Busway ‘Setan’

Sudah biasa, dong, membaca tulisan saya tentang angkot setan? Alias angkot yang beroperasi tengah malam. Angkot yang sering saya tumpangi sehabis ‘keluyuran’ untuk membawa saya kembali ke rumah.

Mendadak, hari ini (hmmm… ini hari apa, ya? Mungkin lebih tepat 2 hari ini, yaitu antara hari Senin tanggal 25 dengan hari Selasa tanggal 26 oktober 2010) pukul 12 tengah malam saya melihat Transjakarta Busway masih beroperasi pada tengah malam. Padahal, biasanya jam 10 malam saja batang hidungnya sudah tak tampak. Pertama, karena busway memang tidak punya hidung. Dan yang kedua, jam operasional busway memang hanya antara jam 5 pagi hingga jam 10 malam. Untuk hal ini, manajemen busway lumayan disiplin. Jangan berharap anda akan mendapatkan busway lewat di jam itu terutama di halte-halte terminal dan transit seperti di Kota, Blok M, Harmoni, Dukuh Atas, Pulogadung, dan sebagainya.

Jadi, munculnya BUSWAY SETAN adalah hal yang luar biasa. Uniknya, ternyata hal yang luar biasa tidak selalu dipicu oleh hal yang luar biasa pula. Terkadang, hal luar biasa terjadi karena hal yang biasa terjadi. Di jakarta, apalagi sih hal luar biasa yang kini jadi sangat biasa? Apalagi kalau bukan MACET dan BANJIR. Dan seperti biasa, kambing hitamnya adalah Cuaca.

Hujan deras yang mengguyur jakarta sejak kurang lebih jam 3 sore hingga pukul 7 malam membuat Jakarta dilanda banjir yang mengakibatkan efek ikutan macet total dimana-mana. Busway yang juga menggunakan lajur jalan raya yang sama tentu saja kena akibatnya. Penumpang harus rela menunggu cukup lama dan ’empet-empetan’ dalam halte yang sempit dan kadang bocor karena busway yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang akibat terhalang macet. Bagaimana tidak terhalang? Setengah bagian jalan tergenang banjir yang membuat mobil dan kendaraan lain hanya bisa menggunakan setengah bagian lainnya. Paling tidak, ini yang saya lihat di Jalan Thamrin dan Sudirman yang merupakan jalan kebanggaan Jakarta. Akibatnya, Transjakarta Busway yang biasanya hanya beroperasi hingga jam 10, terpaksa memperpanjang masa kerjanya hingga lewat tengah malam untuk melayani penumpang yang terhambat akibat macet dan banjir. Salut untuk seluruh karyawan Transjakarta Busway yang bersedia melakukannya.

Macet memang sudah jadi makanan sehari-hari orang Jakarta. Jangankan di saat banjir, tidak banjir saja Jakarta macet. Pada saat banjir begini, Jakarta bukan cuma dilanda macet melainkan parkir total di tengah jalan. Teman saya mengalaminya di Pancoran, sementara yang lain juga di bilangan Blok M, Jakarta Selatan. Mereka punya kesempatan untuk ‘istirahat’ di tengah jalan dengan mematikan mesin kendaraan mereka karena lalu lintas benar-benar tidak bergerak. Di saat seperti ini, parkir di tengah jalan raya adalah hal yang boleh, sah dan tidak melanggar hukum. Kalau perlu, turun dari kendaraan dan berjalan-jalan. Aneh? Iya. Mengesalkan? Iya. Luar biasa? Tidak. Ini biasa saja. Seperti yang saya bilang tadi, hal-hal yang seharusnya luar biasa dan aneh sudah jadi hal biasa saja di Jakarta. Karena, toh, dari dulu ya begini-begini saja.

Tidak salah, kan, kalau saya mengganggap hal ini biasa saja? Karena ternyata kondisi ini seperti dibiarkan berlarut-larut. Entah karena dibiarkan atau karena pihak yang seharusnya menangani hal ini tidak mampu mengatasinya.

Analoginya begini. Rumah anda bocor jika hujan. Tapi, karena seringnya hujan dan atap bocor, anda jadi terbiasa. Ya sudah. Karena sudah terbiasa, biarpun bocor anda tetap bisa tidur. Kalau sudah begini, untuk apa atapnya diperbaiki? Toh, anda sudah biasa tidur kehujanan.

Ironis? Ya, sangat ironis. Bagaimana tidak ironis? Saya yakin, kita semua tidak nyaman berada dalam situasi seperti ini. Tapi, kita seperti diletakkan di situasi yang tidak ada pilihan. Hidup kita harus terus berjalan. Kita semua tetap harus bekerja, berdagang, sekolah, kuliah  atau melakukan aktifitas lainnya. Macet dan Banjir tidak bisa dijadikan alasan untuk berhenti melakukan aktifitas karena kita semua juga tahu bahwa ‘life must go on‘. Artinya, Kita harus terus melakukan kegiatan sehari-hari dengan banjir dan macet sebagai bagian dari kehidupan kita.

Saya dan sebagian besar penduduk Jakarta hanyalah orang-orang tidak bisa melakukan apapun kecuali menjalani hidup kita masing-masing dan mengeluh seandainya ada yang menganggu aktifitas kita, salah duanya banjir dan macet tadi. Dan saya rasa, tuntutan kita sederhana saja, bukan? Kita butuh situasi dimana aktifitas kita tidak terganggu oleh hal-hal yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan aktifitas kita. Lucunya, saat ini, untuk menjalani aktifitas kita dengan sukses kita harus sangat mempertimbangkan macet dan banjir yang sebenarnya tidak ada kaitan langsungnya dengan aktifitas kita. Namun, karena permasalahan banjir dan macet ini tidak pernah tuntas terpecahkan (bahkan jadi makin parah), mau tidak mau hubungan kesuksesan dengan macet dan banjir jadi makin akrab.

Salahkah kita menuntut? Saya rasa tidak. Bukankah di dunia demokrasi, kita memang tidak boleh mengambil keputusan sendiri? Semua hal yang menyangkut kepentingan publik harus diwakilkan kepada yang berwenang. Itu gunanya kita mencoblos saat pemilu atau pemilukada, kan? Untuk menyerahkan hak suara (yang artinya wewenang) kepada seseorang atau pihak yang kita percaya. Jadi, langsung atau tidak langsung, dalam seluruh mekanisme ini, kita (warga Jakarta) punya andil yang sama dalam menciptakan situasi kacau ini. Kita yang memilih siapapun yang duduk sebagai pengambil keputusan. Jika kacau, bisakah kita lepas tangan begitu saja? Bukankah kita yang memilih mereka?

Dengan situasi yang seperti benang kusut tanpa ujung ini, kerap kita merasa skeptis. Rasanya percuma bicara apapun, karena toh sekeras apapun kita bicara tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Kemacetan dan banjir seperti masalah yang tidak akan terurai. Memilih salah. Golput pun kita tetap kena akibatnya. Maju kena mundur kena.

Saya jadi ingat masa-masa kampanye dulu. Salah dua yang saya dengar adalah bahwa sang calon cukup ahli untuk mengurai permasalahan banjir dan macet. Itu 3 tahun lalu (tahun 2007). Sekarang sudah tahun 2010. Permasalahan belum terlihat titik terangnya padahal masa jabatan pemerintah daerah DKI tinggal 2 tahun lagi. Apakah permasalahan Jakarta terlalu rumit untuk dicari titik terangnya dalam 3 tahun terakhir ini? Apakah harus diperpanjang lagi untuk memberikan waktu yang cukup?

Jujur, dulu saya sempat bertanya-tanya plus penasaran. Jika benar memang beliau seahli itu, mengapa solusi-solusi permasalahan macet dan banjir juga tidak terlihat di masa beliau masih menjadi wakil? Bukankah dalam kampanyenya dulu, pengalaman beliau dalam jajaran pemprov DKI juga ‘dijual’? Dan dengan alasan itulah (mungkin) sebagian warga Jakarta mempercayakan beliau untuk menjadi pemimpin kita. Sosok yang dimandati untuk mewakili wewenang seperti yang dipersyarakatkan oleh sistem demokrasi.

Saya percaya bahwa kini beliau sedang berusaha keras. Namun, kenyataan bahwa aktifitas saya (dan mungkin banyak warga Jakarta lain) sangat terganggu oleh permasalahan macet dan banjir adalah hal yang juga tidak dapat dipungkiri. Janji beliau mungkin sulit untuk ditepati dengan cepat (karena berbagai kesulitan dan kendala) namun kerugian saya (dan banyak warga Jakarta) juga terus bertambah karena janji-janji itu belum selesai ditepati hingga sekarang. Apakah yang bisa saya lakukan sekarang hanya bersabar? Dan (sayangnya) hal yang saya sering lihat dari aktifitas beliau adalah seremonial peresmian dan foto-foto (karena sosok beliau seringkali saya lihat di baliho-baliho di seputar Jakarta). Mungkin beliau bercita-cita menjadi model. Saya tidak tahu.

Yang saya tahu adalah aktifitas public relations paling efektif untuk beliau adalah : tunjukkan bahwa permasalahan banjir dan macet ini memang ada solusinya. Bukan dengan janji tambahan, melainkan dengan berkurangnya frekuensi banjir dan macet yang terjadi (jika memang tidak mungkin selesai sekaligus). Misalnya, jika saat ini macet terjadi 6 hari seminggu, kurangi macet hingga 5 hari seminggu. Atau jika sekarang macet bisa terjadi pagi-siang-sore-malam, besok-besok macet hanya terjadi pagi-siang-sore saja. Hal itu sudah cukup menyenangkan.

Sebenarnya, banyak yang ingin saya tanyakan karena saya tidak ingin mempersalahkan siapa-siapa. Mungkin saya juga salah. Mungkin kita semua punya andil kesalahan. Tapi, bagaimanapun mandatnya sudah ada di tangan beliau. Saya (dan hampir seluruh warga Jakarta) tidak punya legitimasi untuk mengambil sikap kecuali hal-hal yang terkait pribadi saya sendiri. Saya sudah mempercayakan beliau untuk mengatur sebagian aspek hidup saya. Minimal, untuk membebaskan saya pada rasa takut terhadap macet dan banjir.

Well, katakan bahwa saya warga yang egois. Saya akan membiarkan saja pemprov mencari solusi, karena memang itu tugas mereka, kan?

Ingat, saya (dan warga Jakarta lainnya) sudah memberikan legitimasi pada pemprov yang menjabat saat ini untuk berbuat sesuatu. Yang bisa saya (dan warga Jakarta lain) lakukan adalah mengubah pola-pola hidup pribadi saya, seperti tidak membuang sampah sembarangan, tidak mengendarai kendaraan yang hanya berisi 1 orang (padahal berkapasitas 8 orang), selalu menggunakan kendaraan umum, dan sebagainya. Masalah membersihkan gorong-gorong, penambahan jumlah armada busway, perijinan gedung, dan sebagainya adalah tugas pemprov (atau lembaga lain yang terkait). Saya (dan warga Jakarta lain) wajib untuk menjaga kebersihan, tapi bagaimana kebijakan penanganan sampah dilakukan adalah tugas pemerintah. Saya berusaha jadi warga yang baik, tapi pliiiissss jadilah pemerintah yang baik. Minimal yang sadar dan melakukan tindakan untuk menyelesaikan masalah sehingga masalah kami sebagai warga Jakarta terselesaikan. (Tindakan ini tidak termasuk evakuasi warga setelah banjir merendam rumah sampai ke atap. Ini adalah tindakan kemanusiaan yang memang wajib dilakukan. Pemprov seharusnya juga berpikir dan mencari solusi bagaimana caranya supaya banjir tidak sampai ke atap).

Saya senang jika benar ada Busway ‘Setan’ sehingga perjalanan pulang tengah malam saya lebih nyaman. Namun, jika Busway ‘Setan’ itu hanya keluar saat banjir dan macet total dimana-mana. Kok, rasanya aneh ya?

26/10/10

http://www.wisnusumarwan.wordpress.com

* gambar saya ambil di http://wiryanto.files.wordpress.com

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 9 other subscribers
  • Today’s Quote

    When you dance, your purpose is not to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (Wayne Dyer)

  • Categories

  • Soundless Voices by Wisnu Sumarwan

    Inilah blog saya yang sederhana. Lewat blog ini saya hanya mencoba untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan. Tentu saja saya hanya manusia biasa yang memungkinkan banyak terjadi kesalahan. Saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Welcome to the journey of soundless voices. Thank you...