Kelas Inspirasi 2: Belajar dari Anak-Anak (Dan Guru Sekolah Dasar)

Sombong adalah musuh ilmu pengetahuan

Entah dimana saya pertama kali mendengar quote di atas. Yang jelas, saya cukup mempercayai kebenaran quote itu. Bahwa, untuk menjadi lebih pandai, kita perlu menjadi rendah hati dan menganggap diri kita belum cukup mengetahui tentang sesuatu. Menurunkan kesombongan hingga level terendah. Menerima segala masukan dengan lapang dada. Menjadi gelas yang selalu kosong dan siap diisi, begitu kata orang-orang bijak. Singkatnya, Rendah hati dan pikiran yang terbuka adalah gerbang pengetahuan dan kebijaksanaan.

Sampai…

***

image

Waktu itu, hari terakhir pendaftaran relawan pengajar Kelas Inspirasi (@kelasinspirasi). Dan saat itu pula saya baru mengetahui bahwa sedang diadakan proses perekrutan para profesional dari berbagai bidang keahlian untuk menjadi pengajar-sehari bagi siswa-siswi SD. Saya mengetahui informasi tersebut dari twitter karena kebetulan saya mem-follow Mas Rene Suhardono (@ReneCC) yang menjadi salah satu penggerak .

Mengajar? Anak SD? Memberi Inspirasi? Tidak pernah saya bayangkan menjadi salah satu pengajar. Hmmmmm… Alangkah mulianya… Membuat anak-anak Indonesia terdorong untuk memiliki cita-cita yang tinggi.

Saya bukan siapa-siapa. Belum jadi apa-apa. Tapi, saya rasa kita semua (apalagi ribuan relawan pengajar yang sudah merelakan waktu dan intelektualitasnya untuk dibagi dengan siswa-siswi SD) sadar bahwa bangsa ini butuh untuk melihat bahwa harapan masih ada terbentang. Dan kita berbondong-bondong keluar dari ‘lubang persembunyian’ masing-masing untuk membagi sedikit cahaya pada sebagian anak-anak yang selama ini (mungkin) melihat dunia mereka sebagai sebuah ceruk sempit dimana mereka tinggal saat ini.

Datanglah kita. Mencoba membawa harapan, mimpi dan cita-cita. Berkata pada adik-adik kita. “Dek, lihatlah… Ini luasnya dunia… Dimana kamu bisa memilih mimpimu sendiri dan memperjuangkannya… Dan kelak kamu bisa mendapatkannya”.

image

***

image

Mereka menunggu dengan harapan dan kita (Kelas Inspirasi) datang, juga membawa harapan. Harapan bahwa kita bisa menginspirasi sebuah harapan baru untuk masa depan yang lebih baik lewat tangan-tangan mungil adik-adik kita yang sedang mencoba meraih mimpi. Membuka mata adik-adik bahwa selama mereka berpegang pada Kejujuran, Kerja Keras, Kemandirian dan Pantang Menyerah; tidak ada mimpi yang mustahil untuk dicapai… 4 nilai yang ditulis dalam modul kelas Inspirasi (yang saya sangat sepakat).

Dan ternyata… Ini lebih dari apa yang bisa saya harapkan sebelumnya…

***

Harapan saya untuk membuka mata adik-adik tercinta telah menampar muka saya. Justru saya yang lebih dibukakan matanya. Saya melihat betapa adik-adik ini yang justru melihat dunia sebagai tempat indah yang terang-benderang. Tempat dimana mimpi-mimpi menjadi energi hidup yang nyata, tanpa meninggalkan hari ini. Menikmati apa yang ada sebagaimana adanya, tanpa beban. Tanpa praduga berburuk sangka. Berharap tanpa takut kehilangan. Berbaik sangka pada masa depan.

Dengan bangganya, seorang adik berkata, “Saya ingin jadi koki juga. Saya masak setiap hari. Saya pintar bikin martabak Mie”. Yang lain berkata,”Pemain Bola!”; “Tentara!”; “Dokter!”; “Konsultan!”; “Tukang Sulap”; dan seorang adik perempuan yang lucu berkata, “Saya ingin jadi Putri Indonesia!”.

Itu baru sebagian kecilnya. Ada ratusan bahkan ribuan atau jutaan mimpi yang diterbangkan setiap hari dari imajinasi-imajinasi adik-adik kecil kita. Meskipun tampaknya mereka terus saja berlarian, bicara berebutan, naik ke atas meja, berteriak-teriak, bertengkar sesamanya, menangis, tersenyum malu, sibuk sendiri dan berbagai tingkah yang membuat saya sakit kepala saat harus menghadapinya. Mereka memiliki mimpinya namun tidak terobsesi dan ngoyo seperti (sebagian) orang dewasa.

Itulah ekspresi mereka. Mereka yang ingin mimpinya didengarkan oleh dunia, dimengerti, disimak oleh orang dewasa yang bisa jadi tak sebijak mereka dalam menjalani hidup di saat yang benar-benar kini. Suara-suara kecil yang kerap dinafikan oleh kita yang hidup di dunia dewasa.

***

Dan, bersyukurlah, ternyata ada sebagian orang dewasa yang tetap mendengarkan mimpi-mimpi mereka. Membantu memperjuangkannya. Siapakah mereka?

(Inilah pelajaran berikutnya yang menampar saya)

Merekalah Guru-Guru SD yang setiap hari bergumul dengan segala macam dilematika dunia pendidikan. Mereka yang berada di samping adik-adik kecil kita lebih dari satu hari. Satu hari yang telah membuat saya cukup sakit kepala adalah rutinitas yang dijalani para guru SD dengan gembira.

Jujur saja, saya nyaris putus asa mencoba berkomunikasi dengan adik-adik SD yang sangat aktif itu. Sikap dan Perilaku mereka sangat hitam-putih. Jika mereka tidak tertarik, maka mereka benar-benar tidak akan (bahkan untuk sekadar mencoba) melihat. Mereka malah sibuk sendiri, menganggu temannya, membuat kegaduhan. Pun jika mereka tertarik, mereka juga akan merangsak maju, berdiri di meja, bertanya terus-menerus, berteriak pada temannya supaya diam dan justru membuat suasana makin gaduh. Tertarik atau tidak tertarik, mereka akan selalu gaduh! (Saya masih sering tertawa sendiri jika ingat situasi itu. Untuk saya yang amatir, semua jadi serba salah!).

😀

“Yah, begitulah anak-anak, Mas… Memangnya dulu Mas tidak begitu?”

Begitu komentar seorang guru saat saya ‘curhat’ tentang kebodohan-kebodohan saya kala MENCOBA mengajar di depan kelas (di sela-sela proses, alhamdulillah saya sempat berbagi cerita dengan seorang Ibu Guru).

“Mungkin ada orang yang berpikir, Guru SD adalah pekerjaan kecil.  Sering orang ngomong, ‘Enak jadi guru, bisa pulang jam 2 siang’. Tapi, coba bayangkan, ini pekerjaan yang tidak ada istirahatnya. Meleng sedikit, tiba-tiba ada anak yang jatuh, kepalanya bocor atau berkelahi. Benar-benar harus intens mengawasi anak-anak segini banyak… Mas paham kan sekarang?”

Saya cuma mengangguk-angguk sambil membayangkan pengalaman yang baru saja saya dapat. Kepusingan yang saya alami hanya beberapa jam adalah hal yang dihadapi oleh guru-guru SD itu setiap hari. Ada dari mereka yang sudah mengabdikan dirinya lebih dari 20 tahun sebagai guru SD. Mungkin, sudah banyak murid-murid mereka yang jadi orang sukses.

“Kadang, kami kesal juga, Mas, menghadapi kenakalan-kenakalan mereka. Sering kami harus marah. Tapi, marah kami tidak boleh dicampuri dengan dendam atau sakit hati. Harus marah yang murni karena kasih sayang. Anak-anak sangat sensitif. Mereka bisa merasakannya. Jika kita marah karena sakit hati, itu tidak baik untuk perkembangan psikologis anak-anak. Dan mereka akan membawanya hingga mereka dewasa nanti”.

Lalu saya jadi terharu sekali. Guru-guru SD yang sempat hilang dari ingatan saya adalah orang-orang pertama yang sebenarnya turut serta dalam penanaman pondasi hidup seorang anak saat mereka dewasa kelak. Dan salah satu orang itu adalah saya. Coba kita pikir, berapa orang yang sanggup menjaga agar marah tetap dalam porsinya? Menjaga agar marah adalah bentuk ekspresi kasih sayang dan bukan ekspresi kebencian?

“Tapi senang, Mas… Jadi guru SD itu awet muda.. Gimana tidak awet muda coba kalo tiap hari bergaul dengan anak-anak kecil?”

Lalu Ibu Guru itu tertawa dengan senyumnya yang bahagia. Tidak tampak sedikitpun keluhan dari nada suaranya.

“Berat? Berat sih, Mas… Tapi lebih berat jadi guru TK kok, Mas… Apalagi tanggung jawabnya. Secara gak langsung, kita yang bertanggung jawab dengan sikap anak saat mereka dewasa nanti. Dan guru TK lebih besar lagi tanggung jawabnya.”

JLEB! Bahkan Ibu Guru yang saya ajak bicara ini sangat bersyukur dan tidak menganggap bahwa beban hidupnya adalah yang paling berat. Beliau menjalani profesinya yang penting dengan penuh passion. Berapa dari kita yang merasa bahwa kita mengalami hal yang paling berat di dunia? Berapa dari kita yang hidup dengan kondisi yang lebih baik tapi terus-menerus mengeluh seakan-akan kitalah manusia yang paling tidak beruntung? Berapa dari kita yang kemudian malah memilih lari ketimbang menghadapi masalah dengan berani?

Saya harus belajar dari guru-guru SD ini.

***

image

Sungguh. Saya sangat beruntung terpilih menjadi salah satu inspirator Kelas Inspirasi, meskipun pada akhirnya saya malah menemukan bahwa adik-adik ini dan guru-guru SD yang saya temui adalah inspirator sejati yang sebenarnya. Saya-lah yang banyak belajar.

Belajar bagaimana mengikatkan mimpi dan menerbangkannya tinggi-tinggi seperti balon-balon yang pada penutupan Kelas Inspirasi di SD 05 Rawa Badak dilepaskan ke udara. Karena kita yang memilih untuk mengikatkan diri pada mimpi-mimpi kita dan dengan penuh keyakinan mengikuti dan mengajarnya.

Lalu saya berjalan menunduk. Ah, ternyata masih ada kesombongan dalam diri saya. Dari adik-adik dan Guru-Guru SD ini saya belajar lagi. Alhamdulillah atas kesempatan ini.

Hidup Kelas Inspirasi!

“For to have faith, is to have wings” (from Peter Pan by  J.M. Barrie)

Kelapa Gading, 2/3/2013
Wisnu Sumarwan
http://www.wisnusumarwan.wordpress.com
wisnu.sumarwan@yahoo.com
twitter: @wisnuism
streamzoo: @wisnusumarwan

*obrolan singkat di atas adalah reka-ulang obrolan saya dengan Ibu Sopiyah, salah satu guru SD 05 Rawa Badak Utara. Obrolan tersebut tidak tepat seperti itu, tapi saya berusaha untuk tidak menghilangkan esensinya*

*Foto pertama (Ibu Sopiyah) dan foto kedua (Plang Nama SD 05 Rawabadak Utara) saya ambil dengan kamera HP saya. Sementara foto lainnya adalah foto milik Pak Agung, relawan foto untuk Kelas Inspirasi.*

*Berikut adalah foto-foto dokumentasi rekan-rekan inspirator Kelas Inspirasi SD 05 Rawa Badak Utara yang diambil oleh Pak Agung juga. Rekan-rekan saya ini hebat-hebat lho…*

image

image

image

image

image

  • Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

    Join 9 other subscribers
  • Today’s Quote

    When you dance, your purpose is not to get to a certain place on the floor. It’s to enjoy each step along the way (Wayne Dyer)

  • Categories

  • Soundless Voices by Wisnu Sumarwan

    Inilah blog saya yang sederhana. Lewat blog ini saya hanya mencoba untuk menyampaikan apa yang saya pikirkan. Tentu saja saya hanya manusia biasa yang memungkinkan banyak terjadi kesalahan. Saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. Welcome to the journey of soundless voices. Thank you...