Gagal Menguping – Gap Antar Generasi, Apakah Saya Masih ‘Jawa’?

Banyak hal yang tidak saya suka saat menggunakan kendaraan umum. Standar saja. Sopirnya yang ugal-ugalan dengan menjadikan jalan raya sebagai trek balap slalom, sensasi ikan pindang saat kendaraan umum yang kita tumpangi penuh bukan buatan, baunya yang sering campur aduk serabutan, atau penumpangnya yang sering seenak udelnya sendiri. Jika daftar ini hendak diperpanjang, saya rasa saya bisa menerbitkan buku yang isinya keluhan tentang kendaraan umum di Jakarta, saya rasa semua orang sudah tahu isinya akan seperti apa.

Namun, diantara sekian banyak keluhan tentang kendaraan umum Jakarta, ada hal yang yang saya sangat sukai yaitu mengamati dan mendengarkan penumpang atau awak bis  mengobrol atau melakukan interaksi. Hal yang membuat unik adalah karena kita bisa sangat dekat dengan orang asing dalam jarak intim kita (menurut Edward T. Hall mengenai studi proksemik, jarak intim adalah antar 0-18 inchi). Inilah yang sering membuat orang merasa deg-degan atau takut menggunakan kendaraan umum. Beberapa diantaranya sampai pada tingkat paranoid.

Memang, ada beberapa orang yang dekat-dekat di kendaraan umum karena niat buruk, seperti pencopet atau orang yang suka melakukan pelecehan seksual. Sumpah! Saya bukan tipe orang seperti itu. Saya biasanya hanya (tidak sengaja) menguping atau memperhatikan perilaku dan obrolan orang-orang di dalam kendaraan umum. Mungkin, ada beberapa orang yang memilih untuk tidak mendengarkan sekelilingnya dengan mendengarkan musik via headset dengan volume luar biasa keras. Saya, hanya memanfaatkan kerakter orang Indonesia yang senang berbagi perasaan di manapun termasuk di kendaraan umum (anda akan lebih sulit menemukan fenomena ini di budaya eropa atau amerika yang lebih memilih untuk diam di kendaraan umum karena tidak mau orang lain mendengar hal yang tidak mereka diperlukan. Mereka juga tidak mau dengar apa yang orang lain bicarakan.).

Prosesnya gampang. Naiklah kendaraan seperti biasa. Mengantri dan berdiri (atau duduk) seperti biasa. Pokoknya, biasa saja. Kalau anda cukup memperhatikan, dengan segera, anda sudah bisa mendengarkan obrolan orang lain masuk begitu saja ke telinga anda. Kalaupun tidak ada orang yang mengobrol, anda bisa memperhatikan gestur (bahasa tubuh) atau pandangan mata. Kadang, hal-hal non-verbal seperti itu juga memberikan cukup cerita.

***

Well, hari ini (28/10/10) saya pulang jam 2 pagi dari arah Grogol. Seperti biasa, mengunakan angkot setan. Mengingat ini sudah dini hari, saya berpraduga bahwa saya akan menemukan hal-hal yang tidak mungkin saya amati saat siang hari. Siang hari kadang terlalu ramai, membuat berbagai macam stimulus masuk berebutan ke kepala kita. Di malam hari, saat suasana lebih tenang (atau tegang?) stimulus yang lemah pun jadi bisa jelas dirasakan. Jadi, saya bersiap-siap untuk memperhatikan sekeliling. Pertama, sikap waspada (bukan paranoid atau ketakutan) memang sangat diperlukan jika pulang lewat tengah malam. Kedua, saya mencari hal-hal menarik yang bisa saya perhatikan.

Dari arah Grogol saya menuju Senen menggunakan angkot mobil Colt L300. Dalam angkot itu hanya ada saya, 2 orang yang wajahnya tidak terlalu jelas karena gelap dan, tentu saja, Pak Sopir yang sedang bekerja. Pak Sopir diam saja karena di depan tidak ada teman mengobrol. Saya juga diam karena takut disangka gila jika ngobrol sendiri. Jadi, praktis yang berbicara hanya 2 orang yang duduk berjarak 1 bangku di belakang saya. Suara mereka tidak terlalu jelas karena deru suara mesin yang luar biasa keras. Namun saya tahu mereka pasangan karena suara mereka terdengar penuh cinta (seperti apa suara yang penuh cinta, ya?). Suara mereka terdengar saling merayu dan merajuk-rajuk. Saya sampai tidak berani menengok ke belakang. Hmmm…

Akhirnya, kami tiba di senen. Kami semua (tidak termasuk sopir) pun turun. Hmmm… ternyata 2 orang yang tadi di belakang saya keduanya wanita. Salah satunya memang memiliki profil mirip laki-laki dengan rambut cepak ala anggota duo terkenal itu. Benarkah dia perempuan? Atau…? Ah, bukan urusan saya juga. Waktu terlalu singkat untuk bisa memastikan. Mereka berjalan masuk ke dalam terminal dan saya berjalan lurus menuju arah jalan Letjend. Soeprapto.

Jika orangtua saya melihat kejadian ini, mereka pasti geleng-geleng kepala. Di jamannya, mereka tidak akan pernah menemukan hal-hal seperti itu, apalagi di depan umum. Dan sekarang, meskipun tidak secara terbuka dinyatakan, namun sudah menjadi hal yang dimaklumi bila pasangan sesama jenis muncul di areal publik. Dunia memang berubah. Manusia berubah dan melakukan perubahan.

Bicara masalah perubahan. Apalah yang tidak berubah? Ada yang bilang, satu-satunya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Dan sepertinya perubahan yang terjadi di Jakarta berjalan dengan cukup cepat, membuat gap antar generasi jadi cukup signifikan.

***

Perjalanan saya pun berlanjut.

Ada beberapa pilihan kendaraan umum untuk menuju ke arah Pulogadung dari Senen. Yang harus diingat adalah jangan menunggu di dalam terminal Bus Senen. Jika anda ingin menuju ke arah Pulogadung, Kelapa Gading atau Cempaka Putih, anda sebaiknya menunggu kendaraan umum di Jalan Kramat Bunder arah Letjend Soeprapto. Dari sana ada 2 pilihan kendaraan selain taksi, ojek atau bajaj, yaitu angkot setan M12 atau Bus 507 (jika tengah malam, semua bus yang ngetem di tempat itu selalu menuju arah Pulogadung berapa pun nomernya).

Saya menunggu sambil duduk-duduk di trotoar. Agak jauh dari saya, terlihat 2 orang ibu dengan barang belanjaannya. Agaknya mereka baru saja berbelanja di Pasar Kue Subuh. Dari penampilannya, mereka memang pedagang kue. Jadi, mereka membeli kue di Pasar Kue Subuh dengan harga yang lebih murah untuk dijual lagi.

Saya menunggu agak lama, karena sekarang sudah pukul 3 pagi. Kendaraan umum lebih jarang lewat. M12 pun kadang sudah hilang dari peredaran pada jam-jam sekian. Mata saya sudah mulai minta diajak tidur. Untunglah, akhirnya muncul juga Bus 507 (jurusan Tanah Abang-Pulogadung) memutar di depan bioskop Mulia Agung untuk berbalik ke arah Pulogadung.

Saya dan 2 ibu tadi segera naik ke atas bis. Saya duduk di bangku deret dua yang ada di sebelah kiri paling depan. 2 ibu tadi duduk di deret sebelah kanan. Tak lama, tanpa menunggu penuh (karena rasanya bus yang ngetem jam 3 pagi tidak mungkin penuh) bus berangkat. Suaranya menderu-deru keras. Polusi suara tidak hanya mengesalkan orang-orang di luar bus, pun bisa merusak pendengaran orang yang ada di dalamnya. Semoga sih gangguan pendengaran ini hanya terjadi temporer saja.

Soalnya, secara temporer hobi saya menguping tidak bisa berjalan lancar sepanjang perjalanan dengan bus yang sedang saya tumpangi ini. Suara bus luar biasa menganggu. Mungkin, orang-orang Jakarta sudah terbiasa dengan polusi suara. Manusia beradaptasi. Dan saya berharap supaya bentuk adaptasi itu tidak dengan cara membuat telinga jadi budeg.

Berikut cuplikan dari pembicaran 2 ibu di sebelah saya, tentu saja dengan sedikit dramatisasi :

SFX : (Brrruuuummmmm….. Suara deru mesin bus yang luar biasa keras, terutama saat sopir mengganti gigi. Dari gigi susu ke gigi tetap. Rasanya ingin saya ganti dengan gigi palsu saja.)

Ibu 1 :  Blukutuk bluktuktutuuk blukutuk….

Ibu 2 : Bleketekbleketekbleketekekekeke…

SFX : (Suara klakson bus yang seperti bunyi klakson kapal)

Ibu 1 : Bleketekketekeblekek

Ibu 2 : Blukututuktuktblukutuk…

Saya putus asa. Saya tidak bisa mengerti pembicaraan mereka sedikit pun meski mereka berbicara dengan suara yang cukup keras. Pertama, tentu saja karena polusi suara yang menganggu. Kedua, karena mereka menggunakan bahasa Jawa yang hampir 100% tidak saya kuasai sama sekali. Perbendaharaan kosa-kata bahasa Jawa saya dapat dikategorikan lumayan parah. Jika yang menilai adalah Professor McGonagall (dari Harry Potter) saya akan mendapat nilai D (Dreadful) cenderung T (Troll). Saya tolol maksimal untuk urusan bahasa Jawa. Padahal secara genetis, saya murni orang Jawa. Waduh, ini harus tes DNA dulu, ya? Pokoknya, darah Jawa yang mengalir di tubuh saya jauh lebih dominan dibanding darah jenis lain.

Saya jadi ingat kejadian 3 hari sebelumnya. Ayah saya berbicara dalam bahasa Jawa. Sebenarnya bukan kepada saya, melainkan dia membaca sms yang dikirimkan oleh seseorang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa halus. Bukan karena saya tahu, melainkan karena ayah saya mengucapkannya dengan halus. Ok, saya tidak tahu itu bahasa Jawa bagian mana, yang jelas terdengar berbeda sekali dengan yang digunakan oleh 2 ibu dalam bus tadi. Sayangnya, di telinga saya perbedaannya tidak terlalu jelas.

Ayah Saya : Wasweswoswasweswos…

Saya : (pura-pura tidak mendengar sambil terus sok sibuk mengetik sms padahal sedang main game)

Ayah Saya : Wasweswoswasweswos…. Gimana?

Saya : (Pasang tampang pura-pura bingung, padahal memang bingung) Hah?

Ayah Saya : Kamu ngerti nggak barusan bapak ngomong apa?

Saya : (masih pura-pura bingung, tapi kali ini plus pura-pura budeg) Kenapa, Pak? (Saya memanggil ayah saya dengan panggilan ‘Bapak’ dan ibu saya dengan ‘Mama’)

Ayah Saya : Kamu ngerti barusan Bapak ngomong apa?

Saya : (menggeleng terus pura-pura sibuk mengetik sms lagi padahal sedang main game)

Ayah Saya : Waduh, kamu harus belajar bahasa Jawa…

Saya : (dalam hati) hah?

Apakah ini pertanda bahwa ke-Jawa-an saya sudah hilang? Nyaris tidak ada lagi yang tertinggal dari ke-Jawa-an yang diturunkan oleh kedua orang tua saya. Masakan Jawa sebagian besar cenderung manis, saya tidak suka manis dan lebih suka pedas. Orang jawa cenderung berbicara dengan halus, mulut saya kadang seperti tidak makan sekolahan. Orang Jawa cenderung komunal, saya punya kecenderungan individual. Dan pertanda paling parah adalah bahasa. Saya lebih menguasai bahasa Inggris dibanding bahasa Jawa. Jangan coba-coba berbicara bahasa Jawa dengan saya, karena jawaban yang anda akan dapat hanya senyuman manis saya saja. Menurut saya, senyum dan cinta adalah bahasa universal. Tidak memecahkan masalah? Yap!

Untuk urusan bahasa Jawa saya memang tidak punya pemecahannya. Selama ini memang saya tidak merasa bahwa ada permasalahan dengan hal itu.  Namun, dengan terganggunya aktifitas menguping saya di kendaraan umum, mendadak saya jadi berpikir. Sudah begitu jauhkah saya dari akar nenek moyang saya? Saya tidak tahu apa-apa tentang Jawa, Bahasa Jawa, apalagi budayanya. Secara etnis saya merasa ‘murtad’.

Memang benar, dalam dunia yang demokratis ini kita tidak boleh membeda-bedakan. Segala sesuatu harus diperlakukan dengan adil. Tapi, pada saat saya merasa bahwa identitas etnis saya hilang, itu adalah hal yang berbeda. Saya merasa bahwa saya orang Indonesia, TOK! Lebih tepatnya orang Jakarta. Masalahnya, ras Jakarta itu tidak ada, kan?

Entahlah, ini positif atau negatif. Positifnya adalah saya jadi tidak pernah membedakan identitas ras, etnis atau genetis orang lain. Sumatera, Jawa, Kalimantan, China, Bule, Negro atau apapun, sama saja di mata saya. Negatifnya, saya jadi agak bingung, masih Jawa-kah saya?

Yang lebih parahnya adalah jika (kelak) saya punya anak, dia orang mana? Selain faktor-faktor genetis, dia tidak akan membawa sedikitpun identitas ke-Jawa-an.  Lhawong, saya yang memiliki orangtua masih dekat dengan budaya Jawa saja jadi begini. Bagaimana anak saya nanti yang orang tuanya hampir-hampir tidak tahu apa itu jadi orang Jawa? Jadi, saya mulai berpikir, mumpung saya saat ini belum menikah, perlukah sebelumnya saya mempelajari akar budaya saya?

***

Dari Samovar, et.al (2007) dalam Communication Between Cultures “racial identity is commonly associated with external physical traits such as skin color, hair texture, facial appearance, or aye shape” (hal. 113). Jadi, identitas rasial anak saya kelak pada dasarnya tidak akan berubah selama saya masih menikah dengan orang yang memiliki identitas rasial sama alias sama-sama Jawa totok. Namun, berhubung bagi saya identitas rasial itu hampir-hampir tidak penting, saya jadi merasa tidak ada perlunya juga mempertahankan identitas rasial saya yang memang terkait dengan hal-hal yang berbau fisik. Lagipula, kalaupun saya punya anak, saya ingin juga lah memperbaiki kualitas keturunan. Minimal ya.. nggak terlalu ancur-ancur amat seperti saya. Hehehehe… Masalah apakah ia (kelak) secara genetis orang Jawa atau bukan Jawa, sama sekali bukan hal yang penting untuk saya.

Yang sekarang saya pikirkan adalah mengenai identitas etnisnya. Dari buku yang sama “Ethnicity or ethnic identity is derived from a sense of shared heritage, history, traditions, values, similar behaviors, area of origin, and in some instances, language” (hal.113). Bukannya saya ingin anak saya jadi orang Jawa, namun saya merasa bahwa cukup penting bagi setiap orang untuk memahami akar budayanya sendiri. Bukan permasalahan Jawa-nya, melainkan bagaimana seorang anak memahami dirinya sendiri karena pemahaman terhadap diri sendiri adalah kunci penting untuk memahami orang lain.

Saat ini yang tertinggal dari ke-Jawa-an saya hanyalah identitas rasial semata yaitu ciri-ciri fisik yang secara herediter memang diturunkan lewat gen orang tua saya. Yang, toh, agak-agak nyaru dengan hampir semua ras di Jawa, Bali dan Sumatera. Dengan sekilas pandang agak sulit dibedakan (minimal oleh bule). Sementara, identitas etnis saya hampir-hampir hilang sama sekali. Saya tidak memiliki warisan ke-Jawa-an, tidak memahami sejarahnya, tidak menjalankan tradisinya, nilai-nilai saya lebih dipengaruhi nilai-nilai modern (atau barat?), perilaku saya tidak terlalu jawa-jawa amat, tidak lahir di daerah asal orangtua saya, dan yang paling parah adalah bahasa. Saya sama sekali tidak dapat berkomunikasi aktif maupun pasif dalam bahasa Jawa.  Identitas etnis saya nyaris hilang.

Apakah ini sebuah permasalahan?

***

Jika ditanya apakah identitas etnis adalah hal yang penting atau tidak, jujur saja saya agak bingung. Karena menurut saya nilai-nilai kebaikan universal adalah hal yang lebih utama, entah etnis apapun yang membawa nilai-nilai kebaikan itu. Dalam sebuah prasangka baik, saya menganggap bahwa semua budaya (etnis) secara universal akan mengarahkan anggotanya untuk berbuat kebaikan karena aturan-aturan budaya pada dasarnya menginginkan keteraturan sesuai dengan nilai dan ukurannya masing-masing. Budaya (etnis) akan mengikat anggota-anggotanya untuk memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai tangible maupun intagible sehingga menjadi sebuah sistem yang bergerak sesuai dengan yang diinginkan oleh suatu masyarakat tertentu.

Bagaimana dengan saya?

Di Jakarta, sebuah kota metropolitan dimana orang-orang di dalamnya cenderung tumbuh menjadi karakter individual, hampir-hampir norma budaya menjadi hal yang sangat plastis. Dilaksanakan terserah, tidak pun tidak akan ada yang protes. Norma hukum lah yang (seharusnya) banyak berperan. Dalam hal ini adalah hukum-hukum positif yang ditulis melalui UUD dan segala jenis aturan yang berada di bawahnya. Akhirnya, mungkin saja hal ini bukan cuma saya yang mengalami, melainkan juga dialami oleh orang-orang yang hidup di kota-kota besar terutama di Jakarta atau kota metropolitan lain yang cenderung tidak terikat oleh budaya tertentu.

Saya berandai-andai. Apa yang akan terjadi dalam 10, 50, 100 atau 200 tahun lagi? Mungkin, pada masa itu tingkat kesamaan budaya orang-orang Indonesia akan semakin besar. Mengapa? Akan semakin banyak ciri-ciri etnis yang hilang atau punah, salah satunya adalah bahasa. Pada tahun 2009, tercatat 147 bahasa di Indonesia terancam kehabisan penuturnya alias tidak ada lagi yang menggunakan bahasa tersebut karena generasi mudanya tidak lagi menggunakan bahasa itu. Bukan cuma itu, hasil-hasil budaya pun banyak yang terancam keberadaannya, seperti tarian, lagu, ritual, makanan, tekstil dan sebagainya, karena tidak ada lagi yang menguasainya. Apalagi untuk warisan budaya yang bersifat intangible seperti norma dan nilai-nilai. Kepunahannya bahkan bisa tak terdeteksi karena norma dan nilai-nilai bukanlah warisan budaya berbentuk artefak yang bisa disimpan di museum. Nilai-nilai masyarakat bertahan secara turun-temurun melalui pendidikan dalam keluarga. Padahal, generasi muda saat ini sudah semakin jauh dari nilai-nilai itu. Lantas, apakah semua itu akan dibiarkan hilang?

Menurut saya, budaya bukanlah hal yang bisa begitu saja dipelajari dari literatur atau buku-buku saja. Mempertahankan suatu kebudayaan membutuhkan orang-orang yang memang hidup dengan menggunakan budaya tersebut. Jadi, mengutip kata-kata Bapak saya “Waduh, kamu harus belajar bahasa Jawa…”, adalah hal yang cukup membingungkan untuk saya. Bagaimana mungkin saya bisa bahasa Jawa sementara saya hidup di lingkungan yang tidak berbahasa Jawa dan tidak menggunakan bahasa Jawa? Kalau pun toh kelak saya bisa berbahasa Jawa, bagaimana dengan nilai-nilai ke-Jawa-an yang tidak bisa dipelajari selain dengan cara live-in dalam budaya Jawa?

Ini baru apa yang saya alami sendiri mengenai budaya Jawa yang sampai saat ini masih cukup banyak anggotanya. Bagaimana dengan budaya lain yang anggotanya sedikit? Tidakkah kepunahannya menjadi begitu dekat? Jika jumlah orang-orang seperti saya menjadi begitu banyak, bukankah lama-kelamaan kita menjadi sebuah bangsa yang tidak memiliki identitas? Ataukah akan terbentuk sebuah identitas baru? Wallahualam, saya tidak tahu.

Jakarta, 17/11/10

*gambar saya ambil dari http://oblomania.student.umm.ac.id

** Omong-omong, saya baru ingat bahwa ada satu hal yang cukup saya ketahui tentang budaya Jawa yaitu Wayang. Hal ini karena Ayah saya sangat menyukai cerita wayang yang secara tidak sengaja diwariskan kepada saya. Ayah saya memiliki banyak buku mengenai wayang dan yang paling saya ingat adalah komik wayang yang dibuat oleh R.A. Kosasih. Ini juga yang menyebabkan saya diberi nama ‘Wisnu’.

Busway ‘Setan’

Sudah biasa, dong, membaca tulisan saya tentang angkot setan? Alias angkot yang beroperasi tengah malam. Angkot yang sering saya tumpangi sehabis ‘keluyuran’ untuk membawa saya kembali ke rumah.

Mendadak, hari ini (hmmm… ini hari apa, ya? Mungkin lebih tepat 2 hari ini, yaitu antara hari Senin tanggal 25 dengan hari Selasa tanggal 26 oktober 2010) pukul 12 tengah malam saya melihat Transjakarta Busway masih beroperasi pada tengah malam. Padahal, biasanya jam 10 malam saja batang hidungnya sudah tak tampak. Pertama, karena busway memang tidak punya hidung. Dan yang kedua, jam operasional busway memang hanya antara jam 5 pagi hingga jam 10 malam. Untuk hal ini, manajemen busway lumayan disiplin. Jangan berharap anda akan mendapatkan busway lewat di jam itu terutama di halte-halte terminal dan transit seperti di Kota, Blok M, Harmoni, Dukuh Atas, Pulogadung, dan sebagainya.

Jadi, munculnya BUSWAY SETAN adalah hal yang luar biasa. Uniknya, ternyata hal yang luar biasa tidak selalu dipicu oleh hal yang luar biasa pula. Terkadang, hal luar biasa terjadi karena hal yang biasa terjadi. Di jakarta, apalagi sih hal luar biasa yang kini jadi sangat biasa? Apalagi kalau bukan MACET dan BANJIR. Dan seperti biasa, kambing hitamnya adalah Cuaca.

Hujan deras yang mengguyur jakarta sejak kurang lebih jam 3 sore hingga pukul 7 malam membuat Jakarta dilanda banjir yang mengakibatkan efek ikutan macet total dimana-mana. Busway yang juga menggunakan lajur jalan raya yang sama tentu saja kena akibatnya. Penumpang harus rela menunggu cukup lama dan ’empet-empetan’ dalam halte yang sempit dan kadang bocor karena busway yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang akibat terhalang macet. Bagaimana tidak terhalang? Setengah bagian jalan tergenang banjir yang membuat mobil dan kendaraan lain hanya bisa menggunakan setengah bagian lainnya. Paling tidak, ini yang saya lihat di Jalan Thamrin dan Sudirman yang merupakan jalan kebanggaan Jakarta. Akibatnya, Transjakarta Busway yang biasanya hanya beroperasi hingga jam 10, terpaksa memperpanjang masa kerjanya hingga lewat tengah malam untuk melayani penumpang yang terhambat akibat macet dan banjir. Salut untuk seluruh karyawan Transjakarta Busway yang bersedia melakukannya.

Macet memang sudah jadi makanan sehari-hari orang Jakarta. Jangankan di saat banjir, tidak banjir saja Jakarta macet. Pada saat banjir begini, Jakarta bukan cuma dilanda macet melainkan parkir total di tengah jalan. Teman saya mengalaminya di Pancoran, sementara yang lain juga di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Mereka punya kesempatan untuk ‘istirahat’ di tengah jalan dengan mematikan mesin kendaraan mereka karena lalu lintas benar-benar tidak bergerak. Di saat seperti ini, parkir di tengah jalan raya adalah hal yang boleh, sah dan tidak melanggar hukum. Kalau perlu, turun dari kendaraan dan berjalan-jalan. Aneh? Iya. Mengesalkan? Iya. Luar biasa? Tidak. Ini biasa saja. Seperti yang saya bilang tadi, hal-hal yang seharusnya luar biasa dan aneh sudah jadi hal biasa saja di Jakarta. Karena, toh, dari dulu ya begini-begini saja.

Tidak salah, kan, kalau saya mengganggap hal ini biasa saja? Karena ternyata kondisi ini seperti dibiarkan berlarut-larut. Entah karena dibiarkan atau karena pihak yang seharusnya menangani hal ini tidak mampu mengatasinya.

Analoginya begini. Rumah anda bocor jika hujan. Tapi, karena seringnya hujan dan atap bocor, anda jadi terbiasa. Ya sudah. Karena sudah terbiasa, biarpun bocor anda tetap bisa tidur. Kalau sudah begini, untuk apa atapnya diperbaiki? Toh, anda sudah biasa tidur kehujanan.

Ironis? Ya, sangat ironis. Bagaimana tidak ironis? Saya yakin, kita semua tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini. Tapi, kita seperti diletakkan di situasi yang tidak ada pilihan. Hidup kita harus terus berjalan. Kita semua tetap harus bekerja, berdagang, sekolah, kuliah  atau melakukan aktifitas lainnya. Macet dan Banjir tidak bisa dijadikan alasan untuk berhenti melakukan aktifitas karena kita semua juga tahu bahwa ‘life must go on‘. Artinya, Kita harus terus melakukan kegiatan sehari-hari dengan banjir dan macet sebagai bagian dari kehidupan kita.

Saya dan sebagian besar penduduk Jakarta hanyalah orang-orang tidak bisa melakukan apapun kecuali menjalani hidup kita masing-masing dan mengeluh seandainya ada yang menganggu aktifitas kita, salah duanya banjir dan macet tadi. Dan saya rasa, tuntutan kita sederhana saja, bukan? Kita butuh situasi dimana aktifitas kita tidak terganggu oleh hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan aktifitas kita. Lucunya, saat ini, untuk menjalani aktifitas kita dengan sukses kita harus sangat mempertimbangkan macet dan banjir yang sebenarnya tidak ada kaitan langsungnya dengan aktifitas kita. Namun, karena permasalahan banjir dan macet ini tidak pernah tuntas terpecahkan (bahkan jadi makin parah), mau tidak mau hubungan kesuksesan dengan macet dan banjir jadi makin akrab.

Salahkah kita menuntut? Saya rasa tidak. Bukankah di dunia demokrasi, kita memang tidak boleh mengambil keputusan sendiri? Semua hal yang menyangkut kepentingan publik harus diwakilkan kepada yang berwenang. Itu gunanya kita mencoblos saat pemilu atau pemilukada, kan? Untuk menyerahkan hak suara (yang artinya wewenang) kepada seseorang atau pihak yang kita percaya. Jadi, langsung atau tidak langsung, dalam seluruh mekanisme ini, kita (warga Jakarta) punya andil yang sama dalam menciptakan situasi kacau ini. Kita yang memilih siapapun yang duduk sebagai pengambil keputusan. Jika kacau, bisakah kita lepas tangan begitu saja? Bukankah kita yang memilih mereka?

Dengan situasi yang seperti benang kusut tanpa ujung ini, kerap kita merasa skeptis. Rasanya percuma bicara apapun, karena toh sekeras apapun kita bicara tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Kemacetan dan banjir seperti masalah yang tidak akan terurai. Memilih salah. Golput pun kita tetap kena akibatnya. Maju kena mundur kena.

Saya jadi ingat masa-masa kampanye dulu. Salah dua yang saya dengar adalah bahwa sang calon cukup ahli untuk mengurai permasalahan banjir dan macet. Itu 3 tahun lalu (tahun 2007). Sekarang sudah tahun 2010. Permasalahan belum terlihat titik terangnya padahal masa jabatan pemerintah daerah DKI tinggal 2 tahun lagi. Apakah permasalahan Jakarta terlalu rumit untuk dicari titik terangnya dalam 3 tahun terakhir ini? Apakah harus diperpanjang lagi untuk memberikan waktu yang cukup?

Jujur, dulu saya sempat bertanya-tanya plus penasaran. Jika benar memang beliau seahli itu, mengapa solusi-solusi permasalahan macet dan banjir juga tidak terlihat di masa beliau masih menjadi wakil? Bukankah dalam kampanyenya dulu, pengalaman beliau dalam jajaran pemprov DKI juga ‘dijual’? Dan dengan alasan itulah (mungkin) sebagian warga Jakarta mempercayakan beliau untuk menjadi pemimpin kita. Sosok yang dimandati untuk mewakili wewenang seperti yang dipersyarakatkan oleh sistem demokrasi.

Saya percaya bahwa kini beliau sedang berusaha keras. Namun, kenyataan bahwa aktifitas saya (dan mungkin banyak warga Jakarta lain) sangat terganggu oleh permasalahan macet dan banjir adalah hal yang juga tidak dapat dipungkiri. Janji beliau mungkin sulit untuk ditepati dengan cepat (karena berbagai kesulitan dan kendala) namun kerugian saya (dan banyak warga Jakarta) juga terus bertambah karena janji-janji itu belum selesai ditepati hingga sekarang. Apakah yang bisa saya lakukan sekarang hanya bersabar? Dan (sayangnya) hal yang saya sering lihat dari aktifitas beliau adalah seremonial peresmian dan foto-foto (karena sosok beliau seringkali saya lihat di baliho-baliho di seputar Jakarta). Mungkin beliau bercita-cita menjadi model. Saya tidak tahu.

Yang saya tahu adalah aktifitas public relations paling efektif untuk beliau adalah : tunjukkan bahwa permasalahan banjir dan macet ini memang ada solusinya. Bukan dengan janji tambahan, melainkan dengan berkurangnya frekuensi banjir dan macet yang terjadi (jika memang tidak mungkin selesai sekaligus). Misalnya, jika saat ini macet terjadi 6 hari seminggu, kurangi macet hingga 5 hari seminggu. Atau jika sekarang macet bisa terjadi pagi-siang-sore-malam, besok-besok macet hanya terjadi pagi-siang-sore saja. Hal itu sudah cukup menyenangkan.

Sebenarnya, banyak yang ingin saya tanyakan karena saya tidak ingin mempersalahkan siapa-siapa. Mungkin saya juga salah. Mungkin kita semua punya andil kesalahan. Tapi, bagaimanapun mandatnya sudah ada di tangan beliau. Saya (dan hampir seluruh warga Jakarta) tidak punya legitimasi untuk mengambil sikap kecuali hal-hal yang terkait pribadi saya sendiri. Saya sudah mempercayakan beliau untuk mengatur sebagian aspek hidup saya. Minimal, untuk membebaskan saya pada rasa takut terhadap macet dan banjir.

Well, katakan bahwa saya warga yang egois. Saya akan membiarkan saja pemprov mencari solusi, karena memang itu tugas mereka, kan?

Ingat, saya (dan warga Jakarta lainnya) sudah memberikan legitimasi pada pemprov yang menjabat saat ini untuk berbuat sesuatu. Yang bisa saya (dan warga Jakarta lain) lakukan adalah mengubah pola-pola hidup pribadi saya, seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengendarai kendaraan yang hanya berisi 1 orang (padahal berkapasitas 8 orang), selalu menggunakan kendaraan umum, dan sebagainya. Masalah membersihkan gorong-gorong, penambahan jumlah armada busway, perijinan gedung, dan sebagainya adalah tugas pemprov (atau lembaga lain yang terkait). Saya (dan warga Jakarta lain) wajib untuk menjaga kebersihan, tapi bagaimana kebijakan penanganan sampah dilakukan adalah tugas pemerintah. Saya berusaha jadi warga yang baik, tapi pliiiissss jadilah pemerintah yang baik. Minimal yang sadar dan melakukan tindakan untuk menyelesaikan masalah sehingga masalah kami sebagai warga Jakarta terselesaikan. (Tindakan ini tidak termasuk evakuasi warga setelah banjir merendam rumah sampai ke atap. Ini adalah tindakan kemanusiaan yang memang wajib dilakukan. Pemprov seharusnya juga berpikir dan mencari solusi bagaimana caranya supaya banjir tidak sampai ke atap).

Saya senang jika benar ada Busway ‘Setan’ sehingga perjalanan pulang tengah malam saya lebih nyaman. Namun, jika Busway ‘Setan’ itu hanya keluar saat banjir dan macet total dimana-mana. Kok, rasanya aneh ya?

26/10/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

* gambar saya ambil di http://wiryanto.files.wordpress.com

Menguping dalam Angkot, Ngeri…

Cinta satu malam,

Oh, indahnya…

Cinta satu malam,

Buatku melayang…

Walau satu malam,

akan s’lalu kukenang dalam hidupku…

Saya bukan orang yang senang menguping pembicaraan orang. Apalagi orang yang tidak saya kenal. Seharusnya dengan kerasnya suara speaker yang meledakkan lagu itu, saya tidak akan bisa menguping. Namun, musik hiper keras itu ternyata tidak menghalangi sopir angkot yang saya tumpangi untuk mengobrol dengan temannya yang ternyata sesama sopir angkot. Dengan suara yang tak kalah kerasnya mereka mengobrol, mencoba mengalahkan suara speaker.

Waktu itu 15 menit lewat dari pukul 12 malam. Saya menumpangi angkot bernomor M12 (ditambah 4 lagi berubah jadi senapan) jurusan Senen-Kota yang di atas jam 10 malam berganti trayek menjadi Senen-Pulogadung. Di tengah malam, adalah hal yang biasa bagi para supir angkot untuk mengubah trayeknya, mencari rejeki tambahan di jalur-jalur yang cukup banyak penumpangnya, yaitu orang-orang seperti saya, yang menggunakan jasa angkot tengah malam untuk kembali ke rumah.

Di kawasan Senen yang katanya rawan, jangan menunggu kendaraan di sembarang tempat. Apalagi, di tempat yang terlalu sepi. Ini adalah tindakan antisipasi agar tidak menjadi korban kejahatan. Jika pulang larut malam, saya biasa naik angkot dari pertigaan lampu merah di sebelah timur (atau barat? Ah, saya kurang ahli mengingat arah) pasar senen, di pinggir sebuah taman yang ada tugu pejuangnya. Di pertigaan itu terdapat tempat para tukang ojek mangkal yang sekaligus menjadi lokasi M12 ngetem menunggu penumpang. Jadi, di lokasi itu ada cukup banyak orang.

Saya naik angkot M12 tadi, setelah sebelumnya naik angkot setan dari arah harmoni. Penumpangnya baru 3 orang termasuk saya. Diiringi lagu disko koplo (ini sebutan saya saja. Dulu, waktu masih kerja di radio, bos saya menyebut aliran ini sebagai disko mrenges!), saya duduk. Menunggu penumpang lain masuk.

Tak lama, setelah 5 orang penumpang masuk, naiklah sang sopir dan temannya. Angkot ngetem lagi, tapi tidak kunjung ada yang naik.  Kapasitas penumpang adalah 10 orang duduk di belakang. Namun, baru setengahnya terisi, sopir telah memutuskan berangkat. Mungkin ia bosan menunggu. Lagu pun berganti, meski alirannya masih sama.

Dasar, kau keong racun!

Baru kenal, eh, ngajak tidur…

Volumenya masih sama, keras luar biasa dengan ukuran treble dan bass overdosis yang bisa membuat sakit telinga dan sakit hati. Tanpa berusaha mengecilkannya, obrolan sopir dan temannya itu terus berlanjut. Mereka berbicara dengan agak berteriak-teriak, membuat saya tidak punya pilihan lain kecuali mendengarkan karena saya duduk tepat di belakang mereka.

Teman sopir: Gua sih pura-pura diem aja! (memasang tampang sok jagoan) Dia nggak tau aja kalo gua sopir lama! Dia kira gua baru narik di sini?

Sopir: Trus?

Teman sopir: Gue injek, mampus tuh orang! Kagak tau dia siapa yang megang daerah ‘ni?!

Sopir: Trus?

Teman sopir: Sopir ojek pendatang aja b’lagu! Liat aja siapa yang berkuasa!

Sopir: Trus?

Teman sopir: blablabla… (obrolan berlanjut dengan topik yang belum berubah hingga saya turun)

Ada 2 hal tidak penting yang saya perhatikan. Pertama, jangan-jangan si sopir tidak bisa berbahasa Indonesia. Karena, ia hanya terus mengatakan “trus?” Atau ia memang tidak punya perbendaharaan kata yang lain?

Kedua, Wow! Mikrolet itu menggunakan CD player yang berpengendali jarak jauh alias remote control. Belum lagi dengan speaker yang suaranya bisa membahana kemana-mana. Resikonya, sopir atau keneknya bisa gonta-ganti lagu seenaknya. ‘Keong Racun’ dan ‘Cinta Satu Malam’ diputar terus bergantian tanpa henti, membuat hati deg-degan terutama mereka yang duduk dekat speaker dan merasakan getarannya menggoncang-goncang dada.

Namun, ada beberapa hal yang saya simpulkan dari obrolan singkat mereka. Pertama, untuk urusan musik memang ada kecenderungan ‘ogah mikir‘. Lagu-lagu yang ringan, lirik yang menggelitik dan bisa didengar seketika dengan cepat akan menjadi tren. Menjamur karena orang indonesia begitu mudahnya dimakan tren. Mungkin, hal itu karena budaya ‘ogah mikir‘ sudah begitu mengakar.

Yang membuat saya prihatin adalah ternyata budaya ‘ogah mikir‘ juga digunakan untuk menyelesaikan masalah. Akibatnya seringkali masalah yang besar dianggap remeh dan masalah remeh berubah jadi besar.

Saya tidak terbayang seandainya masalah sikap yang kurang mengenakkan 1 orang berubah jadi perkelahian masal antara tukang ojek dan sopir angkot. Apa jadinya jika hanya karena ‘ogah mikir‘ permasalahan yang sebenarnya cukup dibicarakan berdua diselesaikan dengan cara main ‘injek‘? Belum lagi dengan budaya komunal yang sangat kental di Indonesia yang kadang menyeberang ke areal pribadi. Menyinggung perasaan 1 orang sama dengan menyinggung komunitasnya. Jika begini, betapa mudahnya bara api kecil berubah jadi kebakaran besar.

Saya tidak menyarankan agar kita jadi individualis. Tapi, kita juga harus meletakkan suatu masalah pada tempatnya. Tidak perlu menyelesaikan masalah pribadi di areal publik. Jangan menggunakan kebersamaan sebagai alasan keributan massal yang sangat rentan berubah menjadi isu kelompok, golongan, suku, ras atau agama.

Bayangkan jika sopir angkot tadi benar-benar meng’injek‘ si tukang ojek. Akankah keributan mereka berdua akan tetap jadi milik mereka berdua? Belum lagi si sopir angkot yang belum apa-apa sudah mengangkat isu ‘pendatang’ dan ‘bukan pendatang’. Saya tidak berani membayangkannya. Bisa-bisa hukum rimbalah yang terjadi. Yang kuat menghancurkan yang lemah. Dan, itulah yang sering saya lihat dari tayangan-tayangan TV. Sebuah kelompok berkelahi dengan kelompok lain untuk membuktikan siapa yang lebih kuat, berusaha saling menghancurkan. Berusaha untuk jadi pemenang dengan mengalahkan kelompok lain. Apakah satu-satunya cara untuk menang adalah dengan mengalahkan? Atau yang lebih parah, menghancurkan?

Pertanyaannya adalah apakah kerusuhan-kerusuhan yang terjadi akhir-akhir ini hanya sekadar tren ataukan memang bagian dari budaya kita? Inikah yang diajarkan budaya kita tentang cara menyelesaikan masalah ataukah ini hanya respon dari tekanan hidup yang semakin besar? Butuh penelitian sosiologi yang mendalam mengenai hal ini.

Ataukah karakter bangsa kita memang se-feodal itu hingga masalah siapa yang berkuasa menjadi sangat penting? Sama seperti sopir angkot tadi yang merasa kekuasaannya terusik oleh tukang ojek.

Kedua, kebaikan bersama yang sering didengung-dengungkan di masyarakat komunal kadang berubah jadi kebaikan kelompok atau bahkan pribadi. Dan kebaikan bersama sering dikaitkan dengan kekuasaan dan penguasaan terhadap apa-apa yang menjadi sumber kebaikan tadi. Akibatnya, sering terjadi keributan untuk memperebutkan sumber-sumber ‘kebaikan’ itu. Walhasil, sesuatu yang seharusnya jadi sumber kebaikan bersama berubah jadi sumber malapetaka bersama. Kerap terjadi perebutan daerah kekuasaan sehingga daerah yang seharusnya aman dan menguntungkan berubah menjadi daerah rawan dan mencekam.

Jakarta dan kota-kota sentra bisnis rawan dengan premanisme. Istilah ‘preman berdasi’ menggambarkan bagaimana permasalahan premanisme sudah meresap merata ke semua lini. Premanisme tidak hanya terjadi di daerah gurem, tapi juga duduk nyaman di sofa dalam ruang-ruang ber-AC.

Politik jadi kerap didampingkan dengan premanisme. Beking membeking adalah hal yang biasa terdengar. Yang berkuasa adalah yang punya bekingan atau mereka yang menjadi beking.

Apakah budaya feodal memang sudah semengakar ini? Kekuasaan sudah tidak lagi bertujuan untuk kebaikan bersama, melainkan sebagai sarana menguasai pihak lain, semata-mata untuk kepentingan dan ego kelompok atau golongan tertentu.

Hierarki feodal bahkan seperti hendak didirikan di lapisan akar rumput. Sekelompok masyarakat yang termarjinalkan secara ekonomi berusaha menguasai kelompok lain. Memperebutkan remah-remah pendapatan yang disisakan oleh sekelompok kecil masyarakat menengah atas yang punya akses lebih luas ke sumber-sumber pendapatan. Jujur, ini mengerikan. Ini seperti konspirasi yang mengorbankan rakyat kecil. Sekelompok pemegang kekuasaan politik dan ekonomi terus saja mengambil posisi aman sambil menyaksikan kaum marjinal bertarung dan baku bantai. Mengapa hal-hal seperti ini sering tidak ditangani serius? Masalah sepenting ini dibiarkan selesai sendiri tanpa pernah mengobati asal penyakit yang sebenarnya? Sementara, rakyat kecil terus dibiarkan bertengkar meributkan hal-hal remeh, dan penyebab besarnya tak pernah ditemukan solusinya secara tuntas atau bahkan ditutup-tutupi seakan tidak terjadi apa-apa.

Saya tidak suka menyalahkan siapa-siapa. Tapi siapa lagi yang punya kuasa, akses dan sumberdaya untuk mengurai kekusutan ini selain pemerintah? Rakyat pasti mendukung upaya itu asal ada yang menjamin bahwa proses itu akan berjalan damai dan tertib. Siapa lagi yang bisa memberikan jaminan selain pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang? Rakyat harus menahan diri, tapi pemerintah juga harus bertindak signifikan. Jujur, saya sendiri tidak tahu pasti seperti apa solusi dari kekusutan masalah bangsa ini. Tapi, bukankah itulah gunanya rakyat memberikan legitimasi pada pemerintah? Agar mereka memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan dan solusi terbaik secara terus-menerus. Jangan sampai rakyat saling bantai sambil dijejali lagu Keong Racun.

Dasar, kau keong racun!

Baru kenal, eh, ngajak tidur…

Jakarta, 5/10/1

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

*gambar diambil di http://www.toonpool.com

** Omong-omong, saya tidak tahu, lagu-lagu yang saya dengar di angkot tersebut adalah versi mana dari artis siapa. Yang jelas, alirannya disko remix seperti itu.

Angkoters Di Malam Lebaran 1431 H

Saya ini angkoters. Kemana-mana naik kendaraan umum. Tapi, saya bukan angkoters sejati karena angkot yang pernah saya tumpangi praktis hanya beberapa. Selain angkot setan C01 jurusan Ciledug-Senen (ini yang paling sering), saya hanya sempat naik mikrolet O1 jurusan Senen-Kampung Melayu, KWK 04 jurusan Goro-Kelapa Gading, salah satu angkot yang saya lupa nomornya dari Kota ke Manggadua (yang ini hanya sempat 2 kali saya tumpangi), dan 1-2 angkot yang saya benar-benar lupa. Semuanya jarang-jarang. Selebihnya, saya hanya naik transjakarta busway, ojek, bajaj atau taksi.

Malam ini saya sangat beruntung. Ada sesuatu yang (terpaksa!) harus saya lakukan di malam lebaran. Saya yang sebelumnya tidak berencana keluar rumah, mau tidak mau harus cabut dari rumah. Padahal sebelumnya hujan turun dengan derasnya bak ketombe berguguran dari kepala yang tidak pernah dikeramas. Setelah reda, saya cabut dari rumah dengan gagahnya (ini bahasa lain untuk agak-agak bego karena tidak tahu situasi).

Oh ya, Ada satu hal yang perlu sedikit saya jelaskan tentang diri saya. Saya ini impulsif. Kalau bahasa manusianya “Nekat”! Saya kadang bertindak dulu dan baru berpikir belakangan. (Ini sebenarnya rahasia, karena banyak orang yang menyangka saya pemikir sejati! Dan supaya kelihatan pintar, saya tetap membiarkan mereka berpikir begitu. Hehehe. *senyum licik mode on)

Kenekatan saya itulah yang mendorong saya untuk tetap memilih angkot di malam lebaran ini dan menjadikan diri saya sebagai angkoters sejati. Meskipun, ternyata setelah sampai di tempat pemberhentian, kendaraan umum yang lewat hanya 1-2 biji saja alias jarang. Saya menunggu cukup lama sebelum akhirnya lewat juga sebiji.

Dari daerah kelapa gading tempat rumah saya berada, untuk pertama kalinya saya naik angkot bernomor dada 53. Jujur, saya tidak tahu kemana tujuan angkot ini. Yang saya tahu, moncong angkot ini mengarah ke daerah senen yang jadi tujuan awal saya. Katanya, dari Senen selalu ada kendaraan umum. Yang saya tidak tahu adalah kemanakah tujuan kendaraan umum yang berangkat dari senen itu? Padahal sekarang sudah lewat pukul 9 malam. Tujuan saya adalah ke daerah menteng.

Dengan gagahnya, saya naik angkot itu. Dengan terbatasnya angkot di malam takbiran, angkot segera penuh. Setelah angkot berangkat, baru saya agak ragu. Benarkah angkot ini akan ke Senen? Jadi, bertanyalah saya pada seorang bapak yang duduk di sebelah saya.

Saya: Pak, ini lewat Senen, kan?

Bapak: Nggak, dek… Ini lewat Gani.

Saya: (Diam, kaget bercampur bahagia. Bahagia karena saya dipanggil ‘Adek’. Semuda itukah saya? Kaget karena ‘Apa? Gani? Tempat apa itu?’)

Bapak: (Melihat tampang ‘muda’ saya yang kebingungan) Kemayoran, Dek.

Saya: Hah? Kemayoran? (sekarang ekspresi saya sudah tidak bisa bahagia lagi. Saya panik!)

Bapak: (melihat tampang panik saya) Tapi, lewat galur kok… Turun di situ saja.

Saya: (bisa bernapas lega karena Senen dari arah Galur tinggal lurus saja) Makasih, Pak… (kembali menikmati kege-eran saya karena dianggap ‘adek’. Padahal sih saya tahu bapak itu hanya mencoba sopan)

Tak berapa lama, turunlah saya di Galur yang ternyata a.k.a. Gani. Galur (mungkin) bersaudara dengan dengan Gani.

Setelah turun, saya memandang dengan tatapan menerawang ke arah Senen. Terbersit dalam benak saya. Busyet! Jauh juga! Jika tidak membuat betis bengkak, berjalan kesana cukuplah untuk membuat urat kaki agak keriting. Saya tidak mungkin melawan tren mode rebonding. Saat semua orang sibuk meluruskan rambut untuk menyambut lebaran, bagaimana mungkin saya malah mengeritingnya? Urat kaki pula! Okay, ini sebenarnya hanya alasan saya yang malas berjalan.

Jadi, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan saat mikrolet 01 tujuan Kampung Melayu-Senen lewat. Segera saya hentikan dan naik. Lagi-lagi, dengan gagah bercampur sok tahu.

Saya: Senen, Pak?

Sopir: (agak ragu) Ehmm… Iya, Pak.

Saya: (agak tersinggung karena dipanggil ‘Pak’. Tapi, ya sudahlah. Mungkin benar, tadi saya hanya kege-eran saja)

Sopir: Depan macet. Ada takbiran. Lewat dalem ya, Pak?

Saya: (Aaargh! Jangan panggil saya ‘Pak’. Saya masih suka rasa kege-eran tadi) (dalam hati) Dalem mana? Dalem tanah?

Ibu: (Penumpang lain yang saya rasa adalah cenayang karena dia bisa menjawab pertanyaan yang cuma berbunyi dalam kepala saya) Dalem kampung, dek. Kampung elit. (Dek? Ah, saya kege-eran lagi)

Saya: (sambil mengangguk-angguk sok tahu) Ooh…

Saya berpikir lagi saat angkot berbelok ke arah jalan yang lebih sempit padahal Senen tinggal lurus saja. Kampung elit? Seperti apa, ya?

Omong punya omong, masih ingat kan kalau tadi saya mengatakan bahwa saya beruntung bisa naik angkot di malam lebaran? Inilah sebabnya.

Angkot terus berjalan masuk mengikuti jalan yang lebih sempit. Memasuki areal padat penduduk. Jika sopir tadi bilang bahwa ia memilih jalan dalam untuk menghindari macet, maka ia salah besar. Di jalan-jalan sempit ini macet juga terjadi. Di jalan yang lebarnya tak lebih dari 3 meter ini, mobil harus berbaku potong dengan motor dan orang-orang yang ramai berdiri di pinggir jalan. Ternyata inilah yang dimaksud oleh ibu tadi dengan ‘kampung elit’. Ia hanya berironi.

Inilah kampung dimana warganya tumplek-blek di pinggir jalan untuk menikmati malam lebaran bersama kerabat dan teman-teman mereka. Ramai dan padat luar biasa. Mobil, motor, sepeda, pedagang, pejalan kaki dan sebagainya campur baur seperti cendol. Terakhir bahkan saya melihat metro mini lengkap dengan belasan penumpang nangkring di atasnya. Di tengah jalan sesempit ini ruang kosong jadi sulit ditemukan. Semuanya dimanfaatkan untuk beraktifitas menyambut datangnya Idul Fitri.

Becek-becek sisa hujan tadi sama sekali tidak menghalangi niat mereka untuk menikmati malam ini. Semua rela berdesak-desakan. Ditambah dengan suara-suara takbir dari mushalla kecil di sana, lagu Keong Racun dari speaker pedagang CD bajakan dan sesekali suara petasan yang dengan nekat disulut di tempat sesempit ini, membuat suasana makin hingar-bingar.

Ternyata (ya, ternyata!), angkot yang saya tumpangi berikut saya yang ada di dalamnya, sedang merayap di tengah pasar tradisional yang masih juga buka di pukul 1/2 10 malam ini. Mungkin karena sekarang malam lebaran. Pantas saja saya melihat banyak sekali pedagang di sana-sini.

Dari ibu yang saya tuduh cenayang tadi, saya mengetahui bahwa itu adalah Pasar Galur. Ramainya tidak kalah dengan Mall yang sempat saya kunjungi beberapa hari sebelumnya. Lebih ramai, bahkan. Di sini, semuanya campur aduk. Orang, barang dagangan dan berbagai jenis kendaraan bersenyawa dengan asap knalpot yang terjebak kepadatan dan bunyi klakson yang sahut-menyahut.

Dari balik pintu dan kaca angkot yang saya tumpangi, tampak berbagai jenis kegiatan dilakukan.

Saya bisa lihat beberapa salon kecantikan. Semuanya dipenuhi pelanggan. Beberapa sedang ditangani oleh kapster-kapster di sana. Beberapa tampak menunggu kelanjutan nasib rambut mereka yang masih setengah jadi, tampak krim berwarna putih melumuri kepala atau alumunium foil yang bergelantungan. Persiapan lebaran dengan tatanan rambut baru. Saya menduga, jika sudah hampir jam 10 malam begini salon-salon itu masih dipenuhi pelanggan, artinya bisa jadi memang sudah penuh sejak pagi. Salon-salon itu adalah salon rumahan, tidak akan ditemukan hairdresser jebolan luar negeri seperti yang kerap ditemukan di salon-salon kelas atas Jakarta. Tapi, hal itu tidak menghalangi antusiasme para pelanggan yang ingin tampil cantik untuk esok harinya. Besok Lebaran!

Toko-toko pakaian tampak mendominasi pasar ini. Hilangkan bayangan tentang butik-butik internasional atau department store yang menjual pakaian-pakaian bermerek. Di sini hanya ada toko-toko kecil yang menyusun barang dagangannya secara super rapat dan empet-empetan. Ramai juga. Shalat Idul Fitri yang hanya beberapa jam lagi bukan alasan untuk tidak mempersiapkan baju terbaik. Pelanggan yang sebagian adalah ibu-ibu dan gadis-gadis muda sibuk memilih di sela-sela deretan pakaian yang disusun padat begitu rupa. Bunyi klakson dari pengendara mobil dan motor yang tidak sabar bukan gangguan yang berarti. Pokoknya, besok pakai baju baru. Mungkin begitu pikiran mereka.

Toko-toko yang menjual alas kaki seperti sandal dan sepatu tak kurang jadi sasaran. Sandal dan sepatu dijajakan dengan cara ditumpuk-tumpuk seperti ikan asin. Tetap, semua toko dipenuhi oleh pengunjung.

Ramai bukan buatan. Semua ditelan oleh euforia malam Idul Fitri. Dan entah mengapa, saya juga jadi senang berada di tengah kemacetan ini. Banyak kegembiraan yang tidak tersapu oleh hujan deras sebelumnya. Tampak mereka semua kelihatan saling mengenal, saling sapa dan berbagi kebahagiaan. Sebentar-sebentar saya mendengar seseorang menyapa temannya. Pengendara motor menyapa pejalan kaki. Pejalan kaki menyapa pedagang. Pedagang menyapa pengendara motor. Mereka adalah sebuah komunitas yang jarang saya lihat karena saya tidak mengenal mereka. Inilah budaya komunal masyarakat menengah bawah Jakarta. Budaya yang mensyaratkan perasaan saling berbagi untuk bisa tergabung di dalamnya. Akar dari budaya Indonesia yang mengutamakan kebersamaan.

Di tengah hingar-bingarnya pembangunan di Jakarta yang membentuk generasi Mall dan Department Store, ternyata tidak sepenuhnya bisa menggerus budaya asli yang hidup jauh di bawah relung-relung Jakarta. Di jepit oleh gedung-gedung tinggi Jakarta yang menegaskan tajamnya cakar-cakar westernisasi, masyarakat Jakarta masih menyimpan kekuatan budaya pasar tradisional yang saling mengenal dan mengedepankan keakraban.

Jika budaya mall adalah mahkota gemerlap penghias rambut, maka budaya menengah bawah adalah nadi yang tetap berdenyut di bawah kulit Jakarta yang kini seperti makin renta untuk menanggung bebannya. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma dalam Kepribadian Sandal Jepit (dalam Affair, Obrolan Tentang Jakarta, 2004), saya pikir dalam gedung-gedung pencakar langit masih terselip ribuan atau bahkan jutaan pasang sandal jepit yang tersembunyi di bawah meja.

Mungkin sebagian penduduk Jakarta menolaknya dan menganggap bahwa mereka adalah ‘pantofel’ dan ‘high-heels‘, namun tidak ada yang bisa menolak bahwa sandal jepit masih ada. Dan tidak ada yang salah dengan jadi ‘sandal jepit’. Apalagi jika itu adalah ‘sandal jepit’ yang berpikiran maju dan progresif. Tidak hanya ‘sandal jepit’ berkubang lumpur.

Saya beruntung jadi angkoters di malam lebaran ini.

Jakarta, 9/9/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

*gambar saya ambil di http://satriategar.blogspot.com

Tips Pulang Pagi Buta dengan Kendaraan Umum

Menyusul tulisan saya yang sebelumnya, Cerita Angkot Tengah Malam, saya punya beberapa hal yang biasanya saya lakukan jika pulang malam. Semoga sih berguna:

  • Jangan bayangkan bahwa malam hari sengeri itu, biasa saja. Ada survey yang mengatakan bahwa orang yang terlalu khawatir menjadi korban kejahatan justru lebih banyak menjadi korban kejahatan. Logikanya adalah, karena terlalu takut otomatis sikap kita menjadi canggung. Saat sikap kita terlihat canggung, orang jadi terdorong berniat jahat karena orang yang canggung akan terlihat helpless dan mudah diintimidasi.
  • Hindari tempat-tempat yang katanya rawan dan berbahaya. Kecuali anda peneliti atau merasa diri anda pahlawan super pembasmi kejahatan, anda tidak perlu membuktikan bahwa memang benar tempat yang katanya berbahaya itu sungguh-sungguh berbahaya.
  • Hindari tempat yang terlalu sepi dan terlalu gelap. Tetaplah di jalan utama. Jika harus menunggu kendaraan umum, lakukan di tempat yang cukup terang dan ada orang lain, misalnya di dekat warung atau dekat pangkalan ojek. Jika tujuan anda harus melewati tempat sepi dan gelap, sebaiknya minta diantar atau dijemput saja. Ingat, kejahatan terjadi bukan hanya karena ada orang jahat, melainkan juga karena ada kesempatan. Gunakan teknologi yang bernama handphone untuk minta dijemput. Karena itu selalu isi pulsa HP anda bila sering pulang malam. Untuk apa punya HP kalau tidak ada pulsanya? Hehehehehe…
  • Menyambung tips di atas. Sekalipun anda adalah orang terkaya di dunia, jangan coba-coba menggunakan koleksi perhiasan mahal anda saat berjalan kaki malam hari. Untuk apa juga, kan? Anda mau mejeng di depan tukang ojek? Atau anda memang sedang naksir tukang ojek yang lagi mangkal? Kejahatan datang karena ada kesempatan.
  • Berjalanlah dengan tempo cukup cepat dan meyakinkan. Jangan berjalan terlalu lambat seperti pengantin, tapi jangan juga lari tanpa sebab. Nanti bisa disangka maling. Angkat dagu anda, tapi jangan terlalu tinggi. Bisa-bisa anda disangka sakit leher.  Jangan celingak-celinguk seperti orang bingung. Sekalipun bingung, terus saja berjalan dengan yakin.
  • “Isi” mata anda. Tatap segala sesuatu dengan yakin. Jangan melirik atau mencoba melihat dengan sudut mata. Kalau ada hal yang meragukan atau menarik perhatian anda, tatap secara langsung saja. Atau, jangan sama sekali menengok.
  • Senjata? Hmmm… Saya tidak pernah terpikir untuk membawa senjata.
  • Jangan nekat pulang jika memang tidak ada jalur kendaraan yang lewat. Menginap saja di rumah teman atau kantor anda.
  • Ngapain sih keluyuran malem-malem? Kan enakan tidur saja di rumah…

Semoga bermanfaat bagi anda.

Jakarta, 5/8/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

*gambar saya ambil dari http://taufik79.wordpress.com

Cerita Angkot Tengah Malam

Ada saatnya saya sebal setengah mati pada sopir angkutan umum hingga rasanya ada harapan aduh-kapan-sih-lalu-lintas ini-bisa-bersih-dari-angkot. Namun ternyata ada saatnya juga saya merasa simpati (atau iba?) pada mereka hingga kalau dipikirkan lebih lanjut bisa bikin saya sedih. Kalau anda pengguna kendaraan umum yang beroperasi tengah malam, mungkin anda akan merasakan apa yang saya rasakan.

Saya adalah pengguna angkot tengah malam. Saya cukup sering pulang ke rumah sangat larut atau bahkan lewat jam 12 malam. Hanya cinderella saja yang pulang tepat jam 12 malam. Istilahnya ‘banci aja pulang pagi’. Itulah mengapa cinderella adalah seorang putri cantik. Kalau cinderella pulang pagi, berarti cinderella adalah banci cantik. Iya, kan? Atau banci cantik yang pulang pagi adalah cinderella? Sudahlah…

Untunglah, sejauh ini, saya tidak pernah merasa kalau diri saya banci apalagi sampai merasa jadi cinderella, meskipun saya sering pulang lewat tengah malam bahkan hampir mendekati pagi. Yang jelas tidak semudah itu pulang pagi buta dengan menggunakan angkutan umum. Saya tidak punya Ibu Peri yang bisa menyulap labu jadi kereta kuda dan tikus jadi kudanya. Saya harus menunggu kendaraan umum yang jika sudah lewat tengah malam jumlahnya sangat terbatas. Pilihan saya hanya taksi, ojek (jika keduanya tergolong kendaraan umum) dan mikrolet yang setelah jam 10 malam berubah nama menjadi angkot setan!

Pilihan saya biasanya jatuh pada angkot setan tadi. Pertimbangannya hanya satu dan memang satu-satunya. Murah! Jangan bicara soal nyaman. Mana ada sih kendaraan umum di Indonesia yang nyaman? Kalau sedang mencari nyaman dan dilengkapi dengan faktor pendukung lain (apalagi kalau bukan uang!) taksi bisa jadi pilihan. Dan biasanya, saya memilih taksi kalau saya sedang tidak mood, hal yang cukup sering terjadi. Bus kota yang beroperasi hingga tengah malam sebetulnya ada, namun kebetulan tidak melewati jalur saya pulang.

Sekilas tentang angkot setan tadi. Nama itu hanya sebutan karena angkot setan hanya beroperasi di atas jam 10 malam hingga mendekati pagi. Sama seperti jam operasi kuntilanak, genderuwo, suster ngesot, babi ngepet dan jenis-jenis setan lainnya. Hanya satu setan yang beroperasi siang-siang. Rawon Setan! Itupun setelah diwaralabakan. Saya pernah pulang jam 4 pagi dan angkot tersebut masih beroperasi. Jadi, nama angkot setan itu tidak berhubungan dengan dunia mistis dan saudara-saudaranya. Saya berani jamin kalau tidak ada sedikitpun hubungan persaudaraan antara angkot setan dengan kereta setan manggarai atau setan lainnya, apalagi dengan Setan Kredit. Angkot itu muncul semata-mata karena ada sebagian kecil orang yang menganggap bahwa rejeki Tuhan bisa dicari dimanapun dan kapanpun, meskipun lewat tengah malam. Dan dari orang-orang seperti sayalah (dan yang sering pulang pagi naik kendaraan umum) mereka mencoba mengais sisa-sisa rejeki yang ada. Karena ternyata ada sejumlah permintaan terhadap jasa angkot tengah malam di jalur saya biasa pulang.

Entah hukum ekonomi mana yang berlaku. Yang jelas, di mana ada permintaan, di situ ada penawaran (hukum ekonomi lanjutan yang saya karang-karang sendiri saja adalah jangan menawarkan apa yang tidak diminta, apalagi meminta-minta yang tidak ditawarkan). Jakarta tidak pernah kehabisan kendaran umum. Jadi, sebenarnya anda tidak perlu terlalu takut pulang larut malam jika kendalanya hanya masalah kendaraan umum, kendaraan umum selalu ada. Yang perlu anda takutkan adalah jika ternyata dari sekian kendaraan umum yang ada, tidak satupun melewati jalur anda pulang. Dari sudut pandang teori ekonomi, penjelasannya ya cukup sederhana saja. Artinya, jumlah permintaan yang ada tidak cukup signifikan untuk menimbulkan penawaran. Dari sudut pandang Ilmu Penjaskes, artinya anda harus pulang naik taksi atau jalan kaki saja, hitung-hitung sekalian olahraga.

Dari pengalaman saya, jalur angkot yang berakhir di Terminal Senen hampir pasti masih tersedia untuk trayek tengah malam. Antara lain Ciledug-Blok M-Senen, Pulogadung-Senen dan Kampung Melayu-Senen. Trayek lainnya saya kurang paham meski bukan berarti tidak ada. Hal ini adalah imbas dari aktifitas Pasar Senen yang memang tidak pernah mati. Lewat tengah malam, para pebisnis kue subuh dan sayur-mayur bertemu konsumen mereka dan cukup banyak yang membutuhkan jasa angkot setan. Jadi, angkot setan takkan pernah mati atau hilang selama kue subuh masih ada. Bulan puasa ini setan mungkin saja dikerangkeng di neraka, tapi tidak dengan angkot setan. Angkot setan akan tetap beroperasi.

Apakah aman? Jika ada yang bertanya pada saya, “Elu nggak takut pulang malem buta begitu?”, saya agak bingung menjawabnya. Sebab, saya merasakan apa yang disebut oleh Spiral Of Silence Theory sebagai dual climates of opinion. Richard West dan Lynn H. Turner mengatakan dalam Introducing Communication Theory bahwa dual climates of opinion often exist – that is, a climate that the population perceives directly and the climate the media report. Maksudnya, saya merasakan iklim yang berbeda dengan apa yang diceritakan oleh TV dan media lainnya.

Memang benar, bahwa saya agak sedikit merasa tegang saat berdiri sendirian menunggu angkot di Senen. Namun, di saat yang sama, saya juga belum pernah sekalipun melihat sendiri sebuah kejahatan terjadi di depan muka saya selain melalui layar TV. Bukan maksud saya bahwa kalau saya tidak melihatnya berarti tidak ada kejahatan. Tapi, kondisi di lapangan tidaklah setegang apa yang ditayangkan TV. Justru, kita jadi semakin merasa tegang dengan situasi karena terkena terpaan tayangan TV yang mengabarkan bahwa Jakarta memang serawan itu dan kejahatan terjadi setiap detik.

Saya pernah iseng-iseng bikin survey kecil-kecilan. Saya bertanya pada belasan orang teman-teman saya secara tidak bersamaan. Berhubung ini iseng-iseng, mereka yang saya tanya-tanyai tidak sadar bahwa mereka sedang saya survey. Pertanyaan pertama adalah apakah mereka khawatir terhadap kejahatan di Jakarta. Dan pertanyaan kedua adalah apakah mereka pernah benar-benar melihat atau mengalami kejahatan yang mereka takutkan itu dalam 3 bulan terakhir. Untuk pertanyaan pertama, rata-rata merasa bahwa bahwa kejahatan di Jakarta memang mengkhawatirkan. Namun, hampir 100% tidak pernah melihat atau merasakan sendiri kejahatan yang mereka khawatirkan itu. Mereka sebagian besar mengetahui informasi tentang kejahatan di Jakarta dari tayangan televisi.

Sebagai catatan, survey itu hanya iseng-iseng saya belaka, jadi hasilnya sama sekali tidak valid dan tidak reliabel karena tidak mengikuti kaidah-kaidah penelitian ilmiah yang seharusnya. Untuk membuatnya menjadi valid dan reliabel diperlukan sebuah survey serius yaitu penelitian yang sesuai dengan logika saintifika, memakai konsep-konsep yang jelas, menggunakan metodologi yang tepat dan sampel penelitian yang representatif untuk mewakili populasi penduduk Jakarta sehingga hasilnya dapat digeneralisasi dan memenuhi kaidah-kaidah ilmu.

Kembali ke pertanyaan apakah saya takut untuk pulang lewat tengah malam. Jawaban saya adalah tidak, tapi itu bukan berarti bahwa saya bersikap lengah dan kurang hati-hati. Sekalipun saya tidak merasa khawatir, tetap saya menjaga diri agar tidak lewat di tempat-tempat gelap dan terlalu sepi saat malam hari. Seperti kata pepatah “trust in God but lock your car”. Katanya, Jakarta adalah kota yang rawan dan kawasan Senen adalah salah satu wilayah yang, katanya lagi, paling rawan. Tapi, alhamdulillah, berkat lindungan Tuhan YME, sejauh ini saya selalu sampai di rumah dengan kondisi sehat walafiat. Pada siapa lagi kita bisa berdoa selain pada Tuhan. Iya, kan?

Karena ternyata, terkadang, aparat yang seharusnya bersikap melindungi, justru menjadi teroris kecil untuk sebagian orang. Semboyan To Serve and Protect kadang cuma jadi retorika belaka. Sebagai orang yang sangat sering pulang malam, saya kerap melihat hal-hal seperti itu di depan muka saya. Inilah yang membuat saya jadi bersikap apatis terhadap pemberitaan, kampanye PR dan Iklan di TV tentang peningkatan kinerja lembaga yang pastinya anda sudah tahu itu.

Bayangkan, malam yang sepi sehabis hujan. Sopir-sopir angkot setan mencoba keluar untuk mengais rejeki dari orang-orang yang terpaksa harus pulang lebih malam karena menunggu hujan berhenti. Sekalipun ada, namun ada pasti tahu bahwa penumpang angkot di malam hari buta tidak akan pernah seramai penumpang di siang hari. Jika situasi benar-benar sedang sepi, saya pernah berada dalam angkot sendirian sejak naik hingga saya sampai tujuan. Jika saya membayar 5000 rupiah, artinya sopir angkot itu hanya mendapat sejumlah itu. Menurut siaran pers dari Kementrian ESDM (No:15/HUMAS KESDM/2010, Tanggal: 12  Maret 2010), harga bensin premium untuk Transportasi dan Pelayanan Umum adalah Rp.4.500/liter. Apakah cukup bensin 1 liter untuk menempuh jarak dari Ciledug – Blok M – Senen? Jadi, anda bisa memahami bahwa jumlah uang yang mereka dapat tidak akan sebanyak itu.

Memahami hal seperti itu saja cukup membuat saya sedih. Belum lagi melihat apa yang terjadi setiap malam. Di titik-titik tertentu, sopir-sopir angkot setan itu dihentikan oleh sejumlah oknum (saya benci penggunaan kata ‘oknum’ dalam konteks kalimat ini! Di bagian akhir tulisan ini anda akan tahu alasannya) berseragam lengkap dengan mobil patroli dan perlengkapan lainnya. Sopir-sopir itu dimintai sejumlah uang dengan cara yang kadang-kadang tidak mengenakkan. Pernah suatu ketika terjadi seorang sopir angkot setan memohon agar tidak dimintai uang karena saya adalah satu-satunya orang yang naik angkot itu sejak awal hingga tujuan saya di terminal Senen. Jadi, uangnya tidak akan cukup untuk menutupi biaya bensin apalagi untuk dimintai pungli seperti itu (apakah ini benar pungli atau merupakan retribusi yang legal perlu dicari tahu lebih lanjut). Apa yang terjadi selanjutnya? Petugas itu menggebrak setir mobil tanpa berkata apapun dan sopir angkot itu terpaksa memberikan sejumlah uang sekalipun saya tahu dia tidak rela.

Dari pengamatan saya, fenomena seperti ini sudah berlangsung lama. Sepanjang saya pernah naik angkot setan, hampir selalu saya melihat kejadian seperti ini. Dan sepertinya, sudah terbangun pengertian antara sopir angkot setan dengan aparat semodel itu. Obrolan antara keduanya saat kejadian berlangsung jarang saya temukan. Umumnya, tidak pernah ada pembicaraan. Aparat pura-pura menyeberang jalan, angkot setan berhenti, aparat mendekat ke bilik sopir lalu sopir menyerahkan sejumlah uang yang sampai saat ini saya tidak tahu jumlahnya dengan gaya seperti bersalaman.

Ini juga yang terkadang bikin saya sebal. Mereka pikir saya akan percaya bahwa mereka benar-benar bersalaman? Saya tahu itu bukan malam lebaran yang memang perlu bersalam-salaman. Kok, rasanya jadi benar, ya, pendapat Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia sebuah Pertanggung Jawaban? Beliau mengatakan bahwa salah satu ciri utama orang Indonesia adalah hipokrit alias munafik. Ya, seperti aparat tadi, ingin duit mudah dengan cara melakukan pemerasan tapi tidak mau kelihatan buruk. Memangnya, dia pikir dia tidak terlihat buruk dengan bersikap seperti itu? Hal-hal seperti inilah yang kemudian menjadi rahasia umum. Bahkan sepertinya semua orang sudah maklum dengan kondisi-kondisi seperti ini dan bahkan mewajarkannya. Salah siapa? Perlukah mencari siapa yang salah? Bukankah saya juga salah karena membiarkan hal tu terjadi di depan hidung saya sendiri?

Jujur, kadang saya jadi bingung sendiri karena hal-hal seperti ini sudah sangat mengakar bahkan ke dalam kehidupan rakyat kecil seperti sopir-sopir angkot setan itu. Tidak jelas lagi ujung pangkalnya dan mau dibereskan darimana. Saya pun meragukan bahwa memang ada niat untuk membereskannya.

Di luar semuanya, banyak hal yang saya dapat dari perjalanan di malam hari seperti itu. Selalu ada yang bisa dipelajari. Selalu ada sesuatu yang baru untuk jadi teman saya bermimpi kala tidur setelahnya. Bermimpi bahwa semuanya akan lebih baik lagi. Amin.

Jakarta, 5/8/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

*gambar saya ambil dari http://niscayasegera.blogspot.com

* Setan Kredit adalah Film yang dibintangi oleh Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro). Diproduksi tahun 1981 dan disutradarai oleh Iksan Lahardi
** Spiral Of Silence Theory adalah teori yang diajukan oleh Elisabeth Noelle-Neumann pada tahun 1991. Merupakan teori kritis terhadap media. Bahwa media menekan pendapat-pendapat minoritas dengan membentuk opini mayoritas sehingga opini-opini minoritas menjadi silent (diam).
*** Oknum adalah kata yang pada awalnya digunakan oleh gereja Katolik untuk menunjuk Tuhan dalam diri Bapa, Putra dan Roh Kudus sebagai pribadi-pribadi. Jadi, sebenarnya, kata ini bisa dikatakan suci dan hanya digunakan dalam lingkup gereja. Jadi, menurut saya, terjadi pergeseran yang cukup signifikan dalam pemaknaan dan penggunaannya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘oknum’ adalah nomina (kata benda) yang memiliki 3 definisi yaitu :1. penyebut diri Tuhan dalam agama Katolik; pribadi: kesatuan antara Bapak, Anak, dan Roh Kudus sbg tiga — keesaan Tuhan; 2. orang seorang; perseorangan; 3. orang atau anasir (dengan arti yang kurang baik). Tidak dijelaskan darimana kata ini berakar, yang jelas bukan bahasa Arab atau Inggris. Sangat disayangkan kata ini tertempeli oleh makna negatif padahal berakar dari sebuah pemaknaan yang suci.
**** Buku Manusia Indonesia, Sebuah Pertanggungjawaban adalah sebuah pidato kebudayaan yang ditulis dan disampaikan oleh Mochtar Lubis pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sempat menimbulkan kontroversi sebelum kemudian dibukukan.

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 9 other subscribers
  • Today’s Quote

    When you dance, your purpose is not to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (Wayne Dyer)

  • Categories

  • Soundless Voices by Wisnu Sumarwan

    Inilah blog saya yang sederhana. Lewat blog ini saya hanya mencoba untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan. Tentu saja saya hanya manusia biasa yang memungkinkan banyak terjadi kesalahan. Saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Welcome to the journey of soundless voices. Thank you...