Banyak hal yang tidak saya suka saat menggunakan kendaraan umum. Standar saja. Sopirnya yang ugal-ugalan dengan menjadikan jalan raya sebagai trek balap slalom, sensasi ikan pindang saat kendaraan umum yang kita tumpangi penuh bukan buatan, baunya yang sering campur aduk serabutan, atau penumpangnya yang sering seenak udelnya sendiri. Jika daftar ini hendak diperpanjang, saya rasa saya bisa menerbitkan buku yang isinya keluhan tentang kendaraan umum di Jakarta, saya rasa semua orang sudah tahu isinya akan seperti apa.
Namun, diantara sekian banyak keluhan tentang kendaraan umum Jakarta, ada hal yang yang saya sangat sukai yaitu mengamati dan mendengarkan penumpang atau awak bis mengobrol atau melakukan interaksi. Hal yang membuat unik adalah karena kita bisa sangat dekat dengan orang asing dalam jarak intim kita (menurut Edward T. Hall mengenai studi proksemik, jarak intim adalah antar 0-18 inchi). Inilah yang sering membuat orang merasa deg-degan atau takut menggunakan kendaraan umum. Beberapa diantaranya sampai pada tingkat paranoid.
Memang, ada beberapa orang yang dekat-dekat di kendaraan umum karena niat buruk, seperti pencopet atau orang yang suka melakukan pelecehan seksual. Sumpah! Saya bukan tipe orang seperti itu. Saya biasanya hanya (tidak sengaja) menguping atau memperhatikan perilaku dan obrolan orang-orang di dalam kendaraan umum. Mungkin, ada beberapa orang yang memilih untuk tidak mendengarkan sekelilingnya dengan mendengarkan musik via headset dengan volume luar biasa keras. Saya, hanya memanfaatkan kerakter orang Indonesia yang senang berbagi perasaan di manapun termasuk di kendaraan umum (anda akan lebih sulit menemukan fenomena ini di budaya eropa atau amerika yang lebih memilih untuk diam di kendaraan umum karena tidak mau orang lain mendengar hal yang tidak mereka diperlukan. Mereka juga tidak mau dengar apa yang orang lain bicarakan.).
Prosesnya gampang. Naiklah kendaraan seperti biasa. Mengantri dan berdiri (atau duduk) seperti biasa. Pokoknya, biasa saja. Kalau anda cukup memperhatikan, dengan segera, anda sudah bisa mendengarkan obrolan orang lain masuk begitu saja ke telinga anda. Kalaupun tidak ada orang yang mengobrol, anda bisa memperhatikan gestur (bahasa tubuh) atau pandangan mata. Kadang, hal-hal non-verbal seperti itu juga memberikan cukup cerita.
***
Well, hari ini (28/10/10) saya pulang jam 2 pagi dari arah Grogol. Seperti biasa, mengunakan angkot setan. Mengingat ini sudah dini hari, saya berpraduga bahwa saya akan menemukan hal-hal yang tidak mungkin saya amati saat siang hari. Siang hari kadang terlalu ramai, membuat berbagai macam stimulus masuk berebutan ke kepala kita. Di malam hari, saat suasana lebih tenang (atau tegang?) stimulus yang lemah pun jadi bisa jelas dirasakan. Jadi, saya bersiap-siap untuk memperhatikan sekeliling. Pertama, sikap waspada (bukan paranoid atau ketakutan) memang sangat diperlukan jika pulang lewat tengah malam. Kedua, saya mencari hal-hal menarik yang bisa saya perhatikan.
Dari arah Grogol saya menuju Senen menggunakan angkot mobil Colt L300. Dalam angkot itu hanya ada saya, 2 orang yang wajahnya tidak terlalu jelas karena gelap dan, tentu saja, Pak Sopir yang sedang bekerja. Pak Sopir diam saja karena di depan tidak ada teman mengobrol. Saya juga diam karena takut disangka gila jika ngobrol sendiri. Jadi, praktis yang berbicara hanya 2 orang yang duduk berjarak 1 bangku di belakang saya. Suara mereka tidak terlalu jelas karena deru suara mesin yang luar biasa keras. Namun saya tahu mereka pasangan karena suara mereka terdengar penuh cinta (seperti apa suara yang penuh cinta, ya?). Suara mereka terdengar saling merayu dan merajuk-rajuk. Saya sampai tidak berani menengok ke belakang. Hmmm…
Akhirnya, kami tiba di senen. Kami semua (tidak termasuk sopir) pun turun. Hmmm… ternyata 2 orang yang tadi di belakang saya keduanya wanita. Salah satunya memang memiliki profil mirip laki-laki dengan rambut cepak ala anggota duo terkenal itu. Benarkah dia perempuan? Atau…? Ah, bukan urusan saya juga. Waktu terlalu singkat untuk bisa memastikan. Mereka berjalan masuk ke dalam terminal dan saya berjalan lurus menuju arah jalan Letjend. Soeprapto.
Jika orangtua saya melihat kejadian ini, mereka pasti geleng-geleng kepala. Di jamannya, mereka tidak akan pernah menemukan hal-hal seperti itu, apalagi di depan umum. Dan sekarang, meskipun tidak secara terbuka dinyatakan, namun sudah menjadi hal yang dimaklumi bila pasangan sesama jenis muncul di areal publik. Dunia memang berubah. Manusia berubah dan melakukan perubahan.
Bicara masalah perubahan. Apalah yang tidak berubah? Ada yang bilang, satu-satunya hal yang tetap adalah perubahan itu sendiri. Dan sepertinya perubahan yang terjadi di Jakarta berjalan dengan cukup cepat, membuat gap antar generasi jadi cukup signifikan.
***
Perjalanan saya pun berlanjut.
Ada beberapa pilihan kendaraan umum untuk menuju ke arah Pulogadung dari Senen. Yang harus diingat adalah jangan menunggu di dalam terminal Bus Senen. Jika anda ingin menuju ke arah Pulogadung, Kelapa Gading atau Cempaka Putih, anda sebaiknya menunggu kendaraan umum di Jalan Kramat Bunder arah Letjend Soeprapto. Dari sana ada 2 pilihan kendaraan selain taksi, ojek atau bajaj, yaitu angkot setan M12 atau Bus 507 (jika tengah malam, semua bus yang ngetem di tempat itu selalu menuju arah Pulogadung berapa pun nomernya).
Saya menunggu sambil duduk-duduk di trotoar. Agak jauh dari saya, terlihat 2 orang ibu dengan barang belanjaannya. Agaknya mereka baru saja berbelanja di Pasar Kue Subuh. Dari penampilannya, mereka memang pedagang kue. Jadi, mereka membeli kue di Pasar Kue Subuh dengan harga yang lebih murah untuk dijual lagi.
Saya menunggu agak lama, karena sekarang sudah pukul 3 pagi. Kendaraan umum lebih jarang lewat. M12 pun kadang sudah hilang dari peredaran pada jam-jam sekian. Mata saya sudah mulai minta diajak tidur. Untunglah, akhirnya muncul juga Bus 507 (jurusan Tanah Abang-Pulogadung) memutar di depan bioskop Mulia Agung untuk berbalik ke arah Pulogadung.
Saya dan 2 ibu tadi segera naik ke atas bis. Saya duduk di bangku deret dua yang ada di sebelah kiri paling depan. 2 ibu tadi duduk di deret sebelah kanan. Tak lama, tanpa menunggu penuh (karena rasanya bus yang ngetem jam 3 pagi tidak mungkin penuh) bus berangkat. Suaranya menderu-deru keras. Polusi suara tidak hanya mengesalkan orang-orang di luar bus, pun bisa merusak pendengaran orang yang ada di dalamnya. Semoga sih gangguan pendengaran ini hanya terjadi temporer saja.
Soalnya, secara temporer hobi saya menguping tidak bisa berjalan lancar sepanjang perjalanan dengan bus yang sedang saya tumpangi ini. Suara bus luar biasa menganggu. Mungkin, orang-orang Jakarta sudah terbiasa dengan polusi suara. Manusia beradaptasi. Dan saya berharap supaya bentuk adaptasi itu tidak dengan cara membuat telinga jadi budeg.
Berikut cuplikan dari pembicaran 2 ibu di sebelah saya, tentu saja dengan sedikit dramatisasi :
SFX : (Brrruuuummmmm….. Suara deru mesin bus yang luar biasa keras, terutama saat sopir mengganti gigi. Dari gigi susu ke gigi tetap. Rasanya ingin saya ganti dengan gigi palsu saja.)
Ibu 1 : Blukutuk bluktuktutuuk blukutuk….
Ibu 2 : Bleketekbleketekbleketekekekeke…
SFX : (Suara klakson bus yang seperti bunyi klakson kapal)
Ibu 1 : Bleketekketekeblekek
Ibu 2 : Blukututuktuktblukutuk…
Saya putus asa. Saya tidak bisa mengerti pembicaraan mereka sedikit pun meski mereka berbicara dengan suara yang cukup keras. Pertama, tentu saja karena polusi suara yang menganggu. Kedua, karena mereka menggunakan bahasa Jawa yang hampir 100% tidak saya kuasai sama sekali. Perbendaharaan kosa-kata bahasa Jawa saya dapat dikategorikan lumayan parah. Jika yang menilai adalah Professor McGonagall (dari Harry Potter) saya akan mendapat nilai D (Dreadful) cenderung T (Troll). Saya tolol maksimal untuk urusan bahasa Jawa. Padahal secara genetis, saya murni orang Jawa. Waduh, ini harus tes DNA dulu, ya? Pokoknya, darah Jawa yang mengalir di tubuh saya jauh lebih dominan dibanding darah jenis lain.
Saya jadi ingat kejadian 3 hari sebelumnya. Ayah saya berbicara dalam bahasa Jawa. Sebenarnya bukan kepada saya, melainkan dia membaca sms yang dikirimkan oleh seseorang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa halus. Bukan karena saya tahu, melainkan karena ayah saya mengucapkannya dengan halus. Ok, saya tidak tahu itu bahasa Jawa bagian mana, yang jelas terdengar berbeda sekali dengan yang digunakan oleh 2 ibu dalam bus tadi. Sayangnya, di telinga saya perbedaannya tidak terlalu jelas.
Ayah Saya : Wasweswoswasweswos…
Saya : (pura-pura tidak mendengar sambil terus sok sibuk mengetik sms padahal sedang main game)
Ayah Saya : Wasweswoswasweswos…. Gimana?
Saya : (Pasang tampang pura-pura bingung, padahal memang bingung) Hah?
Ayah Saya : Kamu ngerti nggak barusan bapak ngomong apa?
Saya : (masih pura-pura bingung, tapi kali ini plus pura-pura budeg) Kenapa, Pak? (Saya memanggil ayah saya dengan panggilan ‘Bapak’ dan ibu saya dengan ‘Mama’)
Ayah Saya : Kamu ngerti barusan Bapak ngomong apa?
Saya : (menggeleng terus pura-pura sibuk mengetik sms lagi padahal sedang main game)
Ayah Saya : Waduh, kamu harus belajar bahasa Jawa…
Saya : (dalam hati) hah?
Apakah ini pertanda bahwa ke-Jawa-an saya sudah hilang? Nyaris tidak ada lagi yang tertinggal dari ke-Jawa-an yang diturunkan oleh kedua orang tua saya. Masakan Jawa sebagian besar cenderung manis, saya tidak suka manis dan lebih suka pedas. Orang jawa cenderung berbicara dengan halus, mulut saya kadang seperti tidak makan sekolahan. Orang Jawa cenderung komunal, saya punya kecenderungan individual. Dan pertanda paling parah adalah bahasa. Saya lebih menguasai bahasa Inggris dibanding bahasa Jawa. Jangan coba-coba berbicara bahasa Jawa dengan saya, karena jawaban yang anda akan dapat hanya senyuman manis saya saja. Menurut saya, senyum dan cinta adalah bahasa universal. Tidak memecahkan masalah? Yap!
Untuk urusan bahasa Jawa saya memang tidak punya pemecahannya. Selama ini memang saya tidak merasa bahwa ada permasalahan dengan hal itu. Namun, dengan terganggunya aktifitas menguping saya di kendaraan umum, mendadak saya jadi berpikir. Sudah begitu jauhkah saya dari akar nenek moyang saya? Saya tidak tahu apa-apa tentang Jawa, Bahasa Jawa, apalagi budayanya. Secara etnis saya merasa ‘murtad’.
Memang benar, dalam dunia yang demokratis ini kita tidak boleh membeda-bedakan. Segala sesuatu harus diperlakukan dengan adil. Tapi, pada saat saya merasa bahwa identitas etnis saya hilang, itu adalah hal yang berbeda. Saya merasa bahwa saya orang Indonesia, TOK! Lebih tepatnya orang Jakarta. Masalahnya, ras Jakarta itu tidak ada, kan?
Entahlah, ini positif atau negatif. Positifnya adalah saya jadi tidak pernah membedakan identitas ras, etnis atau genetis orang lain. Sumatera, Jawa, Kalimantan, China, Bule, Negro atau apapun, sama saja di mata saya. Negatifnya, saya jadi agak bingung, masih Jawa-kah saya?
Yang lebih parahnya adalah jika (kelak) saya punya anak, dia orang mana? Selain faktor-faktor genetis, dia tidak akan membawa sedikitpun identitas ke-Jawa-an. Lhawong, saya yang memiliki orangtua masih dekat dengan budaya Jawa saja jadi begini. Bagaimana anak saya nanti yang orang tuanya hampir-hampir tidak tahu apa itu jadi orang Jawa? Jadi, saya mulai berpikir, mumpung saya saat ini belum menikah, perlukah sebelumnya saya mempelajari akar budaya saya?
***
Dari Samovar, et.al (2007) dalam Communication Between Cultures “racial identity is commonly associated with external physical traits such as skin color, hair texture, facial appearance, or aye shape” (hal. 113). Jadi, identitas rasial anak saya kelak pada dasarnya tidak akan berubah selama saya masih menikah dengan orang yang memiliki identitas rasial sama alias sama-sama Jawa totok. Namun, berhubung bagi saya identitas rasial itu hampir-hampir tidak penting, saya jadi merasa tidak ada perlunya juga mempertahankan identitas rasial saya yang memang terkait dengan hal-hal yang berbau fisik. Lagipula, kalaupun saya punya anak, saya ingin juga lah memperbaiki kualitas keturunan. Minimal ya.. nggak terlalu ancur-ancur amat seperti saya. Hehehehe… Masalah apakah ia (kelak) secara genetis orang Jawa atau bukan Jawa, sama sekali bukan hal yang penting untuk saya.
Yang sekarang saya pikirkan adalah mengenai identitas etnisnya. Dari buku yang sama “Ethnicity or ethnic identity is derived from a sense of shared heritage, history, traditions, values, similar behaviors, area of origin, and in some instances, language” (hal.113). Bukannya saya ingin anak saya jadi orang Jawa, namun saya merasa bahwa cukup penting bagi setiap orang untuk memahami akar budayanya sendiri. Bukan permasalahan Jawa-nya, melainkan bagaimana seorang anak memahami dirinya sendiri karena pemahaman terhadap diri sendiri adalah kunci penting untuk memahami orang lain.
Saat ini yang tertinggal dari ke-Jawa-an saya hanyalah identitas rasial semata yaitu ciri-ciri fisik yang secara herediter memang diturunkan lewat gen orang tua saya. Yang, toh, agak-agak nyaru dengan hampir semua ras di Jawa, Bali dan Sumatera. Dengan sekilas pandang agak sulit dibedakan (minimal oleh bule). Sementara, identitas etnis saya hampir-hampir hilang sama sekali. Saya tidak memiliki warisan ke-Jawa-an, tidak memahami sejarahnya, tidak menjalankan tradisinya, nilai-nilai saya lebih dipengaruhi nilai-nilai modern (atau barat?), perilaku saya tidak terlalu jawa-jawa amat, tidak lahir di daerah asal orangtua saya, dan yang paling parah adalah bahasa. Saya sama sekali tidak dapat berkomunikasi aktif maupun pasif dalam bahasa Jawa. Identitas etnis saya nyaris hilang.
Apakah ini sebuah permasalahan?
***
Jika ditanya apakah identitas etnis adalah hal yang penting atau tidak, jujur saja saya agak bingung. Karena menurut saya nilai-nilai kebaikan universal adalah hal yang lebih utama, entah etnis apapun yang membawa nilai-nilai kebaikan itu. Dalam sebuah prasangka baik, saya menganggap bahwa semua budaya (etnis) secara universal akan mengarahkan anggotanya untuk berbuat kebaikan karena aturan-aturan budaya pada dasarnya menginginkan keteraturan sesuai dengan nilai dan ukurannya masing-masing. Budaya (etnis) akan mengikat anggota-anggotanya untuk memiliki perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai tangible maupun intagible sehingga menjadi sebuah sistem yang bergerak sesuai dengan yang diinginkan oleh suatu masyarakat tertentu.
Bagaimana dengan saya?
Di Jakarta, sebuah kota metropolitan dimana orang-orang di dalamnya cenderung tumbuh menjadi karakter individual, hampir-hampir norma budaya menjadi hal yang sangat plastis. Dilaksanakan terserah, tidak pun tidak akan ada yang protes. Norma hukum lah yang (seharusnya) banyak berperan. Dalam hal ini adalah hukum-hukum positif yang ditulis melalui UUD dan segala jenis aturan yang berada di bawahnya. Akhirnya, mungkin saja hal ini bukan cuma saya yang mengalami, melainkan juga dialami oleh orang-orang yang hidup di kota-kota besar terutama di Jakarta atau kota metropolitan lain yang cenderung tidak terikat oleh budaya tertentu.
Saya berandai-andai. Apa yang akan terjadi dalam 10, 50, 100 atau 200 tahun lagi? Mungkin, pada masa itu tingkat kesamaan budaya orang-orang Indonesia akan semakin besar. Mengapa? Akan semakin banyak ciri-ciri etnis yang hilang atau punah, salah satunya adalah bahasa. Pada tahun 2009, tercatat 147 bahasa di Indonesia terancam kehabisan penuturnya alias tidak ada lagi yang menggunakan bahasa tersebut karena generasi mudanya tidak lagi menggunakan bahasa itu. Bukan cuma itu, hasil-hasil budaya pun banyak yang terancam keberadaannya, seperti tarian, lagu, ritual, makanan, tekstil dan sebagainya, karena tidak ada lagi yang menguasainya. Apalagi untuk warisan budaya yang bersifat intangible seperti norma dan nilai-nilai. Kepunahannya bahkan bisa tak terdeteksi karena norma dan nilai-nilai bukanlah warisan budaya berbentuk artefak yang bisa disimpan di museum. Nilai-nilai masyarakat bertahan secara turun-temurun melalui pendidikan dalam keluarga. Padahal, generasi muda saat ini sudah semakin jauh dari nilai-nilai itu. Lantas, apakah semua itu akan dibiarkan hilang?
Menurut saya, budaya bukanlah hal yang bisa begitu saja dipelajari dari literatur atau buku-buku saja. Mempertahankan suatu kebudayaan membutuhkan orang-orang yang memang hidup dengan menggunakan budaya tersebut. Jadi, mengutip kata-kata Bapak saya “Waduh, kamu harus belajar bahasa Jawa…”, adalah hal yang cukup membingungkan untuk saya. Bagaimana mungkin saya bisa bahasa Jawa sementara saya hidup di lingkungan yang tidak berbahasa Jawa dan tidak menggunakan bahasa Jawa? Kalau pun toh kelak saya bisa berbahasa Jawa, bagaimana dengan nilai-nilai ke-Jawa-an yang tidak bisa dipelajari selain dengan cara live-in dalam budaya Jawa?
Ini baru apa yang saya alami sendiri mengenai budaya Jawa yang sampai saat ini masih cukup banyak anggotanya. Bagaimana dengan budaya lain yang anggotanya sedikit? Tidakkah kepunahannya menjadi begitu dekat? Jika jumlah orang-orang seperti saya menjadi begitu banyak, bukankah lama-kelamaan kita menjadi sebuah bangsa yang tidak memiliki identitas? Ataukah akan terbentuk sebuah identitas baru? Wallahualam, saya tidak tahu.
Jakarta, 17/11/10
*gambar saya ambil dari http://oblomania.student.umm.ac.id
** Omong-omong, saya baru ingat bahwa ada satu hal yang cukup saya ketahui tentang budaya Jawa yaitu Wayang. Hal ini karena Ayah saya sangat menyukai cerita wayang yang secara tidak sengaja diwariskan kepada saya. Ayah saya memiliki banyak buku mengenai wayang dan yang paling saya ingat adalah komik wayang yang dibuat oleh R.A. Kosasih. Ini juga yang menyebabkan saya diberi nama ‘Wisnu’.