai teka-teki masih tampak sama baginya. Berkelok-kelok dari pegunungan di balik tebing, menyusup-nyusup di antara riuhnya pepohonan seperti sriti yang meliuk-liuk menghindari awan yang tebal, lalu hilang ditelan matahari senja yang menggantung di cakrawala.

Siapakah yang bertanggung jawab atas hilangnya sungai teka-teki? Cakrawala, matahari senja ataukah hanya muara? Bukankah burung-burung tua itu juga berkata bahwa semua sungai pada akhirnya hanya akan berakhir di muara? Tapi di manakah muara? Burung walet pernah suatu kali bertanya pada para burung tetua. Namun, mereka tak menjawabnya dengan pasti, semua serba katanya. Mereka bercerita seperti sebuah legenda, padahal sungai itu nyata adanya. Kisah sungai habis dipapas. Mungkinkah supaya tak ada lagi yang bertanya? Sepertinya sungai itu jadi hilang begitu saja.

Seperti sebuah lagu yang kemudian berakhir pada ketiadaan, terserap oleh dunia yang membuat bunyi-bunyian hilang entah kemana setelah meninggalkan telinga. Apakah yang tertinggal dari sebuah bunyi jika tidak ada ingatan yang menjadikannya kenangan?

Begitu pulakah dengan benda-benda yang musnah keberadaannya, menuju ketiadaan, tertinggal jadi penglihatan yang hanya terlihat dalam kepala dan hanya bisa dilihat oleh mata ajaib yang ada dalam kepala saja?

Tak berbeda dengan kejadian-kejadian yang terangkai dalam benang waktu. Hilang sebatas jadi ingatan. Kejadian hilang dalam memori sementara waktu terus berjalan. Pun waktu akan musnah pada akhirnya. Seperti seronce kalung mutiara yang putus, hilang sebutir demi sebutir hingga tersisa hanya benang semata. Sungai teka-teki kini hilang mengembara dalam kata-kata para tetua. Menjadi cerita turun-temurun yang tercecer dalam lintasan jaman. Burung walet hanya bisa membayangkan akhir dari sungai teka-teki sebatas kata-kata.

Itukah yang terjadi dengan sungai teka-teki? Terlahir dari setitik mata air tersembunyi di balik riung pepohonan yang lebat, mengalir perlahan melintasi tanah-tanah basah yang berembun, mengikis bebatuan menjadi derasnya riam yang beriak dalam, lalu hilang entah dimana. Itukah nasib tetes-tetes air yang terserap dari hujan, terlahir dan hilang begitu saja?

Lantas, untuk apa sesuatu terlahir dan mengalir sepanjang benang waktu? Hanya untuk melewati jembatan yang menghubungkan dua titik, awal dan akhir? Pun, tidakkah seperti tetes air yang menitik dari balik batu-batu, mengalir menjadi urat-urat air di tanah basah, menyatu dalam aliran tenang sungai kecil, terjatuh deras dari air terjun, lalu kembali menjadi sungai namun tiadalah selain jeram-jeram yang ganas, keberadaan menjadi semakin besar dan dalam, bukan? Dan setelah keberadaan tiba di titik terbesar dan terdalamnya, apalagi yang terjadi? Sesuatu tiada mungkin terus membesar tanpa henti seakan batas adalah titik yang nir-ada. Burung walet yakin bahwa di suatu tempat yang tidak diketahui sungai teka-teki mengakhiri kisahnya. Tiada kisah yang tak berakhir selayaknya sungai teka-teki yang pudar ditelan kejauhan.

***

Burung walet termangu di dahan pohon kecil yang menyempil dan tergantung di dinding tebing yang memberi gaung pada lembah yang gemah merekah. Kini, sungai teka-teki makin hilang terlamun hujan yang rintik-rintik turun. Tampak di tempat yang jauh tempat sungai teka-teki biasa menghilang, hujan telah menderas dan perlahan-lahan mendekat bagai tirai yang berjingkatan, menutup, melengkapi keremangan nasib sebuah akhir. Matahari bahkan menyerah pada bulir-bulir air yang menyaput angkasa senja meskipun ia tetap berkuasa tentu di sebaliknya. Tapi apalah yang bisa mengalahkan kekuasaan pikiran yang terus menerus didera pertanyaan. Seperti sepasang sayap burung walet yang terus dilanda tetes hujan. Kini telah semakin basah. Sudah kuyup. Terlanjur basah. Api telah meletup. Tanya telah ditabur dalam ladang pemikiran menunggu waktu menuai jawab.  Menjadi akibat yang mencari sebab.

Telah bulat dalam benak burung walet untuk mencari akhir dari sungai teka-teki. Benarkan ia tertelan matahari senja, terperosok di cakrawala ataukah hanya muara saja yang mengakhirinya. Maka, dengan dua bilah sayap basah, burung walet terbang meninggalkan pohon kecil yang entah bagaimana tumbuh di dinding tebing. Hujan masih turun dengan deras. Angin meliuk-liuk dengan bunyi-bunyi seperti bersiul. Kilat menyabung langit di udara dalam gelegar bercahaya. Mencelat-celat di tengah hujan gemuruh. Burung walet berkelit-kelit menghindar. Menukik dan melesat ke angkasa di sela-sela mega kehitaman yang makin lama makin pekat. Awan tak lagi berarak, mereka berserikat dalam ikatan-ikatan yang lagi tak kasat oleh mata.

Bertanyalah sang walet pada awan menggumpal, “Dimanakah sungai teka-teki akan berakhir, wahai awan gemawan yang perkasa?”

Awan gemawan tak menjawabnya, ia justru balik bertanya, “Jika kau adalah matahari, pemikiran adalah api. Maka, apakah cahaya?”

“Apa maksud pertanyaanmu itu?” seru burung walet terheran.

“Jangan menjawab atau bertanya lagi padaku. Seluruh pertanyaan adalah milikmu,” awan gemawan menjawab.

“Pertanyaanku adalah dimanakah gerangan sungai teka-teki ini akan berakhir? Tidakkah kau mendengar?”

“Hanya hati yang tuli yang tak mampu mendengar!” awan gemawan berseru dan tersenyum.

“Mengapa tidak kau jawab saja pertanyaanku?” burung walet kembali bertanya sambil mempertahankan kepakan sayapnya yang makin basah.

Awan hanya berseru, “Ingat! Seluruh pertanyaan adalah milikmu!”

Ingin kiranya burung walet kembali bertanya, namun awan gemawan melesat pergi. Ia berlalu begitu cepat bahkan sebelum burung walet sempat berkata apapun.  Burung walet ingin menahannya, namun awan gemawan telah hilang tertelan gumpalan mega yang kini makin menghitam. Kilat bersahutan dalam hujan yang ramai. Burung walet terus berusaha menembusnya – berputar, menukik, melesat dan berjumpalitan sambil mengibaskan sayap yang basah di sekujurnya. Hujan mengamuk begitu dahsyat dalam batas-batas kegelapan angkasa. Namun, seperti pernah dikata sebelumnya, pertanyaan terlalu berkuasa untuk membiarkan burung walet menyerah begitu saja. Tak berhenti ia terbang dengan sayap yang telah begitu berat. Ia pun terbang rendah. Berharap berlindung di bawah rimbun pepohonan.

Hujan tak juga berhenti saat burung walet hinggap di sebatang pohon untuk bertanya. Pohon itu adalah pohon tua yang begitu besar dengan pokoknya yang menjulang, daun yang memayung dan akar yang menjulur. Ia tumbuh di pinggiran sungai teka-teki yang terlihat semakin menghilang ke dalam rimbun hutan yang gelap.

“Wahai, Pohon tua yang bijak. Ijinkan aku bertanya,” burung walet berkata. “Dimanakah gerangan sungai teka-teki ini hendak berakhir?”

Pohon tua hanya diam. Sesekali dahannya yang renta berderak menggoyangkan daun-daun dan akar-akarnya yang menggantung. Dunia terasa sepi di sini. Hanya gesek daun dan gemericik sungai teka-teki yang terdengar. Tiada kebijakan yang bisa terdengar oleh burung walet yang penuh tanya. Maka, untuk kedua kalinya burung walet bertanya.

“Maafkan jika aku mengganggu ketenanganmu, wahai pohon tua saksi sang jaman,” burung walet berkata pelan. “Sudikah kiranya dikau membagi sedikit pengetahuanmu dan mengatakan dimana sungai teka-teki berakhir kiranya?”

Lagi-lagi hanya sepi yang terdengar. Pohon tua tak sedikitpun mengatakan sebuah jawaban. Bahkan, pohon tua seakan tak mendengarnya. Hanya derak dahan dan gesek daun yang terdengar berulang-ulang. Burung walet tak juga menyerah. Sekali lagi ia bertanya.

“Maafkan kelancanganku, wahai pohon tua. Terangilah kebodohanku. Beritahu dimanakah sungai teka-teki akan berakhir.”

Tak kunjung sebuah jawaban terdengar. Semua masih terdengar sama. Sebuah sepi dengan suara derak dahan, gemericik air dan desir angin yang terdengar lamat-lamat. Burung walet pun terdiam. Mungkin, ia memang takkan pernah mendapat jawaban. Maka, dikibaskan sayapnya untuk mengusir sisa-sisa air yang menempel. Hujan telah mereda dengan sedikit gerimis. Burung walet hendak beranjak pergi saat pohon tua berderak lebih keras. Dahan-dahannya yang menjuntai lemah menegak dengan tenaga. Sulur-sulur akar menyibak hendak membuka. Daun-daun yang telah menguning gugur lalu terbang dihela angin, jatuh dan berlarian di sela akar-akar besar di tanah yang tampak menggeliat-geliat.

Terdengarlah suara pohon tua yang berat dan bergema, “Jika kata adalah pengetahuan. Suara adalah perbuatan. Maka apakah hati?”

“Tunggu!” burung walet berteriak saat melihat pohon tua beringsut hendak menutup. Namun, teriakan burung walet tak berarti apa-apa. Pohon tua tetap menggeliat pelan dan kembali ke posisinya semula. Lalu semua kembali sediakala. Pohon tua yang begitu besar dengan pokoknya yang menjulang, daun yang memayung dan akar yang menjulur. Diam. Diam begitu rupa.

Burung walet tahu jika sekarang sudah percuma berkata apa-apa. Pohon tua akan diam seakan untuk selamanya. Pohon tua kembali menjadi layaknya pohon mati yang diam dalam bijaknya. Saksi bagi para pelintas jaman yang entah kapan akan kembali melintasinya.

Maka, di tengah hujan yang kini gerimis, burung walet kembali mengepakkan sayapnya mengikuti alur sungai teka-teki yang tak jua terlihat ujungnya. Sungai berkelok kesana-kemari mengikuti alur tanah dan bebatuan yang memandunya menuju suatu tempat entah di mana. Tak terbayangkan olehnya. Tetes-tetes air dari hulu dapat menjadi sederas ini. Mengalir penuh kekuatan dan menghantam bebatuan di sepanjang alirannya. Arus berkelok pelan hanya untuk jadi deras berikutnya. Berputar-putar dalam pusaran hanya untuk terlontar kembali setelahnya. Mengambil jalan menghindar dari batu besar untuk melesat lurus kemudian. Bergemericik perlahan untuk melompati jurang yang dalam.

Burung walet terbang jatuh bebas mengikuti air terjun yang mencipratkan air serupa kabut di bawahnya. Itulah yang dilakukan oleh burung walet. Mengikuti kemana pun hingga kini arus menjadi tenang di sebuah kolam yang cukup dalam. Terlihat di dalamnya ikan-ikan besar dan kecil berenang-renang gembira. Mereka seakan menari-nari dalam riak air yang luar biasa jernihnya. Dasar kolam yang tersusun dari batu-batu hitam membuat ikan-ikan semakin cerah tampaknya. Warna-warni sisik mereka yang berkilauan memantulkan cahaya langit, serasi dengan pelangi yang timbul akibat percik-percik kabut yang terjadi di kaki air terjun.

Bertanyalah burung walet, “Wahai ikan penghias kolam, dimanakah sungai ini akan berakhir kiranya?”

Ikan-ikan terdiam dan memandang burung walet yang berdiri di batu. Lalu mereka semua berebutan bicara. Puluhan ikan meracau bersama. Suara mereka bersahut-sahutan begitu ramainya hingga tidak ada yang bisa didengar.

“Maafkan aku. Aku tak bisa mendengar jika kalian terus bicara bersama-sama. Bisakah kalian bicara satu-persatu hingga aku bisa mendengarnya?” burung walet memohon pada ikan-ikan yang kini bergerombol di dekat kakinya.

Tak satupun ikan yang bicara. Mereka semua diam, menunggu kata-kata burung walet.

Lalu burung walet mengulang pertanyaanya, “Wahai ikan-ikan yang indah, aku telah mengikuti alur sungai teka-teki hingga tiba kemari. Dimanakah sungai teka-teki akan berakhir?”

Lalu sama saja. Ikan-ikan ramai berebutan berbicara. Masing-masing dengan jawaban yang berbeda. Namun, bagi burung walet, apa yang membedakan atau mempersamakan jika tidak ada yang bisa didengarkan? Ikan-ikan terus saja berbicara seakan burung walet memiliki seribu telinga yang mampu mendengar semuanya satu per satu. Hingga, burung walet terpancing kemarahannya.

“Diamlah! Diam kalian semua!”

Umpatan itu tak memperbaiki apa-apa. Justru, umpatan itu membuat ikan-ikan pergi serabutan karena dilanda ketakutan. Ikan-ikan berenang panik kesana-kemari mencari tempat persembunyian, di sela batu-batu, di balik ganggang, di dalam lumpur di dasar kolam, di manapun sejarak pandangan burung walet tak mampu menjangkau. Namun, sebelum mereka semua menghilang, seekor ikan seputih perak mencelat ke udara, berkecipak di atas permukaan kolam.

Dan ia berkata, “Jika mata tak melihat, telinga tak mendengar. Maka, apa yang dilakukan oleh nurani?”

“Jangan pergi!” seru burung walet mencoba menahan.

Namun terlambat, ikan perak telah hilang ditelan batu-batu hitam, ganggang dan lumpur di dasar kolam. Burung walet sangat menyesal. Tapi, apalagi yang bisa dilakukannya selain kembali menempuh perjalanan. Dengan helaan napas, dibasuh kedua sayapnya yang ditempeli debu dan kotoran. Kolam kini senyap seperti tanpa penghuni. Tinggal gemuruh air terjun yang jadi terdengar jelas dan batu-batu diam sunyi sepi dilamun rimba gelap dimana sungai teka-teki kembali masuk ke dalamnya. Hutan yang kini dirambah oleh burung walet untuk menemukan jawabannya.

***

Burung walet kembali terbang di sela-sela hutan yang rapat. Mengikuti alur air yang menyungai di sisinya. Suara-suara burung lain terdengar di kejauhan. Ramai berkicau dan berceloteh merayakan alam dunia. Tapi, seperti yang dikata sebelumnya, tanya terlalu kuat untuk ditolaknya. Kebersamaan dengan sebangsanya tak lagi menggoda. Ia punya tanya yang harus ditemukan jawabannya.

Burung walet terus terbang menyisir sungai di tengah rimba. Ia mulai putus asa. Mungkin, sungai teka-teki takkan berakhir kiranya. Pikirnya, mengapa setelah perjalanan sejauh ini tak juga ditemukan ujungnya, sungai teka-teki seperti tak berujung. Burung walet kini lelah. Ia berhenti terbang. Merasa bahwa apa yang dilakukannya sia-sia belaka. Ia pun hinggap dan terdiam.

“Banyak yang telah melewati jalan ini sebelumnya,” sebuah suara terdengar.

Burung walet menoleh mencari sumber suara. Ternyata, serumpun bambu ada di belakangnya bergesek-gesek tertiup angin menimbulkan suara gemerisik.

“Jalan? Jalan mana gerangan, wahai rumpun bambu?” burung walet bertanya pelan.

“Inilah jalan yang selalu dilewati manusia beserta peradabannya.”

Ternyata, bersisian dengan sungai teka-teki tampak jalan setapak tanah yang kelihatannya sering dilewati. Namun, itu sama sekali tak menunjukkan bahwa sungai teka-teki akan berakhir. Burung walet tak bersemangat melihatnya. Rasanya ingin kembali saja. Burung walet teringat rumahnya di dinding tebing menjulang, tempat sebatang pohon kecil entah bagaimana tumbuh di sana. Tempat burung walet biasa duduk dan menyaksikan hijau lembah di bawahnya.

“Manusia sering melewati jalan ini. Entahlah, mereka berjalan kemana. Mungkin karena ada desa di dekat sini. Tempat mereka berkumpul dan berniaga.”

Burung walet hanya mendengar. Ia tak ingin lagi bertanya. Untuk apa bertanya jika tiada jawaban yang bisa ditemukannya? Ia merasa, mungkin hanya di sinilah akhir perjalanannya. Akhir adalah sebatas kedua sayap lemahnya sanggup membawa.

“Kau diam begitu rupa,” rumpun bambu berkata. “Jikalau aku diberkahi sayap sepertimu, maka aku sudah terbang dan tidak hanya diam di sini. Maukah kau menolongku, wahai burung walet yang kini diam bernestapa?”

“Menolong? Aku bahkan tak mampu menolong diriku sendiri,” tapi tak urung ditanyanya juga. “Bagaimana aku bisa menolongmu?”

“Temukan jawaban dari pertanyaanku ini,” rumpun bambu berkata. “Jika kehidupan adalah roda pedati. Waktu adalah lembu. Maka apakah kematian?”

Burung walet sudah terlalu lelah dengan pertanyaan. Ia ingin jawaban. Ia tak ingin menjawab apapun sementara jawaban dari pertanyaannya sendiri tak kunjung ditemukan.

“Sudikah kau?” rumpun bambu kembali bertanya.

“Baiklah,” burung walet mengangguk enggan. “Aku tak berjanji akan sanggup menemukan jawaban untukmu.”

“Tapi kau akan mencarinya?”

Burung walet mengangguk lalu mengepakkan sayapnya dan kembali mengikuti alur sungai yang kini makin lebar. Warnanya tak lagi jernih tapi keruh membawa tanah dan lumpur. Bebatuan tampak dipinggirnya, tempat ikan-ikan berlindung dari arus yang kuat. Kijang, pelanduk, dan hewan-hewan lain sesekali tampak di pinggir sungai meminum airnya sambil tetap waspada terhadap buaya yang bersembunyi layaknya batang pohon yang mengapung.

Buaya menyerang mangsanya, menyeretnya ke dasar sungai, membuatnya tak berkutik dan mengoyaknya. Burung walet menyaksikan semuanya. Burung walet terus terbang tanpa henti. Hingga ia tiba di sebuah dataran. Dataran dimana sungai teka-teka membuka dirinya. Dataran berhiaskan semak-semak berduri onak yang menjepit celah sempit. Celah tempat arus air berputar sebelum terlepas dari aliran sungai teka-teki yang menandai akhir perjalanan dari hulu di balik gunung. Inikah? Hanya inikah?

Benarlah para tetua bahwa sungai teka-teki hanya berakhir di muara. Bahkan cakrawala tampak begitu jauhnya memisahkan samudra dengan sepotong matahari menggantung di atasnya. Hanya inikah yang akan ditemui setelah perjalanan yang begitu jauhnya?

Betapa kecewa hati burung walet menemukan bahwa sungai teka-teki hanya berakhir di muara. Ingin rasanya ia meneruskan terbang menuju cakrawala. Tapi, tak mungkin rasanya. Ia dibatasi samudra yang begitu luasnya tanpa secuil daratan pun tersisa.

Untuk menutupi rasa kecewa, burung walet terbang menuju angkasa. Terbang setinggi-tingginya. Setinggi kepakan sayapnya sanggup membawa. Yang ternyata membawanya bertemu awan gemawan yang pernah ditemuinya.

“Hanya inikah akhir sungai teka-teki, wahai awan yang perkasa?” burung walet berkata. “Untuk apa aku mencari sejauh ini jika yang kudapatkan hanya muara?”

Awan gemawan tersenyum dan balik bertanya, “Hanya? Hanya kau bilang? Bagaimana mungkin kau bilang ini semua hanya? Bukankah ini dunia?”

“Dunia?” burung walet menyahut heran.

“Bukankah kau baru saja menjadi saksi atas perjalanan dunia? Bukankah kau baru saja ditunjukkan bahwa kematian selalu jadi tujuan?”

“Kematian adalah tujuan?”

“Apa yang bisa dipastikan datangnya melebihi kematian, wahai sang pencari? Bukankah semua perjalanan akan diakhiri dengan kemusnahan? Seperti sungai teka-teki yang musnah oleh kematiannya di muara.”

“Untuk apa ia terus mengalir jika hanya untuk dimusnahkan?”

“Kau terlalu terpesona pada keindahan dan kebesaran sungai itu. Hingga kau lupa untuk melihat airnya,” awan gemawan berkata sambil membawa burung walet terbang lebih tinggi. “Sungai teka-teki memang musnah di muara. Tapi tidak, dengan airnya. Airnya tetap ada. Bersatu dengan samudra. Airlah yang mengalir. Ia akan terus mengalir.”

“Tahukah air bahwa ia akan sampai ke muara?”

“Sejak saat kelahirannya di hulu yang tersembunyi, ia tahu bahwa ia harus mengalir. Tapi saat keberadaan sebuah muara adalah kepastian, maka ia berbuat sebaik yang ia bisa dimanapun ia berada. Ia merembes ke tanah-tanah basah untuk kesuburannya. Ia menjadi air terjun dengan pelangi di kakinya. Ia menjadi kolam yang tenang bagi ikan-ikan. Ia sediakan dirinya untuk diminum oleh makhluk hidup dan hewan-hewan. Hingga saat tiba di muara, ia telah begitu luasnya dan bermakna.”

“Tidakkah pengetahuannya akan muara, tak membuatnya takut dan menyesal pada datangnya kematian?”

“Tidak seharusnya pengetahuan menimbulkan ketakutan atau penyesalan. Ia justru memberi arah dan keyakinan. Layaknya matahari yang panas apinya membakar. Api yang sama telah menerbitkan cahaya. Cahaya yang memberi terang. Seperti cahaya, itulah pengetahuan. Memberi terang pada kegelapan.”

“Untuk apa pengetahuan tentang muara jika ia hanya sepotong tempat yang seperti tak ada artinya dibandingkan liku sungai teka-teki atau bahkan samudra?”

“Berhentilah melihat sesuatu sebagai potongan-potongan. Lihatlah keseluruhan dan kesatuan. Bukankah muara yang menyatukan sungai teka-teki dengan samudra? Seperti cakrawala yang mampu mempertemukan samudra dan matahari. Dan kini kau telah menyatukan hulu dan hilirnya. Seperti niat baik yang menyatukan pengetahuan dan perbuatan. Dan niat jahat yang memisahkan keduanya.”

“Bagaimana aku mengetahui bahwa hatiku memang berisi niat baik?”

“Saat matamu tak sanggup melihat dan telingamu tak mampu mendengar, maka nurani yang menunjukkan. Tapi, sempatkah kau, aku atau siapapun yang tahu memberi kesempatan pada hati untuk tertunjukkan oleh apa yang ditunjukkan nurani? Aku, kau, kita terlalu sering terlalu percaya pada mata dan telinga hingga lupa bahwa hati juga bicara. Lupa bahwa kita adalah titik air di hulu yang mengalir mencari muara yang membuka pintu pada samudra. Maka, apakah muara adalah hanya?”

Tanpa disadarinya burung walet telah terbang begitu tinggi hingga samudra yang begitu luasnya tampak begitu kecilnya. Hingga cakrawala tak lagi menyatukan matahari dengannya. Menunjukkan kesatuan dalam keterpisahan. Membuat cakrawala tampak sebagai sesuatu yang terus bergerak, tergantung pada bagaimana burung walet ingin melihatnya.

“Wahai, awan gemawan yang perkasa. Aku kini merasa begitu kecilnya.”

“Untuk apa kau merasa kecil padahal kau adalah bagian dari sesuatu yang begitu besarnya? Itulah cakrawala yang memberi batas pandang, memberimu pengertian. Karena saat kita terlepas darinya, kita akan menyadari bahwa tak ada yang lebih semu dibanding cakrawala, garis pandang yang sebenarnya tak pernah ada. Maka apakah yang membatasimu dari dunia selain caramu memandangnya. Kau tak memiliki sebuah batas perluasan kecuali kesempitan cakrawalamu sendiri.”

“Inikah jawabanku?”

“Pertanyaan adalah milikmu, maka begitupun jawabannya.”

Burung walet kini terbang ke hulu, membagikan jawaban pada mereka yang bertanya. Karena apa artinya cahaya jika tiada terang darinya.

(Jakarta, Januari 2009. Diketik di HP)
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 9 other subscribers
  • Today’s Quote

    When you dance, your purpose is not to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (Wayne Dyer)

  • Categories

  • Soundless Voices by Wisnu Sumarwan

    Inilah blog saya yang sederhana. Lewat blog ini saya hanya mencoba untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan. Tentu saja saya hanya manusia biasa yang memungkinkan banyak terjadi kesalahan. Saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Welcome to the journey of soundless voices. Thank you...