Kelas Inspirasi 2: Belajar dari Anak-Anak (Dan Guru Sekolah Dasar)

Sombong adalah musuh ilmu pengetahuan

Entah dimana saya pertama kali mendengar quote di atas. Yang jelas, saya cukup mempercayai kebenaran quote itu. Bahwa, untuk menjadi lebih pandai, kita perlu menjadi rendah hati dan menganggap diri kita belum cukup mengetahui tentang sesuatu. Menurunkan kesombongan hingga level terendah. Menerima segala masukan dengan lapang dada. Menjadi gelas yang selalu kosong dan siap diisi, begitu kata orang-orang bijak. Singkatnya, Rendah hati dan pikiran yang terbuka adalah gerbang pengetahuan dan kebijaksanaan.

Sampai…

***

image

Waktu itu, hari terakhir pendaftaran relawan pengajar Kelas Inspirasi (@kelasinspirasi). Dan saat itu pula saya baru mengetahui bahwa sedang diadakan proses perekrutan para profesional dari berbagai bidang keahlian untuk menjadi pengajar-sehari bagi siswa-siswi SD. Saya mengetahui informasi tersebut dari twitter karena kebetulan saya mem-follow Mas Rene Suhardono (@ReneCC) yang menjadi salah satu penggerak .

Mengajar? Anak SD? Memberi Inspirasi? Tidak pernah saya bayangkan menjadi salah satu pengajar. Hmmmmm… Alangkah mulianya… Membuat anak-anak Indonesia terdorong untuk memiliki cita-cita yang tinggi.

Saya bukan siapa-siapa. Belum jadi apa-apa. Tapi, saya rasa kita semua (apalagi ribuan relawan pengajar yang sudah merelakan waktu dan intelektualitasnya untuk dibagi dengan siswa-siswi SD) sadar bahwa bangsa ini butuh untuk melihat bahwa harapan masih ada terbentang. Dan kita berbondong-bondong keluar dari ‘lubang persembunyian’ masing-masing untuk membagi sedikit cahaya pada sebagian anak-anak yang selama ini (mungkin) melihat dunia mereka sebagai sebuah ceruk sempit dimana mereka tinggal saat ini.

Datanglah kita. Mencoba membawa harapan, mimpi dan cita-cita. Berkata pada adik-adik kita. “Dek, lihatlah… Ini luasnya dunia… Dimana kamu bisa memilih mimpimu sendiri dan memperjuangkannya… Dan kelak kamu bisa mendapatkannya”.

image

***

image

Mereka menunggu dengan harapan dan kita (Kelas Inspirasi) datang, juga membawa harapan. Harapan bahwa kita bisa menginspirasi sebuah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik lewat tangan-tangan mungil adik-adik kita yang sedang mencoba meraih mimpi. Membuka mata adik-adik bahwa selama mereka berpegang pada Kejujuran, Kerja Keras, Kemandirian dan Pantang Menyerah; tidak ada mimpi yang mustahil untuk dicapai… 4 nilai yang ditulis dalam modul kelas Inspirasi (yang saya sangat sepakat).

Dan ternyata… Ini lebih dari apa yang bisa saya harapkan sebelumnya…

***

Harapan saya untuk membuka mata adik-adik tercinta telah menampar muka saya. Justru saya yang lebih dibukakan matanya. Saya melihat betapa adik-adik ini yang justru melihat dunia sebagai tempat indah yang terang-benderang. Tempat dimana mimpi-mimpi menjadi energi hidup yang nyata, tanpa meninggalkan hari ini. Menikmati apa yang ada sebagaimana adanya, tanpa beban. Tanpa praduga berburuk sangka. Berharap tanpa takut kehilangan. Berbaik sangka pada masa depan.

Dengan bangganya, seorang adik berkata, “Saya ingin jadi koki juga. Saya masak setiap hari. Saya pintar bikin martabak Mie”. Yang lain berkata,”Pemain Bola!”; “Tentara!”; “Dokter!”; “Konsultan!”; “Tukang Sulap”; dan seorang adik perempuan yang lucu berkata, “Saya ingin jadi Putri Indonesia!”.

Itu baru sebagian kecilnya. Ada ratusan bahkan ribuan atau jutaan mimpi yang diterbangkan setiap hari dari imajinasi-imajinasi adik-adik kecil kita. Meskipun tampaknya mereka terus saja berlarian, bicara berebutan, naik ke atas meja, berteriak-teriak, bertengkar sesamanya, menangis, tersenyum malu, sibuk sendiri dan berbagai tingkah yang membuat saya sakit kepala saat harus menghadapinya. Mereka memiliki mimpinya namun tidak terobsesi dan ngoyo seperti (sebagian) orang dewasa.

Itulah ekspresi mereka. Mereka yang ingin mimpinya didengarkan oleh dunia, dimengerti, disimak oleh orang dewasa yang bisa jadi tak sebijak mereka dalam menjalani hidup di saat yang benar-benar kini. Suara-suara kecil yang kerap dinafikan oleh kita yang hidup di dunia dewasa.

***

Dan, bersyukurlah, ternyata ada sebagian orang dewasa yang tetap mendengarkan mimpi-mimpi mereka. Membantu memperjuangkannya. Siapakah mereka?

(Inilah pelajaran berikutnya yang menampar saya)

Merekalah Guru-Guru SD yang setiap hari bergumul dengan segala macam dilematika dunia pendidikan. Mereka yang berada di samping adik-adik kecil kita lebih dari satu hari. Satu hari yang telah membuat saya cukup sakit kepala adalah rutinitas yang dijalani para guru SD dengan gembira.

Jujur saja, saya nyaris putus asa mencoba berkomunikasi dengan adik-adik SD yang sangat aktif itu. Sikap dan Perilaku mereka sangat hitam-putih. Jika mereka tidak tertarik, maka mereka benar-benar tidak akan (bahkan untuk sekadar mencoba) melihat. Mereka malah sibuk sendiri, menganggu temannya, membuat kegaduhan. Pun jika mereka tertarik, mereka juga akan merangsak maju, berdiri di meja, bertanya terus-menerus, berteriak pada temannya supaya diam dan justru membuat suasana makin gaduh. Tertarik atau tidak tertarik, mereka akan selalu gaduh! (Saya masih sering tertawa sendiri jika ingat situasi itu. Untuk saya yang amatir, semua jadi serba salah!).

😀

“Yah, begitulah anak-anak, Mas… Memangnya dulu Mas tidak begitu?”

Begitu komentar seorang guru saat saya ‘curhat’ tentang kebodohan-kebodohan saya kala MENCOBA mengajar di depan kelas (di sela-sela proses, alhamdulillah saya sempat berbagi cerita dengan seorang Ibu Guru).

“Mungkin ada orang yang berpikir, Guru SD adalah pekerjaan kecil.  Sering orang ngomong, ‘Enak jadi guru, bisa pulang jam 2 siang’. Tapi, coba bayangkan, ini pekerjaan yang tidak ada istirahatnya. Meleng sedikit, tiba-tiba ada anak yang jatuh, kepalanya bocor atau berkelahi. Benar-benar harus intens mengawasi anak-anak segini banyak… Mas paham kan sekarang?”

Saya cuma mengangguk-angguk sambil membayangkan pengalaman yang baru saja saya dapat. Kepusingan yang saya alami hanya beberapa jam adalah hal yang dihadapi oleh guru-guru SD itu setiap hari. Ada dari mereka yang sudah mengabdikan dirinya lebih dari 20 tahun sebagai guru SD. Mungkin, sudah banyak murid-murid mereka yang jadi orang sukses.

“Kadang, kami kesal juga, Mas, menghadapi kenakalan-kenakalan mereka. Sering kami harus marah. Tapi, marah kami tidak boleh dicampuri dengan dendam atau sakit hati. Harus marah yang murni karena kasih sayang. Anak-anak sangat sensitif. Mereka bisa merasakannya. Jika kita marah karena sakit hati, itu tidak baik untuk perkembangan psikologis anak-anak. Dan mereka akan membawanya hingga mereka dewasa nanti”.

Lalu saya jadi terharu sekali. Guru-guru SD yang sempat hilang dari ingatan saya adalah orang-orang pertama yang sebenarnya turut serta dalam penanaman pondasi hidup seorang anak saat mereka dewasa kelak. Dan salah satu orang itu adalah saya. Coba kita pikir, berapa orang yang sanggup menjaga agar marah tetap dalam porsinya? Menjaga agar marah adalah bentuk ekspresi kasih sayang dan bukan ekspresi kebencian?

“Tapi senang, Mas… Jadi guru SD itu awet muda.. Gimana tidak awet muda coba kalo tiap hari bergaul dengan anak-anak kecil?”

Lalu Ibu Guru itu tertawa dengan senyumnya yang bahagia. Tidak tampak sedikitpun keluhan dari nada suaranya.

“Berat? Berat sih, Mas… Tapi lebih berat jadi guru TK kok, Mas… Apalagi tanggung jawabnya. Secara gak langsung, kita yang bertanggung jawab dengan sikap anak saat mereka dewasa nanti. Dan guru TK lebih besar lagi tanggung jawabnya.”

JLEB! Bahkan Ibu Guru yang saya ajak bicara ini sangat bersyukur dan tidak menganggap bahwa beban hidupnya adalah yang paling berat. Beliau menjalani profesinya yang penting dengan penuh passion. Berapa dari kita yang merasa bahwa kita mengalami hal yang paling berat di dunia? Berapa dari kita yang hidup dengan kondisi yang lebih baik tapi terus-menerus mengeluh seakan-akan kitalah manusia yang paling tidak beruntung? Berapa dari kita yang kemudian malah memilih lari ketimbang menghadapi masalah dengan berani?

Saya harus belajar dari guru-guru SD ini.

***

image

Sungguh. Saya sangat beruntung terpilih menjadi salah satu inspirator Kelas Inspirasi, meskipun pada akhirnya saya malah menemukan bahwa adik-adik ini dan guru-guru SD yang saya temui adalah inspirator sejati yang sebenarnya. Saya-lah yang banyak belajar.

Belajar bagaimana mengikatkan mimpi dan menerbangkannya tinggi-tinggi seperti balon-balon yang pada penutupan Kelas Inspirasi di SD 05 Rawa Badak dilepaskan ke udara. Karena kita yang memilih untuk mengikatkan diri pada mimpi-mimpi kita dan dengan penuh keyakinan mengikuti dan mengajarnya.

Lalu saya berjalan menunduk. Ah, ternyata masih ada kesombongan dalam diri saya. Dari adik-adik dan Guru-Guru SD ini saya belajar lagi. Alhamdulillah atas kesempatan ini.

Hidup Kelas Inspirasi!

“For to have faith, is to have wings” (from Peter Pan by  J.M. Barrie)

Kelapa Gading, 2/3/2013
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
wisnu.sumarwan@yahoo.com
twitter: @wisnuism
streamzoo: @wisnusumarwan

*obrolan singkat di atas adalah reka-ulang obrolan saya dengan Ibu Sopiyah, salah satu guru SD 05 Rawa Badak Utara. Obrolan tersebut tidak tepat seperti itu, tapi saya berusaha untuk tidak menghilangkan esensinya*

*Foto pertama (Ibu Sopiyah) dan foto kedua (Plang Nama SD 05 Rawabadak Utara) saya ambil dengan kamera HP saya. Sementara foto lainnya adalah foto milik Pak Agung, relawan foto untuk Kelas Inspirasi.*

*Berikut adalah foto-foto dokumentasi rekan-rekan inspirator Kelas Inspirasi SD 05 Rawa Badak Utara yang diambil oleh Pak Agung juga. Rekan-rekan saya ini hebat-hebat lho…*

image

image

image

image

image

Impossible Is Nothing… But, Do The Impossible?

image

Banyak tulisan, film, atau kata-kata motivator yang memotivasi dengan “Let’s Do The Impossible“. For me, we can only do something possible! There’s no way to do something impossible!

Bagaimana mungkin kita bisa melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan? Hal yang tidak mungkin dilakukan akan selalu tidak mungkin dilakukan. Coba saja pikirkan bagaimana cara melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan? Tidak akan ada orang yang bisa melakukan hal yang tidak mungkin dilakukan.

Dan mulailah… Seorang motivator menyebutkan nama-nama hebat yang, menurut banyak orang melakukan hal-hal yang menurut mereka impossible. Dan kita pun mengangguk-angguk setuju. Mereka bisa melakukan hal yang tidak mungkin! Kalau mereka bisa, kita juga bisa! Yeay!! But, really?

Bagaimana orang-orang hebat melakukan hal-hal luar biasa dan tidak mungkin itu? I must say… Luar biasa, memang… Mereka melakukan hal yang sangat luar biasa! Salut, menjura dan angkat topi tinggi-tinggi pada mereka. Tapi, melakukan hal yang tidak mungkin? Itu lain cerita. Bagaimana mungkin? Hal-hal itu tidak mungkin benar-benar ‘tidak mungkin’. Dan orang-orang hebat itu memang melakukan hal yang MUNGKIN dilakukan oleh mereka. Jika hal itu tidak mungkin, bagaimana mungkin mereka sudah melakukannya? Simply, karena memang mungkin.

Lantas, bagaimana mungkin?

Sekarang kita lihat para tokoh-tokoh hebat itu. Einstein, Sang Penemu teori Relativitas Energi. Sir Isaac Newton, Bapak Ilmu Fisika Modern. Wright bersaudara, penemu pertama teknologi pesawat terbang. Alexander Graham Bell, penemu pesawat telpon. Mother Theresa, ibu kemanusiaan dunia. Mahatma Gandhi, dengan cinta dan ahimsa. Ernest Hemingway, dengan buku-bukunya yang legendaris. Andy Warhol dengan Pop-Art-nya. Howard Schultz, pendiri Starbucks. Kiichiro Toyoda, pendiri Toyota. Charlie Chaplin, komedian layar perak yang jadi legenda. Ibnu Sina, bapak kedokteran dan pembedahan. Dan banyak lagi orang yang telah melakukan hal-hal yang dikatakan ‘tidak mungkin’ tadi.

Berbagai cerita, kisah atau bahkan mitos, dibangun di sekitar kehidupan mereka. Menjadi legenda yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari tulisan ke tulisan, dari jaman ke jaman. Saya bersyukur atas media dan teknologi penyimpanan data sehingga kisah-kisah tersebut masih bisa diakses hingga detik ini. Memberi inspirasi dan motivasi pada kita (dan terutama saya) untuk berjuang keras untuk mencapai mimpi dan cita-cita hidup kita.

BUT, doing the impossible? It’s impossible!

Tokoh-tokoh itu sanggup menunjukkan persistensi dan konsistensi dalam berjuang, saya yakin, karena mereka TAHU dan MAU melakukan apa yang menurut mereka memang MUNGKIN dilakukan. Mereka tokoh pintar, sangat pintar bahkan, untuk tahu apa yang tidak mungkin dan apa yang memang mungkin dilakukan. Dan mereka melakukan hal-hal luar biasa itu karena memang MUNGKIN. Karena toh, saat ini, kita merasakan hasil kerja mereka. Jadi, waktu telah membuktikan bahwa semua yang mereka lakukan memang MUNGKIN dilakukan. ENTAH, apapun yang dikatakan orang sebelumnya!

Di situlah letak perbedaan antara tokoh-tokoh hebat itu dengan sebagian besar dari kita yang ‘manusia biasa’. Mereka sadar pada diri mereka sendiri, kapasitas mereka, yakin pada mimpi mereka dan mau meluangkan energi dan sumberdaya yang mereka miliki untuk mencapai mimpi-mimpi besar mereka.

Tidak sekaligus. Mereka melakukannya selangkah demi selangkah. Tidak ada yang instan.

***

Once we accept our limits, we go beyond them – Albert Einstein

It is the weight, not numbers of experiments that is to be regarded – Sir Isaac Newton

Sementara, banyak orang yg ‘mentidak-mungkinkan’ dirinya sendiri, tokoh-tokoh itu justru melakukan hal yang sebaliknya, ‘memungkinkan’ hal yang menurut orang lain tidak mungkin. Caranya? Mereka tahu siapa diri mereka sendiri dan belajar tanpa henti. Albert Einstein menerima keterbatasannya. Sir Isaac Newton tidak peduli dengan jumlah eksperimen yang harus dilakukan untuk mencapai tujuannya.

Bagaimana bisa? Karena mereka memilih untuk melihat hal yang berbeda. Mereka memandang tujuan sebagai serangkaian langkah yang mereka sendiri tahu, paham dan yakin bahwa langkah-langkah tersebut memang praktis dan MUNGKIN dilakukan. Mereka paham batas diri mereka sendiri dan mereka bersedia untuk mengorbankan waktu, tenaga dan pemikiran untuk terus mendekati batas itu.

Apa yang dilakukan oleh orang yang mencintai sesuatu? Berusaha mendekati apa yang mereka cintai. Dalam hal ini, mereka ‘mencintai’ keterbatasan yang mereka miliki dan berusaha mendekati batas tersebut.

image

***

Jadi, jangan mimpi melakukan hal yang tidak mungkin. Sekali tidak mungkin maka selamanya itu tidak mungkin. Sesuatu yang kita PIKIR tidak mungkin, baru akan bisa dilakukan jika kita sanggup membuatnya jadi MUNGKIN. Untuk apa pusing melakukan hal yang tidak mungkin, sementara ada jutaan kemungkinan yang bisa dilakukan?

Persiapan, belajar dan usaha keras yang terus-menerus. Lihat dari sisi yang memang ‘memungkinkan’. Gunakan rasio dan perhitungan kita sendiri. Meskipun semua orang berkata bahwa itu tidak mungkin. Bisa jadi, mereka hanya tidak melihat yang anda lihat. Lakukan dengan perhitungan!

Jangan-sampai kita hanya jadi keras kepala…

Kelapa Gading, 27/11/2012
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
Twitter & Streamzoo: @wisnusumarwan

Dan sering, masalahnya bukan terletak pada ‘mungkin atau tidak mungkin’. Melainkan pada ‘mau atau tidak mau’.

image

Gambar saya ambil dari:
*http://24.media.tumblr.com/tumblr_lryw5nTmQC1r34zkwo1_500.jpg

*http://dontgiveupworld.com/wp-content/uploads/2011/10/Motivational-Wallpaper-on-Impossible-is-Nothing.jpg

* http://www.stratabridge.com/wp-content/uploads/2012/03/Impossible-is-Nothing.jpg

Krisislah, sebelum Engkau Dikrisiskan

image

Gara-gara twit mentor virtual saya Mumud, alias @MudaSukses, saya jadi tergoda untuk menulis. Saya merasa twitnya benar seada-adanya benar. Twitnya begini:

@MudaSUKSES: Bisnis selalu terlihat baik? bisa jadi karena ada “gunung es” yang blom terlihat.. Perhatikan hal2 detil.. (»’⌣’«)”

Jedar!!!

***

Membaca twit tadi, mendadak saya seperti disadarkan. Bagi entrepreneur (apalagi yang mulai dari nol bolong seperti saya dan teman-teman), kondisi yang tenang dan baik-baik saja adalah surga setelah setiap hari rasanya selalu dalam tekanan.

Apalagi, banyak entrepreneur yang meletakkan Financial Freedom alias Bebas Finansial sebagai target usaha. Alias, banyak yang menginginkan untuk bebas dari pekerjaan, bisa jalan-jalan, santai, ketawa-ketawa, tapi tetap bisa kipas-kipas pake duit alias penghasilan tetap mengalir. Bener… Apa bener, hayoooo? 🙂

Hati-hati…

Kombinasi antara tekanan yang terjadi setiap hari ditambah mimpi bebas finansial bisa membuat kondisi yang (hanya) AGAK tenang dan (hanya) AGAK baik-baik saja, terasa seperti masuk ke dalam sebuah ruang nyaman di sebuah hotel berbintang-5. Ibaratnya, setelah panas-panasan di bawah cuaca terik jam 12 siang, berteduh di bawah pohon sangat menyenangkan apalagi masuk ke dalam ruangan (yang ber-AC pula!). Di saat krisis terjadi setiap hari, ‘mulai membaik’ kerap terasa seperti ‘sudah sangat baik’. Ada ‘ilusi’ ketenangan.

Alhasil, Sang Entrepreneur terlena untuk memperlakukan bisnisnya seperti bisnis yang sudah bisa memberikan kebebasan finansial. Ia mulai enggan bekerja tepat waktu. Sering melakukan kegiatan-kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan bisnis. Mulai menikmati label ‘Pengusaha Sukses’. Mulai mengendurkan pengawasan. Lamban berubah dan kehilangan ketelitiannya. Mulai memaklumi kesalahan (baik yang dilakukan orang lain atau dirinya sendiri). Mulai ‘merasa’ bahwa bisnisnya bisa berjalan dengan sendirinya alias autopilot.

Secara tidak sengaja ia jadi enggan berinovasi. Kalau ditanya, ia menjawab, “Ah, sudah ada karyawan yang melakukan itu”. Kalau ada yang tidak beres, senang menyalahkan situasi dan orang lain terutama karyawan.

Kalau diringkas, ia sudah mulai SOMBONG dengan keberhasilannya yang sebenarnya belum seberapa.

Ia hanya kena ‘Ilusi Sukses’!

***

Hal yang cukup mengerikan untuk saya adalah: beberapa gejala di atas muncul dalam diri saya. Amit-amit… *ketok-ketok meja*. Alhamdulillah, sih, tidak terjadi lama-lama. Saya segera disadarkan oleh situasi. Dan kebetulan yang menyenangkan adalah saya orang yang senang bertanya pada diri sendiri “apa yang berubah dari saya?”. Pertanyaan ini yang kemudian menjawab dan membuat saya bisa melihat mulai munculnya gejala-gejala tadi dalam diri saya.

Sombong bersahabat dengan Kejatuhan.

Contohnya? Banyaaaaaaaak! Hampir semua pemimpin yang gagal berawal dari kesombongan.

Jangan sampai kita (termasuk saya!) jadi bagian dari mereka. Naudzubillah

***

Seringkali krisis muncul karena perasaan bahwa semua dalam keadaan baik-baik saja. Membuat kita tidak waspada terhadap ‘gunung es bahaya’ yang tersembunyi di bawah permukaan. Padahal…

Krisis kerapkali muncul atau menjadi semakin berbahaya justru karena orang-orang yang ada di dalamnya tidak dalam kondisi siaga. Menganggap bahwa jika tidak ada tanda bahaya, maka tidak perlu bersikap waspada. Menjadi terlena dengan ‘ilusi sukses’ yang sebenarnya adalah proses menumbuhkan ‘duri dalam daging’ menjadi belati tajam yang siap menikam.

Lantas, bagaimana?

Menurut saya, diperlukan sikap rendah hati yang sangat besar dari seorang Entrepreneur sejati. Tidak usah terlalu terobsesi dengan ‘kebebasan finansial’. Membesarkan mimpi, tidak sama dengan membiarkan diri kita ditelan mimpi. Diri kita harus selalu lebih besar dari mimpi kita. Jangan jadi delusional. Jadilah rasional. Mungkinkah kebebasan finansial dicapai dalam waktu sangat singkat yang malah cenderung terlalu singkat?

Jikapun kita merasa sudah bebas finansial, hal itu karena memang bukti-bukti objektifnya sudah menunjukkan. Bukan karena ilusi yang muncul akibat kesuksesan kecil yang dikuatkan dengan kesombongan.

Membangun Sense Of Crisis. Bangun! Terjaga! Lihat! Seperti apa bisnis kita sekarang? Perbaiki, bahkan jika situasinya kita rasa sudah baik. Karena bisa jadi (!), kita hanya MERASA baik. Terus kembangkan. Tidak hanya mengembangkan bisnis, namun juga mengembangkan diri. Latih diri kita untuk bersyukur dan rendah hati. Bahwa tidak ada yang sempurna. Dan tidak ada jalan singkat untuk sempurna. Bahwa selalu ada yang bisa diperbaiki. Selalu ada yang bisa dipelajari.

Krisislah sebelum kita dikrisiskan. Sebelum kita menyesal.

Kelapa Gading, 8/11/2012
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
Twitter & Streamzoo: @wisnusumarwan

image

*Gambar diambil dari:

Bisnis Adalah Belajar

image

Dulu waktu saya mendirikan bisnis Rumah Sushi bersama sahabat-sahabat saya, saya tidak membayangkan bahwa akhirnya saya harus mempelajari Financial Management (yang sangat erat hubungannya dengan akuntansi). Hal yang dulu membuat saya alergi. Saya tidak bisa membayangkan tabel-tabel yang begitu banyak plus angka-angka yang membingungkan.

Saya cukup panik saat dulu harus memulai mempelajari itu. Ingatan saya tentang akuntansi adalah saya pernah melihat guru akuntansi saya jaman SMA menimpuk penghapus papan tulis ke muka teman saya yang kedapatan menguap. Yah, siapa sih yang gak akan bosan melihat angka-angka aneh yang entah asalnya darimana itu? Hahahahaa… *Siap-siap ditimpukin oleh para akuntan!*

Bahkan, saya sempat berpikir bahwa itulah yang paling rumit dalam bisnis meskipun pada akhirnya dengan sangat terpaksa, saya toh mempelajari juga. Dari awalnya yang saya pusing luar biasa, sampai akhirnya (meskipun belum terlalu ahli dan masih perlu banyak belajar) saya bisa juga berkata “Eh, kok, ternyata menyenangkan juga, yaaaa…”

Setelah sistem keuangan mulai rapih dan saya mulai bernapas lega (karena saya pikir saya telah berhasil melewati titik tersulit), ternyata saya salah. Ada titik lain yang ternyata, menurut saya, lebih sulit. Jauh lebih sulit, bahkan. Walla!!! HRD alias Human Resources Development alias lagi Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Saat tulisan ini saya buat, saya masih dalam proses meraba-raba. Saya masih belum menemukan titik temu antara masalah yang terjadi dengan solusi yang seharusnya dibuat. Alhamdulillah, proses-proses ini tidak saya lakukan sendirian. Ada sahabat-sahabat saya yang juga sebegitu getolnya belajar. Alhamdulillah…

***

HRD saat ini tampak begitu sulit di mata saya. Beda mendasarnya dengan Financial Management adalah HRD bukan hal yang gampang untuk diubah menjadi angka-angka yang pasti. Semua serba tidak pasti. Bukan sekadar menghitung absensi, gaji, tunjangan, bonus, dan sebagainya. Lebih dari itu sehingga saya menyimpulkan sementara bahwa mengelola SDM adalah mengelola ketidakpastian tingkat tinggi.

HRD adalah pengelolaan manusia yang punya perasaan dan pemikiran yang berubah-ubah. Apalagi jika jumlah orangnya cukup banyak. Makin banyak kepala, makin banyak pikiran dan perasaan yang berbeda dan harus dikelola agar produktif dan membawa kebaikan untuk perusahaan dan orang-orang yang terkait dengannya. Dalam bahasa visi kami adalah Kesejahteraan Bersama.

Sejahtera adalah kata yang sangat sulit dicari standardisasinya. Padahal saya yakin, kesejahteraan adalah hal yang dicari semua orang (selain bahagia). Gaji tinggi tidak menjamin bahwa karyawan akan memiliki engagement yang tinggi pula. Ada hal-hal lain di luar gaji, insentif uang dan atau yang non-uang. Ada kenyamanan bekerja, kerjasama team, perasaan berkembang, ruang bernapas, rasa aman dan sebagainya yang merupakan ‘bonus’ yang sangat sulit didefinisikan namun punya arti yang sangat penting.

Ditambah, sistem pendataan HRD yang memiliki logika berbeda dengan Financial Manegement yang berbasis angka, logika yang sebelumnya menjadi pola pikir saya.

***

Untuk hal ini saya jadi ingat sebuah quote:

“All things are difficult before they are easy – Thomas Fuller”

Dan sesuatu tidak akan jadi mudah begitu saja dengan sendirinya. Sulit atau mudah bukan terletak pada ‘apa’ objeknya, tapi pada ‘siapa’ yang melakukannya. Itu sebabnya sulit atau mudah adalah hal yang subjektif. Memasak mudah untuk si A, sulit untuk si B. Si B sangat mudah untuk berbicara di depan umum, sementara si A mengucapkan salam saja sudah gemetaran.

Objek pembelajarannya, ya, begitu-begitu saja. Netral, tidak akan mempermudah atau mempersulit. Yang membuat sulit atau mudah adalah subjek yang terus berubah saat melakukannya melalui proses PEMBELAJARAN. Si orang itu berubah ke arah mana? Maju, diam atau malah mundur? Dia yang menentukannya sendiri apakah sesuatu jadi sulit, biasa saja atau malah mudah. Dalam buku Outliers, Malcolm Gladwell melalui risetnya menyebutkan bahwa untuk mendapatkan kualitas kelas dunia, seseorang minimal harus berlatih selama 10.000 jam.

Ok! Mari kita lupakan 10.000 jam itu. Sekarang kita tanyakan pada diri kita sendiri, berapa jam dalam sehari yang sudah kita luangkan untuk mempelajari hal kita anggap sulit itu? 1, 2, 3, 10 Jam? Atau malah kita dengan mudah bosan, mengeluh lalu meninggalkan apa yang seharusnya kita pelajari? Mengutip kata-kata partner saya sendiri, Mas Riswan Helmy: “Bakat adalah apapun yang kita pilih sendiri untuk dilakukan dengan fokus setiap hari“.

Mari kita hitung sekarang. Jika kita meluangkan waktu 2 jam sehari untuk berlatih dan mempelajari hal yang ingin kita kuasai, maka kita akan mendapatkan keahlian kelas dunia dalam waktu 13,69 tahun! Jika kita hanya ingin 1/2 kelas dunia, kita butuh berlatih selama 6,84 tahun! Jika ingin 1/4 kelas dunia, kita butuh 3,42 tahun!

Well, menurut anda, jika yang disebut kelas dunia adalah Bill Gates, maka apakah 1/4 kelas dunia tidak hebat? Wow! Bahkan orang yang ‘hanya’ memiliki kualitas 1/4 kelas dunia pun sudah masuk kategori sangat hebat!

Lantas? Kembali ke pertanyaan sebelumnya, sudahkan kita meluangkan waktu? Berapa lama dalam sehari?

***

Saya tidak bermimpi jadi HRD atau Finance Manager kelas dunia. Saya hanya ingin menyelesaikan masalah yang saya hadapi dengan cara yang manis. Maka, saya hanya perlu meluangkan waktu untuk belajar. Karena, fakta sudah membuktikan bahwa bisnis adalah proses belajar yang mungkin tidak akan kunjung usai apalagi dalam waktu dekat. Setelah ini pasti akan ada hal lain lagi yang harus saya luangkan waktu untuk mempelajarinya, meskipun sebelumnya saya akan menganggapnya sulit. Lagi, saya yang memilih. Kita yang memilih. Kita sendiri yang menentukan, apapun itu nanti, apakah akan jadi sulit, biasa saja atau mudah. Siapa tahuuuuuu, kelak kita akan mendapatkan kualitas kelas dunia. Amin.

BISNIS (atau bidang apapun juga, sebenarnya) adalah selalu dan akan selalu tentang BELAJAR…

Selamat Belajar…

Kelapa Gading, 31/10/2012
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
Twitter & Streamzoo: @wisnusumarwan

image

*gambar saya ambil dari:
1. http://www.bigstockphoto.com/blog/wp-content/uploads/2011/01/bigstock_Woman_Cliff_Climbing_Over_Ocea_3913875.jpg
2. http://studentphotos.asu.edu/sites/default/files/imagecache/lightbox/Sun%20Devil%20Sunset.jpg

POWER by Being Helpful

Yeah! I believe that we all must have some power to keep going on. We have to posses some actual power and, don’t forget, to feel a sense of power belonging within. Kita harus punya hasrat atas kekuatan dan kekuasaan! Dan benar-benar berusaha mendapatkannya.

image

***

BUT…

We need more power over ourselves, much much much more than the power over others. Kekuatan yang lebih dibutuhkan adalah kekuatan atas diri kita sendiri. Bahwa kita berkuasa atas hidup dan nasib kita sendiri. Kekuatan dan kekuasaan yang muncul dari kesadaran bahwa kita sendirilah yang menentukan arah dan tujuan hidup kita. BUKAN kekuasaan terhadap orang lain! Saya yakin, kita bisa memiliki kekuatan dan kekuasaan itu tanpa perlu mengalahkan siapapun. Kita bisa menang tanpa perlu ada yang kalah.

Kata kuncinya adalah: KESADARAN POTENSI dan Kesadaran bahwa orang lain juga memiliki potensi yang sama besarnya.

Kita memiliki potensi untuk jadi kuat dan berkuasa atas nasib dan hidup kita sendiri. Sulitkah membangun kesadaran itu? Ya, untuk sebagian orang sulit. Mengapa? Karena saat kita belajar menjadi dewasa, kerap secara tidak sadar kita juga membangun tembok tinggi di sekitar kita. Tembok yang akhirnya mempengaruhi cara pandang kita terhadap diri sendiri dan dunia di sekitar kita, berikut segala kesulitan, tantangan, masalah dan kesempatan yang terjadi. Tembok yang menjadi batasan-batasan terhadap apa yang membuat kita bisa merasa mampu melakukan sesuatu atau sebaliknya merasa lemah dan tidak berdaya.

***

Salah siapa? Tidak ada yang patut dipersalahkan karena kita tidak bisa memilih dengan cara apa kita dibesarkan di masa lalu. Kita tidak bisa memilih dalam keluarga dan dari orang tua seperti apa yang menjadi awal hidup kita. Kita juga tidak bisa memilih kapan dan di lingkungan seperti apa kita dilahirkan. Itu hal yang tidak tertolakkan.

Kalau begitu itu nasib yang harus kita terima begitu saja?

YA! Apa yang sudah terjadi di masa lalu kita adalah nasib yang memang tidak bisa diapa-apakan lagi. Memang begitulah yang sudah terjadi.

TAPI…

Sepanjang pikiran dan jiwa kita masih cukup sehat, kita bisa memilih apa yang bisa kita lakukan saat ini. Menentukan dan mengambil keputusan-keputusan penting. Dan salah satu keputusan terpenting dalam hidup kita, menurut saya, adalah apa yang akan kita lakukan terhadap ‘tembok’ yang mungkin menghalangi pandangan kita terhadap masa depan.

Apa yang bisa kita lakukan?

***

Kita harus ‘merebut’ kekuatan dan kekuasaan itu. Dari siapa? Dari pikiran kita sendiri yang selama ini mungkin mengatakan bahwa kita lemah dan tidak mampu.

Banyak orang yang melakukan afirmasi berulang-ulang, yang katanya mampu mempengaruhi bawah sadar kita. Then, ternyata pada beberapa orang afirmasi yang dilakukan ternyata tidak cukup kuat sampai akhirnya mereka berhenti mengafirmasi sebelum mereka jadi cukup berkuasa atas hidup mereka sendiri.

Apakah cukup mengafirmasi berupa kata-kata?

Menurut saya, Tidak! Kekuasaan adalah hal yang lebih dari sekadar kata-kata. Ada implementasi dan aplikasi kekuasaan di dunia nyata. Kekuasaan adalah kekuatan untuk mengendalikan (diri sendiri dan atau orang lain). Artinya? Butuh tindakan untuk merebut kekuasaan. Tidak cukup hanya dengan (mencoba) mengafirmasi berupa kata-kata yang diucapkan dalam otak sambil berkaca di depan cermin (Ini kan yang dilakukan banyak orang?).

image

Push the Power Button!

***

Being Helpful!

Menolong adalah hal yang hingga akhir tahun 2012 ini (dan seterusnya) masih sangat relevan untuk dilakukan. Menolong tidak hanya mengubah nasib orang yang ditolong, justru lebih banyak mengubah orang yang menolong.

Menolong meningkatkan perasaan bahwa kita adalah orang yang mampu melakukan sesuatu. Berperan dalam membuat kebaikan hidup orang lain. Membuat kita menjadi tangan di atas (dengan catatan: tidak membuat orang lain merasa sebagai tangan di bawah).

Menolong membuat kita merasa berperan dalam melakukan perubahan. Terutama, mengubah diri kita sendiri. Kebiasaan membantu dan menolong orang lain, sedikit demi sedikit akan meruntuhkan ‘tembok’ tinggi yang selama ini menutupi ‘mata’ kita dari melihat masa depan. Tidak perlu langsung ikhlas, tapi kita wajib untuk berusaha ikhlas.

Menolong adalah bentuk afirmasi kuat yang muncul dari tindakan. 1 kali tindakan menolong punya kekuatan lebih dibanding kata-kata yang diucapkan. Kebiasaan menolong akan mengubah cara pandang kita terhadap diri sendiri, yang pada akhirnya memiliki potensi mengubah perilaku, sikap kebiasaan, karakter dan akhirnya nasib kita.

Menolong membantu kita melihat dunia. Bahwa, sekecil apapun bantuan atau pertolongan kita pada orang yang membutuhkan (atau pada lingkungan) akan sedikit membuat dunia menjadi lebih baik. Menolong membuat kita memiliki arti. Bahwa kita cukup punya kekuatan dan kekuasaan atas diri kita sendiri.

Jika ada yang merasa perlu berhitung-hitung saat menolong, coba dimasukkan juga dalam hitungannya bahwa saat kita menolong dan membantu orang lain yang membutuhkan, kita juga tertolong. Tertolong dari perasaan tidak berarti. Karena di posisi manapun saat ini, kita selalu punya arti.

Being Powerful by Being Helpful

Kelapa Gading, 5/10/2012
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
Twitter & Streamzoo: @wisnusumarwan

*Ditulis sambil mendengarkan Beyonce – I Was Here*

image

*gambar diambil dari:
1. http://www.pollutionissues.com/photos/electric-power-3592.jpg
2. http://rosserchiro.com/wp-content/uploads/2012/08/power.jpg
3. http://www.wellnesscoach.com/wp-content/uploads/2007/10/helping-hands.jpg

I’m a Scorpio

image

Catatan: Berikut ini hanya curhatan…

Saya sedang bete luar biasa. Entah apa sebabnya. Yang jelas, ini sangat menganggu saya dan pastinya orang-orang yang ada di sekitar saya. Saya adalah pribadi yang sangat buruk ketika saya sedang dilanda bete alias bad-mood. Hampir tidak ada satu pun yang bisa dilakukan oleh siapapun untuk menghibur saya sampai saya sendiri yang memutuskan untuk menghentikan bad-mood yang sedang saya alami.

Entahlah, ada hubungannya atau tidak. Yang jelas, sering sekali masalah bad-mood saya ini dikaitkan dengan masalah astrologi alias ramalan bintang. Saya Scorpio. Scorpio sering digambarkan sebagai orang yang penuh determinasi. Termasuk masalah bad-mood ini. Scorpio tetap terdeterminasi. Scorpio tidak pernah membiarkan dirinya (termasuk perasaannya) ada di tangan orang lain, begitu kata ramalan. Jadi, menghibur seorang Scorpio dengan kata-kata indah nyaris tidak ada gunanya. Scorpio hanya meletakkan nasibnya di tangannya sendiri (selain di tangan Tuhan, tentu saja).

Di luar pengaruh perbintangan yang saya sendiri kurang yakin atas kebenarannya, ya, memang, saya bukan orang yang bisa dihibur. Cuma saya yang menghibur diri saya sendiri, dengan perhitungan-perhitungan logika yang kadang-kadang tidak dimengerti orang lain. Saya orang yang tidak bisa dihibur dengan kata-kata sejenis, “Tenang, semua masalah pasti ada jalan penyelesaiannya”. Atau penghiburan sejenis itu.

Dalam benak saya adalah: “Ya, memang benar bahwa setiap masalah ada penyelesaiannya. Kalau tidak ada penyelesaian, ya, berarti itu bukan masalah. Jangan nasehati saya jika maksud anda hanya ingin mengatakan itu. Saya sudah tahu itu. Lebih jauh, setiap masalah tertentu membutuhkan penyelesaian yang tertentu pula. Setiap masalah adalah unik, maka penyelesaiannya unik juga. Yang saya butuh BUKAN mengetahui bahwa setiap masalah ada penyelesaiannya. Apalagi jika itu hanya berniat menghibur saja. Itu sudah terlalu jelas.

Tanpa perlu jadi seorang Scorpio, kita semua sudah mengetahui. Yang perlu saya ketahui adalah: Itu masalah apa? Seperti apa susunannya? Komponennya? Bagaimana saya harus memandangnya? Apa saja alternatif yang saya punya? Seperti apa perhitungan resikonya? Sekali lagi, jangan mencoba menghibur saya dengan cara seperti memberikan permen lolly ke bocah yang sedang menangis. Manisnya permen lolly tidak akan berhasil membuat saya terhibur karena saya tahu bahwa permen lolly tidak akan pernah bisa memecahkan masalah”.

Penghiburan buat saya sesederhana: mengetahui konstelasi masalah yang terjadi. Tidak perlu sampai melihat solusi. Bisa melihat duduk perkaranya saja, untuk saya sudah merupakan sebuah penghiburan. Dan biasanya, solusinya muncul segera setelah duduk permasalahan berhasil diketahui. Sekali lagi, entahlah jika ini berhubungan dengan astrologi. Masalah untuk Scorpio adalah tidak mengetahui apa masalah yang sebenarnya terjadi. Scorpio adalah orang yang empiris, sangat butuh bukti yang terukur. Tidak mengetahui inti permasalahan, untuk saya (mungkin juga seluruh scorpion) adalah lebih masalah daripada masalahnya sendiri. Dan saya merasakan hal itu. Bisa menjelaskan ujung pangkal sebuah masalah untuk saya adalah 75% dari proses penyelesaian masalah. 25% lainnya, cuma teknis belaka.

Kata-kata indah seperti “When there’s a will, there’s a way“, untuk saya, ya, ibarat permen lolly itu tadi. Dan untuk kasus seperti ini saya tidak butuh permen lolly…

Kenyataan. Itulah hiburan untuk saya. Karena hanya dengan mengetahui apa yang nyata dan sebenarnya terjadi, maka saya (dan saya yakin kita semua) bisa menemukan solusinya. Maka, saya sangat benci jika ada orang yang mencoba-coba menyelesaikan masalah yang mereka sendiri tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya. Menebak-nebak masalah hanya akan mendapatkan solusi yang tebak-tebakan juga. Saya suka memecahkan misteri tapi saya tidak suka main tebak-tebakan. Misteri hanya bisa dipecahkan dengan data dan fakta, bukan asal tebak. Itu keyakinan saya.

Mencoba-coba menyelesaikan masalah tanpa tahu duduk permasalahannya, dengan sukses akan memecahkan masalah yang bukan masalahnya. Yang kemudian akan membuat kita berputar-putar tak tentu arah. Berputar-putar dari satu masalah ke masalah lainnya tanpa pernah menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Syukur-syukur jika selama proses berputar-putar itu tidak muncul masalah baru. Karena seringkali itulah yang terjadi, masalah jadi berlipat ganda.

Dan saya lebih pusing lagi pada orang yang bahkan tidak mau duduk sebentar untuk menelaah masalah dan tiba-tiba saja sudah sibuk melakukan ini-itu yang ternyata hanya sekumpulan printilan! Bahkan ia tidak tahu ada masalah lain yang lebih berbahaya di baliknya! (Saya tidak bisa membayangkan jika orang seperti ini jadi pejabat tinggi, di pemerintahan misalnya).

Saya masih manusia yang perlu banyak belajar. Ilmu dan pengetahuan saya masih sangat dangkal. Jadi, saya butuh banyak bantuan. Dan…

Bimbing saya melihat permasalahan secara lebih jernih. Bantu saya mempelajari situasi secara tepat dan proporsional. Tidak ada yang terlalu sulit jika sesuatu sudah cukup terang dan jelas. Kata-kata indah dan manis sering menyesatkan sehingga tidak perlu masuk perhitungan.

Saya Scorpio dan, saya tidak tahu apakah ada hubungannya atau tidak jika, saya lebih suka memegang ular tepat di kepala, menatap matanya tajam-tajam, sebelum memutuskan apakah saya akan benar-benar membunuhnya atau hanya membiarkannya pergi.

Adakah yang sama seperti saya?

Jakarta, 21/9/12
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
@wisnusumarwan

*gambar saya ambil dari: http://www.factzoo.com/sites/all/img/invertebrates/arachnid/yellow-isreali-scorpion.jpg.

*Gambar tersebut adalah Leiurus quinquestriatus (umumnya disebut Palestine Yellow Scorpion, Omdurman Scorpion atau Israeli Desert Scorpion; terkenal juga dengan sebutan Deadstalker). Spesies Kalajengking ini adalah salah satu hewan paling mematikan di muka bumi dan jenis kalajengking paling beracun. Bisanya sanggup membunuh manusia. Uniknya adalah, ternyata dari hasil penelitian, racun Deadstalker berpotensi untuk menyembuhkan tumor otak, diabetes dan dapat digunakan dalam terapi gen.*

*Ah, semoga bete saya cepat berakhir dan tidak sering kambuh lagi. Rasanya tidak enak. Bener!*

Dignity

image

(Di sebuah panti asuhan di Jakarta, 12/8/2012, sekitar pukul 3 dini hari. Saatnya Sahur, karena saat ini Bulan Puasa Ramadhan, hari ke-22)

(Setting: sebuah bangunan yang gedung bagian depannya sepertinya dibangun jaman belanda dengan jendela-jendela kayu tinggi berwarna hijau gelap. Dindingnya tampak tua, meskipun bersih dan terawat. Sementara, di belakangnya tampak sebuah lapangan tertutup konblok. Lapangan itu dikelilingi bangunan lain seperti barak. Di ruang-ruang barak itulah, tinggal puluhan anak asuh. Barak sebelah kiri adalah ruang tinggal anak laki-laki, dan sebelah kanan untuk anak perempuan. Ada 2-3 tempat tidur bertingkat dalam masing-masing ruangan yang terlihat selalu dijaga kebersihannya. Tampak rapih dan teratur

Di lapangan konblok itulah tampak meja-meja kelas disusun-susun sedemikian rupa untuk tempat kami sahur bersama malam ini. Gedung panti asuhan ini sekaligus adalah sebuah bangunan sekolah dasar. 2 buah pohon besar menaungi. Tampak bulan sabit dan bintang-bintang di langit yang cerah)

(deskripsi: kami baru saja selesai sahur. Seorang anak asuh laki-laki duduk di antara kami. Jauh dari teman-temannya yang ada di sisi lain meja)

(Saya duduk di sebelah seorang anak laki-laki)

Saya: (senyum) Adek, namanya siapa?

Anak laki-laki: (memandangi bungkusan berisi snack-snack kecil yang biasa dijual di warung, lalu berkata pelan) Faqih…

Saya: (memeluk bahunya, lalu mendekatkan telinga padanya) Siapa?

Anak laki-laki: (lirih, masih memandangi bungkusan) Faqih.

Saya: (masih memeluk bahunya) Kelas berapa, Faqih?

Anak laki-laki: (terus memandangi bungkusan) Kelas 4.

Saya: (melebarkan senyum) Wah, hebat dong udah kelas 4 SD. Paling suka pelajaran apa?

Anak laki-laki: (pelan) Bahasa Indonesia…

Saya: (senang) Sama dong kayak Kakak. Kakak juga paling seneng pelajaran Bahasa Indonesia. Hmmm… Emang Faqih kalo udah gede mau jadi apa?

Anak laki-laki: (diam dan tetap memandangi bungkusannya)

Saya: (mengulang pertanyaan) Faqih, cita-citanya apa?

Anak laki-laki: (masih memandangi bungkusannya, lalu menggeleng)

Saya: (menghela napas, namun berusaha tetap tersenyum) Wah, Faqih harus punya cita-cita. Trus sekolah yang rajin, biar pinter. Biar tercapai cita-citanya. Seneng gak di sekolah?

Anak laki-laki: (mengangguk, matanya masih memandangi bungkusan. Lalu ia menjawab, nyaris tanpa ekspresi) Seneng…

Saya: (senyum) Kok, jawabnya gak liat kakak, sih? (senyum) Faqih, di sini temen deketnya siapa?

Anak laki-laki: (memandang mata saya sebentar lalu memandang jauh entah kemana dan menunduk lagi) Banyak… Temen Faqih banyak…

Saya: Yang paling akrab siapa?

Anak laki-laki: Robi…

Saya: Sekarang, Robi ada dimana?

Anak laki-laki: (memandangi ruangan barak) Ada di kamar…

Saya: Faqih, mau main sama Robi, ya?

Anak laki-laki: (mengangguk pelan)

Saya: (senyum) Ooh… Bilang, dong…

Anak laki-laki: (diam, memandangi bungkusan)

Saya: (senyum) Ya, sudah. Makasih ya Faqih udah mau ngobrol sama Kakak. Silakan cari Robi, yaaa… (menjulurkan tangan, mengajaknya bersalaman)

Anak laki-laki: (berdiri, menjulurkan tangannya lalu mencium tangan saya)

Saya: (ingin menarik tangan, karena saya tidak nyaman dicium tangan. Tapi, saya biarkan karena takut menyakiti perasaannya)

Anak laki-laki: (segera berlalu)

Faqih: seorang bocah kelas 4 SD asal Bandung. Ibunya sudah meninggal. Tiba di panti asuhan ini karena diantar oleh ayahnya.

(berpikir)

***

Apa yang hilang dari bocah itu? Apa yang hilang dari Faqih?

Faqih yang pendiam. Faqih yang penurut. Faqih yang tidak mengungkapkan cita-citanya, entah karena tidak berani bilang atau karena memang tidak punya cita-cita. Faqih yang tidak berani bergerak dari kursinya sebelum disuruh. Faqih yang tidak nyaman berada di tengah kami, tapi juga tidak berani untuk pergi. Faqih yang tidak tahu cara berbicara dari mata ke mata. Faqih yang tidak tahu harus berbuat apa selain memandangi bungkusan snack sambil memilin-milin plastiknya. Faqih yang selalu menjawab pelan dengan raut datar tak berekspresi. Faqih yang mencium tangan lalu pergi tanpa menengok lagi…

Saya tidak bisa membayangkan apa rasanya menjadi Faqih. Di usia yang begitu muda harus ditinggalkan oleh sang Ibu dan kemudian dititipkan oleh sang Ayah ke panti asuhan. Dari Bandung ia datang ke Jakarta yang keras.

(Saya sempat terpikir. Apakah di Bandung tidak ada Panti Asuhan sehingga Faqih harus dibawa ke Panti Asuhan di Jakarta? Apakah ayahnya bekerja di Jakarta, sehingga Faqih juga harus dibawa Jakarta? Kerja apa ayahnya? Mengapa ayahnya meninggalkan Faqih di sini? Dimana ayahnya saat ini? Apakah Faqih masih sering bertemu dengan ayahnya itu? Tidak adakah keluarga yang bersedia menampungnya hingga ia harus terdampar di sini? Dst… dst… dst…)

Saya masih bisa ingat, saat saya kelas 4 SD saya dengan lantang bisa menjawab, “Saya mau jadi dokter!”. Meskipun kemudian saya batal jadi dokter, tapi sedikit banyak cita-cita masa kecil adalah salah satu hal yang membuat saya ada di sini sekarang.

Kenapa Faqih tidak?

***

Dan teringatlah saya pada sebuah artikel dalam sebuah e-book berjudul “What Matters Now” yang dirilis secara gratis via online tahun 2010. Buku itu berisi artikel dari puluhan blogger internasional mengenai apa yang menurut mereka penting pada tahun 2010 (dan sampai tahun 2012 ini saya ternyata masih menganggapnya penting).

Artikel yang saya maksud berjudul “Dignity” yang ditulis oleh Jacqueline Novogratz pendiri Acumen Fund, sebuah lembaga nirlaba global yang menggunakan pendekatan-pendekatan entrepreneurial dalam mengentaskan kemiskinan di dunia.

“the state or quality of being worthy of honour or respect – oxford dictionaries dot com”

“1 calm and serious manner that deserve respect; 2 The Fact of being given honour and respect by people; 3 A sense of your own importance and Value – Oxford Advance Learning Dictionary”

It’s easy to take dignity away from someone but difficult to give it to them – Jacqueline Novogratz from Dignity in What Matters Now

Faqih, bisa jadi, adalah salah satu anak yang telah terenggut dignity-nya. Dunia meninggalkan dia begitu saja di sebuah panti asuhan. Ibunya meninggal dan ayahnya menitipkan dia di sana. Faqih terlalu kecil dan rapuh untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Bisa jadi, dia hanya mengetahui bahwa dunia tidak lagi menginginkannya. Ia disingkirkan dari dunia, dikucilkan di sebuah panti. Faqih dijauhkan dari keluarganya. Faqih dicerabut dari akarnya. Faqih, bisa jadi, merasa dirinya tidak berharga! (Saya sampai menitikkan air mata saat menulis kalimat ini)

Saya tidak tahu apa rasanya merasa tidak berharga. Saya dididik di sebuah keluarga yang saling menghargai. Bahwa semua orang adalah berharga. Saya berharga. Saya beruntung. Saya beruntung sekali… Saya tidak tahu apa rasanya jadi Faqih… Saya bahkan tidak berani membayangkannya.

Perasaan berharga dan layak berada di atas dunia yang membuat saya mampu bertahan dan memperjuangkan setiap inchi hidup saya. Bahwa tidak ada hal yang bisa membuat saya terluka atau sakit selain diri saya sendiri. Karena sayalah pemimpin untuk  hidup saya. Bukan dunia, bukan orang lain. Hanya saya dan Tuhan yang mampu menentukan bagaimana hidup saya kelak. Saya menentukan cita-cita saya, menentukan keinginan saya, menentukan mimpi saya, menentukan jalan saya, menentukan kemana saya melangkah dan menentukan bahwa saya akan terus melangkah. Karena, saya sadar bahwa saya: BERHARGA.

Faqih?

Faqih saat ini menghuni panti asuhan. Dia juga beruntung. Dia dikelilingi dengan teman-teman yang senasib dengannya. Dia diasuh oleh bapak asuh dan ibu asuh yang berdedikasi. Bapak dan Ibu Asuh yang mengajarkan bagaimana hidup rapih dan teratur. Shalat pada waktunya. Makan pada waktunya. Mandi pada waktunya. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan tempat tinggalnya. Disiplin terhadap dirinya sendiri. Untuk dirinya sendiri.

Faqih justru memiliki kans besar untuk sukses. Dia dan teman-temannya sejak dini sudah diajari untuk mandiri, untuk bekerja keras. Faqih dan teman-temannya mungkin tidak ‘seberuntung’ kita yang hidup bersama dengan orang tua kandung dan bisa bermanja-manja. Tapi, Faqih dan teman-temannya, dididik untuk kuat, untuk hidup di dunia yang nyata bahkan sejak awal hidupnya.

image

Mereka tidak beruntung? Kita perlu sedikit mengubah cara pandang kita terhadap mereka. Dari sudut pandang yang berbeda, mereka juga beruntung. Mereka dan kita, setara! Jalan kita mungkin berbeda, tapi kita sama-sama manusia. Manusia yang berharga.

Tangan di Atas lebih baik dari tangan Di bawah

Kita beruntung bahwa kita masih bisa memilih untuk meletakkan tangan kita di atas. Bersikap sebagai seorang pemberi. Dengan berbagi berkah berupa materi, makanan berbuka atau makanan untuk Sahur. Berbagi pakaian untuk lebaran. Berbagi kebahagiaan. Tapi, ada yang kita tidak boleh lupa!

Tangan kita yang di atas jangan sampai membuat mereka merasa sebagai tangan di bawah. Jangan membuat mereka merasa sebagai pihak yang harus dikasihani. Jangan sampai, nafsu kita beramal secara materi justru merenggut hal yang paling esensial dalam hidup mereka: DIGNITY!

Perasaan bahwa mereka juga berharga. Bahwa, apa yang kita beri bukan karena kita kasihan pada mereka. Melainkan, karena berbagi adalah kewajiban bagi mereka yang mampu meletakkan tangannya di atas. Dan kelak (!) mereka juga harus menjadi tangan di atas. Berbagi untuk kita adalah contoh bagi mereka agar nanti pada waktunya mereka juga melakukan hal yang sama.

Giving a poor person food or money might help them survive another day… but it doesn’t give them dignity. There’s a better way – Jacqueline Novogratz

Bukan maksud saya mengatakan bahwa pemberian berupa materi tidak baik. Memberi apapun bentuknya adalah kebaikan. Tapi, jangan lupakan. Saat tangan kita memberikan materi, hati kita juga harus memberi. Memberi DIGNITY pada mereka. Mengatakan bahwa mereka juga berharga. Bahwa dalam diri mereka ada seorang pemimpin bagi hidup mereka sendiri. Bahwa mereka adalah penguasa atas hidup yang mampu membuat perubahan atas hidup mereka sendiri dengan cara-cara yang baik. Bahwa mereka mampu membalikkan tangan menjadi tangan di atas. Menjadi pemberi. Menjadi Sang pembuat perubahan.

Dignity is more important than wealth. It’s going to be a long, long time before we can make everyone on earth wealthy, but we can help people find dignity this year (right now if we choose to) – Jacqueline Novogratz

Jangan jadikan mereka objek amal dan merenggut Dignity dari hidup mereka. Kita harus mencoba untuk memberi tanpa menjatuhkan. Menggandeng tangan mereka dengan ikhlas dan mengajak mereka duduk setara.

image

Dignity comes from creating your own destiny and from the respect you get from your family, your peers and society – Jacqueline Novogratz

Kita harus menghormati sosok pemimpin.yang ada dalam jiwa setiap orang. Bukankah sudah dikatakan bahwa kita semua adalah khalifah di atas muka bumi? Ada seorang khalifah di dalam Faqih dan anak-anak lain yang sepertinya. Kita harus menghormati khalifah dalam jiwa mereka. Dengan tidak hanya memberi sebungkus nasi, tapi juga memberi DIGNITY pada mereka. Memberi sebuah perasaan setara. Ada banyak Faqih di luar sana. Dan kewajiban kita semua untuk menumbuhkan DIGNITY dalam diri mereka.

Ini butuh kita semua.

Semoga Allah memberi jalan kebaikan pada kita untuk menjadi jiwa-jiwa yang tangguh dan terbuka. Amin… Amin… Ya Rabbal ‘Alamin… Amin…

Kelapa Gading, 13/8/2012
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumawan.wordpress.com
wisnu.sumarwan@yahoo.com
twitter & streamzoo: @wisnusumarwan

gambar saya ambil dari:
1. http://joettles.com/wp-content/uploads/2012/03/success.png
2. http://4.bp.blogspot.com/-L3ntL_eyVR4/T13eS8HcRXI/AAAAAAAACgg/feZLQvTTdAQ/s1600/9children.jpg
3. http://flocdayton.org/wp-content/uploads/2010/05/626000sm.jpg

Bisnisku, Danau Kecilku…

Diantara kebahagiaan saya bertemu dengan 3 Rockstars saya minggu ini, terjadi proses reconcepting sebuah nilai yang mungkin akan mengubah paradigma pribadi saya terhadap bisnis yang saya jalani selama ini.

Mengenai siapa saja Rockstars yang berhasil saya temui, insyaAllah akan saya tulis lewat tulisan yang berbeda. Kali ini saya akan sedikit bercerita tentang salah satunya. Saya tidak akan bercerita tentang sosoknya. Saya akan jadi terlalu sok tahu jika mencoba melakukan itu mengingat kedalaman ilmu dan pemikirannya. Justru, saya ingin sedikit bercerita, apa yang saya pikirkan setelah bertemu dengan beliau.

Saya beruntung. Saya sangat beruntung. Saya sempat bertemu dengan sosok Rockstar yang selama ini hanya saya lihat di TV dan saya perhatikan dari twit-twitnya di akun @alexsriewijono. Yup. Beliau adalah Alexander Sriewijono.

Dan ingatan saya langsung terbang ke saat pertama kali me-mention beliau dengan komentar : ‘Baca twit Mas Alex berasa duduk di pinggir sebuah danau yang tenang’. Dan jawabannya? ‘Maksute opo toh, Mas?‘ LOL. :))

Dan sekarang, saya tahu apa maksudnya.

Seperti biasa, sebagai orang yang pikirannya senang terbang kesana-kemari, saya langsung berpikir bahwa hidup seperti itulah yang ingin saya jalani. Not exactly literal. I want some kind of life that FEELS LIKE sitting next to one serene lake with trees, birds, grass, water-splashing and swimming-fish beneath my feet. Not to forget, one small wood cabin with porch. Where time goes slowly and is fulfilled by sincere smile… *sigh and smile, now*

Setelah hampir setahun saya mem-posting twit itu, akhirnya saya benar-benar bertemu dengan sosoknya. Menjadi bagian dari program pelatihan karyawan sebuah bank swasta terkemuka di Indonesia. Saya merasa sangat terhormat bisa menjadi bagian program itu bersama Mas Alex dan @dailymeaning miliknya.

Lagi, pikiran itu datang. Melihat bagaimana beliau berinteraksi, memberikan pelatihan dan arahan. Dan, yang paling utama, melihat bagaimana beliau membagi ilmu dan menginsprirasi orang-orang. Oh, God. ITU yang saya inginkan juga! :’)

Pikiran saya terbang. Kali ini menuju masa depan. Saya ingin KELAK bisa melakukan hal yang sama. Menginspirasi dan Berbagi. Apakah harus menunggu nanti? Mengapa tidak sekarang? Dan saya terpikir, JIKA saya ingin hidup terasa seperti duduk damai di pinggir sebuah danau, maka bisnis saya haruslah menjadi bagian dari danau itu karena itulah yang saya jalani sekarang dan insyaallah begitu pun di masa depan.

Danau itu TIDAK BOLEH menjadi tempat pelarian. Bukan tempat saya bersembunyi dari tekanan dan kesibukan. Bukan pula tempat liburan. Justru, sayalah yang harus menjadi danau itu! Seperti saya memandang Mas Alex sebagai sebuah danau besar yang tenang, seperti itulah juga saya harus memandang dan memperlakukan diri saya sendiri.

Menjadikan saya, bisnis saya, dan apapun yang saya lakukan sebagai sebuah danau yang bisa dikunjungi mereka yang membutuhkannya. Dan merintis langkah-langkah kecil untuk mulai menggali, menyusun, memperbaiki dan menata danau itu dari saat ini.

Bukan semata danau yang terhampar begitu saja. Bukan danau tersembunyi yang sulit untuk dicari. Tapi, sebuah danau yang bisa memberikan manfaat untuk siapapun yang datang dan pergi. Menciptakan danau dimana manusia, burung, ikan dan hewan-hewan berkumpul untuk mendapatkan manfaat darinya dan kemudian danau itu hidup, besar dan terpelihara karenanya. Danau yang makmur dan memakmurkan. Danau yang sejahtera dan mensejahterakan. Danau yang damai dan mendamaikan. Danau yang bahagia dan membahagiakan.

Saat ini Rumah Sushi adalah danau kecil milik saya dan sahabat-sahabat saya. Masih belum seberapa, walau kami tahu hendak kemana. Danau besar saat ini masih menggantung-gantung dalam angan, masih hidup di alam mimpi. Maka, saya harus bangun. Saya harus mulai. Karena danau itu bukan objek. Danau itu adalah diri saya sendiri beserta bisnis yang sedang saya jalani bersama sahabat-sahabat tercinta. Kami harus mulai dari diri kami sendiri.

Kami sadar, Danau kami tidak akan jadi besar begitu saja. Perlu waktu dimana proses berjalan di atasnya. Dan jika saya menginginkan Rumah Sushi menjadi danau yang besar, maka sejak saat ini saya perlu membuatnya menjadi danau, meskipun kecil. Danau. Cuma Danau. Bukan gedung yang sombong. Bukan monumen yang perlu dihormati. Bukan istana yang berpenjaga. Tapi danau yang ramah dan terbuka. Bukan yang lain. Danau tempat saya, sahabat saya, keluarga, karyawan dan orang-orang di dalamnya saling berbagi mimpi dan menjalinnya bersama. Membesarkannya dalam sebuah jaring kerjasama yang mutual.

Menjadikan bisnis saya bersama sahabat-sahabat hebat saya itu sebagai suatu padepokan hidup dimana semua orang yang terlibat di dalamnya adalah pemenang. Pemenang dalam hidup kami masing-masing tanpa perlu mengalahkan siapapun. Danau kecil tempat kami belajar berbagi dan belajar memberi. Belajar tertawa dan belajar bahagia.

Bukan masalah jika saat ini Danau kami masih kecil, masih bocah. Menurut saya, danau kecil berbagi hal yang sama seperti sebuah danau besar. Yang berbeda hanya kapasitasnya.

Seperti itulah bayangan tentang apa yang saya harapkan kelak untuk bisnis saya dan sahabat-sahabat saya. Saya telah menyampaikan hal ini pada mereka. Mereka menyambutnya karena, saya yakin, itu pula yang sudah mereka inginkan meski kami tidak pernah menyebutnya. Dan kini kami berbagi. Bahagianya saya saat ini. Dan saya bersyukur.

Angin bertiup pelan…

Terbayang, sebuah danau besar beriak tenang. Pohon-pohon pinus dan bunga-bunga mengelilingi. Ikan-ikan berenang di dalamnya. Burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan, berkicau riang. Anak-anak bermain berlarian. Sepasang kekasih duduk tamasya di dekat sebuah ayunan yang bergoyang. Ada bau rumput dan tanah basah. Ada semilir angin dan kecipak air. Ada senyum dan tawa bahagia. Orang saling berbagi dan memberi. Ada pondok di pinggirnya. Saya duduk bersama sahabat-sahabat saya. Bercerita masa lalu… Bahwa dulu… Dulu sekali… Waktu kami belum apa-apa, kami bukan siapa-siapa. Danau ini kecil adanya… Lalu, kami tersenyum…

Ah, mimpi saya. Mimpi Danau…

Kelapa Gading, 26/4/12
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
wisnu.sumarwan@yahoo.com
@wisnusumarwan

Gambar saya ambil dari: http://www.phototravelpages.com/wallpapers/canoe_lake_1024.jpg, http://www.tc.umn.edu/~hagen050/deck1.jpg, http://dl6.iq7download.com/icnmedia/609e389b-6d73-4559-81eb-043a37bc0042.jpg

Fear is The New FUN!

image

Suatu saat saya berpikir, tepatnya saya bertanya. Pada diri saya sendiri. Apa yang sedang saya jalani saat ini? Apa yang sebenarnya saya lakukan?

Setiap hari saya melakukan hal yang itu-itu saja. Tidur, bangun, mandi, cekikikan, ngetweet, bekerja sedikit, berpikir banyak, menulis ini-itu, pusing, bingung, berpikir lagi, ngobrol, diskusi, senyum, mendapat solusi, memutuskan sesuatu, lega, makan, capek, lalu tidur lagi. Esoknya terulang lagi pola yang sama. Kadang, saya marah-marah atau iseng menulis (sebagai penyaluran passion). Tapi, yah, seperti itulah yang kurang lebih saya lakukan setiap hari. Kinda boring, huh? Yeah, it’s boring indeed.

BUT, what i wonder about it, is Why am I still willing to keep going on having that kind of life instead? Saya tetap saja melakukan hal itu setiap hari. Day by day everyday. Terulang lagi, lagi dan lagi…

Ok, Maybe what i do everyday are boring things, BUT I’m not bored. Yes, I’m not bored. I’ve been doing all those things for more than a year. Well, almost 2 years, actually. And not a single day i feel bored about it. And d’ya know what makes me willing to have those kind of life? You may not believe me. You have your right not to believe me. What makes my life simply not boring is my fear. Yes! FEAR!

Let me make it clear enough. Tapi, sebelumnya, apa yang akan saya jelaskan ini bukan perbandingan. Saya tidak sedang membanding-bandingkan apa yang saya lakukan dengan apa yang orang lain lakukan. Ini bukan tentang mana pekerjaan yang lebih baik atau lebih buruk. Ini cuma sedikit cerita tentang hidup saya saat ini.

Mulai!

***

Ada yang sedikit berbeda antara kehidupan menjadi entrepreneur dengan menjadi pegawai atau karyawan. Apa? Simply, tanggal gajian! Apa yang saya dan teman2 saya lakukan bersama, membuat kami (dan orang2 yang memilih jalan entrepreneurship) punya cara yang berbeda dalam memandang apa itu ‘tanggal gajian’.

Sederhana saja, kami tidak menunggu tanggal gajian. Menunggu tanggal gajian sama dengan cari mati! Serius, tanggal gajian bukan untuk ditunggu. Tapi, untuk dikejar. Kalau kami tidak mengejar tanggal gajian, bagaimana kami bisa membayar gaji karyawan? Jadi, sejak awal bulan, selalu terjadi kejar2an dengan tanggal gajian yang makin lama semakin dekat.

Jauh sebelumnya, sales adalah ketakutan pertama. Sales naik, kabar gembira. Syukuri. Sales Turun? Yah, syukuri juga, sambil terus berusaha meningkatkannya lagi. Tanpa sales, tidak ada bisnis. Plus, mengelola omset agar tetap bisa memutarkan roda bisnis lebih cepat tanpa mengorbankan karyawan yang berhak atas gaji mereka.

Kalau (mungkin) karyawan merasa lega pada saat tanggal gajian, kami sudah bisa merasa lega (minimal) sehari sebelumnya (atau bisa lebih cepat jika target segera tercapai) dan sehari sesudahnya karena satu kewajiban sudah ditunaikan.

Karyawan (mungkin) merasa tanggal gajian lama sekali datangnya, kami justru sering merasa tanggal gajian rasanya terlalu cepat. Tiba-tiba sudah tengah bulan saja. Sementara, gaji tergantung omset, tergantung hasil penjualan dan bagaimana budgeting keuangan dilakukan (ingat, beban usaha bukan hanya biaya gaji). Akibatnya, ada sedikit rasa takut setiap kali tanggal gajian mendekat, apalagi jika penjualan mengalami penurunan.

Jika tanggal gajian karyawan sudah terjadwal, tanggal terkumpulnya uang yang akan digunakan untuk membayar gaji tidak bisa dipastikan. Gaji adalah faktor yang termasuk biaya operasional tetap alias konstan. As you’ve already knew, berapapun omset, naik atau turun, pengeluaran gaji selalu sekian. Tidak bisa kurang (tapi bisa lebih) dan tidak bisa mundur. Kata orang, bayarlah upah sebelum keringat kering di badan.

Bayangkan, apa rasanya takut tidak bisa membayar gaji, sementara penanggalan kalender rasanya memanggil-manggil! Karyawan ikut dalam sebuah kapal bisnis karena mereka memiliki mimpi yang sama dengan kami. Mimpi Sejahtera. Mereka berjuang untuk itu. Terlambat membayar gaji akan menjatuhkan mental mereka. Jika sampai ini terjadi, paniknya luar biasa!

Kami tahu, apa rasanya tanggal H-1 gajian, belum semua uang terkumpul! Ini olahraga jantung kelas berat! Bisa mencucurkan keringat dingin, panas, sampai dingin lagi! Alhamdulillah, sampai saat ini kami belum pernah terlambat membayar gaji. Ada saja keajaiban Tuhan yang terjadi di saat-saat mendebarkan.

Ada kekuatan besar di balik DOA dan Keyakinan.

Bahkan, setelah tanggal gajian pun, bukan berarti bebas. Ada tanggungan bulan depan yang akan kembali datang. Kekuatan bisnis berubah. Seberapa besarkah kemampuan bisnis bulan berikutnya? Seberapa besar laba ditahan? Bagaimana posisi ekuitas? Naik atau turun? Data keuangan tidak pernah berbohong. Financial statement menyampaikan kabar. Kadang menggembirakan, tapi kadang-kadang juga tidak. Yang jelas, apapun kabarnya, seorang enterpreneur harus mengambil sikap (yang kadang radikal). Tujuannya: Survive and Grow.

So, sampai di sini cukup jelas, bukan? Menjadi enterpreneur berarti harus siap hidup dari satu ketakutan ke ketakutan berikutnya.

How can I be bored with this continous and constant FEAR? There’s no time to get bored. Saya tidak boleh bosan. Justru, ada perjalanan dalam ketakutan-ketakutan ini. Memecahkan satu ketakutan untuk masuk ke ketakutan berikutnya.

Justru, dari setiap ketakutan yang pernah (dan akan) saya hadapi, saya membesar. Saya meluaskan kapasitas saya. Saya harus memecahkan masalah yang makin lama makin besar. Artinya, secara pribadi saya membesar juga. Masalah besar hanya bisa dihadapi oleh orang besar pula.  Setiap ketakutan yang berhasil dipecahkan, membawa saya pada level yang lebih tinggi. Jelas, membayar gaji 10 orang rasanya sangat berbeda dengan membayar gaji 60 atau 600 orang. Mengurus 1 outlet, berbeda dengan mengurus 5, 10, 100, apalagi 300 outlet.

Untuk ini, saya bersyukur bahwa saya bersama dengan partner-partner (sekaligus sahabat) yang hebat. Yang, bisa saya andalkan dan selalu mendorong saya untuk jadi orang yang bisa diandalkan oleh mereka.

Memang, outlet kami belum sebanyak itu. Karyawan kami belum sebanyak itu. Namun, saya yakin, ketahananlah yang akan membuat kami kelak akan memiliki outlet dan karyawan sebanyak itu. Lebih banyak, mungkin. Lebih banyak lagi orang yang akan sejahtera bersama kami. Ini tantangan (sekaligus ketakutan). Ini juga pertanyaan. Pertanyaan yang harus dijawab satu per satu. Sejauh mana kami akan melangkah? Sejauh mana saya akan membesarkan kapasitas diri saya? Sejauh mana saya harus menjawab setiap ketakutan yang datang?

Ada seseorang yang pernah berkata pada saya.Bahwa, hidup adalah serangkaian proses bertanya dan menjawab yang akan terus terjadi hingga tiba sebuah pertanyaan pamungkas. “Apa makna keberadaan kita di dunia?” Tanpa dicari-cari makna ini pasti bisa ditemukan, lewat tindakan!

Jawab setiap ketakutan yang datang, maka tidak ada ketakutan yang cukup besar untuk menakut-nakuti kita!

It’s one never ending journey, my dear friends. Fear is the New FUN!

Kelapa Gading, 19/03/2012
Ditulis sebelum kenaikan harga BBM.
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

Gambar saya ambil di http://www.peacecalendar.net/wp-content/uploads/2011/11/Calendar1.jpg

Climb The Mountain, Sail Every Sea

image

Saya seringkali terdiam sendiri. Bengong. Dalam arti sebenarnya, saya tidak berpikir. Tidak bisa berpikir. Cuma menatap nanar tanpa tahu harus berbuat apa. Otak rasanya kosong. Tidak tahu harus melangkah kemana, mulai darimana.

Kemudian ada yang bertanya. Masa sih? Bukankah kata para motivator itu syarat satu-satunya untuk mulai adalah berani mulai. Bagaimana mungkin sesuatu dimulai jika kemudian saya bengong, diam, kosong dan tidak tahu harus berbuat?

Meskipun saya sangat setuju dengan istilah ‘untuk mulai, kita harus BERANI mulai’, namun pada kenyataannya ‘mulai’ tidak segampang itu (saya yakin, saat ini ada yang mengangguk-angguk mengiyakan karena merasa mendapat dukungan). Ada banyak perasaan yang harus dilawan untuk mulai. Perasaan ragu, gentar, bingung, dan sebagainya. Dan tentu saja, perasaan bertanya-tanya, ‘Kalau saya sekarang mulai, apa yang terjadi berikutnya?’

Saya kurang setuju jika dikatakan bahwa semua orang yang sekarang belum mulai adalah akibat mereka ‘takut gagal’. Sering juga bukan perasaan takut gagal yang menghalangi, melainkan akibat munculnya pertanyaan, ‘Akan berhasilkah cara ini? Bagaimana jika ada cara lain yang lebih baik?’ Ini sangat berbeda dengan ‘takut gagal’.

Saya yakin sebagian besar orang tidak dapat menggambarkan apa yang akan terjadi setelah mereka mulai, bahkan saat mereka sudah mulai.

Saya dan teman-teman sudah memulai usaha kami. Berkembang lebih baik dari apa yang kami duga sebelumnya. Kami berjalan lebih jauh dari yang bisa kami kira. Ada banyak hal menyenangkan. Yang membuat deg-degan juga tidak kalah banyaknya. Jangan kira bahwa semua selalu baik-baik saja. Bahwa semua semulus apa yang orang lihat dari luar. Kalaupun terlihat seperti itu, itu karena kami saja yang belajar untuk tertawa setiap hari. Apapun situasinya.

Namun, selalu ada saat dimana tiba-tiba saya hanya bisa bengong saja. Tidak tahu harus berbuat apa dengan hal-hal yang terhampar di hadapan saya. Rasanya seperti ini:
a. Saya ingin sampai ke puncak gunung. Saya tahu ada puncak di sana.
b. Mata saya tidak bisa melihat dimana puncaknya
c. Saya melihat beberapa jalan di hadapan saya.
d. Saya harus pilih jalan yang mana? Apa bedanya?

Lalu?

Lalu datanglah detik-detik itu. Detik-detik diam yang tidak berpikir karena tidak tahu harus berpikir apa. Memilih jalan manapun, sebenarnya tidak ada bedanya. Karena, toh, tidak ada satupun dari jalan itu yang pernah saya lalui sebelumnya. Saya tidak tahu apa bedanya. Saya tidak tahu apakah jalan yang akan saya pilih adalah jalan yang benar, jalan yang memutar, jalan yang lebih pintas atau malah jalan buntu.

Di suatu saat, selengkap-lengkapnya data yang saya dapatkan, tidak bisa memastikan jalan mana yang lebih baik dari yang lain. Tidak ada yang bisa memberikan gambaran yang jelas tentang seperti apa kelak jalan itu.

Dan saat itu adalah, saat kita terjebak bukan oleh rasa takut. Kita terjebak dalam ketidaktahuan. Sumber ilmu teknis banyak tersebar, namun ilmu memastikan masa depan tidak akan ada seorangpun yang akan sanggup jadi pengajar. Acap kali kita tidak mulai melangkah karena TIDAK TAHU tentang masa depan. Kita ingin tahu! Ingin KEPASTIAN, bahwa jalan yang kita pilih kelak akan membawa kita ke puncak. Begitu, kan?

Untuk jadi 100% yakin, saya tidak punya resepnya. Saya tidak tahu bagaimana caranya supaya kita bisa 100% yakin dengan jalan apapun yang akan kita pilih. Dan saya pun tidak pernah mencari keyakinan 100%. Toh, nyatanya, keyakinan saya tidak bisa membuktikan apakah kelak sesuatu benar atau salah. Dan… Kita hanya bisa meyakini apa yang INGIN kita yakini.

Namun, tidak berarti saya tidak mencari keyakinan. Saya mencoba mencari sumber-sumber yang bisa memberikan petunjuk. Sumber utama saya adalah hasil diskusi dengan partner-partner saya. Selain itu, saya juga mencarinya di buku bacaan, melihat data-data yang kami punya sendiri, googling dan… Twitter.

Buku biasanya sanggup memberikan saya gambaran tentang teori yang memberikan sebuah pola pikir global. Dari data-data internal bisa dilihat tren penjualan, sistem, dsb. Lewat googling, saya membaca banyak artikel-artikel tentang masalah yang saya hadapi. Dari Twitter, saya kerap mendapatkan berbagai isu sosial dan testimoni-testimoni. Setelah semuanya terkumpul, apakah saya yakin 100%? Tidak! Maksimal yang bisa saya dapatkan adalah keyakinan 50%!

Lantas, 50%nya lagi darimana? Kita harus benar-benar yakin dengan apa yang kita lakukan, kan? 100%! Tidak kurang! Ketidakyakinan adalah awal dari kegagalan. Maka, sebelum benar-benar melangkah kita harus benar-benar yakin dengan jalan yang kita pilih sendiri. Jadi, mendapatkan keyakinan 50% sisanya adalah hal yang penting!

Well, #imho di sinilah letak perbedaan kualitas pribadi seseorang. Karena, keyakinan 50% pertama bisa kita dapatkan dari luar, 50% sisanya justru kita dapatkan dari dalam diri kita sendiri. Butuh kualitas pribadi yang visioner, mampu memandang ke depan dan siap secara mental untuk menanggung segala resikonya.

Bahkan bisa jadi, ada suatu saat dimana keyakinan yang datang dari dalam diri sendiri harus lebih besar dari data-data yang bisa kita dapatkan. Keyakinan apa yang bisa kita dapatkan ketika semua data dan orang-orang di sekitar kita mengatakan yang sebaliknya? Mundur?

Well, i must say, hidup tak selamanya harus masuk akal. Saya bukan pendobrak. Bukan pionir. Saya hanya mencontoh apa yang dulu dilakukan orang-orang sebelum saya. Melewati jalan yang sebelumnya memang pernah dilewati. Doing The Impossible. Berkah luar biasa jika saya menemukan hal yang possible. Sekalipun it seems impossible, i have no other choice! I must get through it! Cause there’s always a way to see all impossible dreams are all possible things to do.

Is it faith? I don’t know. Then i stop thinking. I just climb the mountain and sail every sea… That’s all…

Kelapa Gading, 16/3/2012
ditulis saat saya penuh dengan keraguan

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 9 other subscribers
  • Today’s Quote

    When you dance, your purpose is not to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (Wayne Dyer)

  • Categories

  • Soundless Voices by Wisnu Sumarwan

    Inilah blog saya yang sederhana. Lewat blog ini saya hanya mencoba untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan. Tentu saja saya hanya manusia biasa yang memungkinkan banyak terjadi kesalahan. Saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Welcome to the journey of soundless voices. Thank you...